Kisah Sufi Syaikh Qolandar Shah: Penyusunan Tradisi
Jum'at, 07 Januari 2022 - 16:32 WIB
Idries Shah dalam bukunya berjudul "Tales of The Dervishes" menukil kisah 'Penyusunan Tradisi'. Kisah yang menggambarkan subjektivitas otak manusia ini dikutip dari kitab ajaran Asrar-I-Khilwatia (Rahasia Para Pertapa) karya Syaikh Qolandar Shah, anggota tarekat Suhrawardi, yang wafat tahun 1832. Makamnya di Lahore, Pakistan.
Berikut kisahnya:
Konon, ada sebuah kota yang memiliki dua jalan yang sejajar. Seorang darwis berjalan melewati salah satu jalan itu, dan ketika ia sampai di jalan kedua, orang-orang melihat matanya berlinang air mata. "Ada orang meninggal di jalan sebelah itu!" teriak seseorang, dan segera saja semua anak di sekitar daerah itu mendengar teriakan tersebut.
Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa darwis itu telah mengupas bawang.
Dalam sekejap, teriakan itu telah mencapai jalan pertama; dan orang-orang dewasa di kedua jalan itu menjadi sangat tertekan dan khawatir (sebab masyarakat di kedua jalan itu saling berhubungan) sehingga mereka takut menyelidiki lebih lanjut sebab musabab kehebohan itu.
Lalu, datanglah seorang bijaksana mencoba bertanya-jawab dengan orang-orang di kedua jalan itu, menanyakan mengapa mereka tidak saling bertukar informasi tentang kehebohan tersebut. Dalam keadaan bingung hingga tak tahu apa yang dikatakannya sendiri, beberapa orang berkata: "Yang kami tahu ada wabah mematikan di jalan sebelah."
Selentingan ini pun menyebar laksana jilatan api sehingga orang-orang di jalan yang ini berpikir bahwa orang-orang di jalan sana tertimpa bencana; demikian pula sebaliknya.
Bahkan ketika keadaan sudah sedikit lebih tenang, orang-orang di kedua jalan tersebut tetap memutuskan untuk pindah saja demi keselamatan. Demikianlah, kedua sisi kota itu akhirnya kosong ditinggalkan oleh penghuninya.
Kini, berabad kemudian, kota itu sunyi; dan tidak jauh dari sana terdapat dua desa. Tiap desa itu mempunyai cerita sendiri tentang bagaimana pada masa lampau leluhur mereka pindah dari sebuah kota yang tertimpa bencana dan berhasil melarikan diri dari malapetaka tak dikenal.
Dalam ajaran kejiwaannya, para Sufi menganggap bahwa penyampaian pengetahuan secara biasa niscaya rentan terhadap penyimpangan dan kekeliruan oleh sebab adanya penyuntingan dan salah ingat; cara semacam itu tidak bisa dipakai sebagai pengganti persepsi langsung atas kenyataan.
Kisah ini juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia antara lain oleh Ahmad Bahar dalam bukunya berjudul Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi. Juga oleh Sapardi Djoko Damono dalam buku Kisah-Kisah Sufi, Kumpulan Kisah Nasehat Para Guru Sufi Selama Seribu Tahun yang Lampau.
Berikut kisahnya:
Konon, ada sebuah kota yang memiliki dua jalan yang sejajar. Seorang darwis berjalan melewati salah satu jalan itu, dan ketika ia sampai di jalan kedua, orang-orang melihat matanya berlinang air mata. "Ada orang meninggal di jalan sebelah itu!" teriak seseorang, dan segera saja semua anak di sekitar daerah itu mendengar teriakan tersebut.
Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa darwis itu telah mengupas bawang.
Dalam sekejap, teriakan itu telah mencapai jalan pertama; dan orang-orang dewasa di kedua jalan itu menjadi sangat tertekan dan khawatir (sebab masyarakat di kedua jalan itu saling berhubungan) sehingga mereka takut menyelidiki lebih lanjut sebab musabab kehebohan itu.
Lalu, datanglah seorang bijaksana mencoba bertanya-jawab dengan orang-orang di kedua jalan itu, menanyakan mengapa mereka tidak saling bertukar informasi tentang kehebohan tersebut. Dalam keadaan bingung hingga tak tahu apa yang dikatakannya sendiri, beberapa orang berkata: "Yang kami tahu ada wabah mematikan di jalan sebelah."
Selentingan ini pun menyebar laksana jilatan api sehingga orang-orang di jalan yang ini berpikir bahwa orang-orang di jalan sana tertimpa bencana; demikian pula sebaliknya.
Bahkan ketika keadaan sudah sedikit lebih tenang, orang-orang di kedua jalan tersebut tetap memutuskan untuk pindah saja demi keselamatan. Demikianlah, kedua sisi kota itu akhirnya kosong ditinggalkan oleh penghuninya.
Kini, berabad kemudian, kota itu sunyi; dan tidak jauh dari sana terdapat dua desa. Tiap desa itu mempunyai cerita sendiri tentang bagaimana pada masa lampau leluhur mereka pindah dari sebuah kota yang tertimpa bencana dan berhasil melarikan diri dari malapetaka tak dikenal.
Dalam ajaran kejiwaannya, para Sufi menganggap bahwa penyampaian pengetahuan secara biasa niscaya rentan terhadap penyimpangan dan kekeliruan oleh sebab adanya penyuntingan dan salah ingat; cara semacam itu tidak bisa dipakai sebagai pengganti persepsi langsung atas kenyataan.
Kisah ini juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia antara lain oleh Ahmad Bahar dalam bukunya berjudul Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi. Juga oleh Sapardi Djoko Damono dalam buku Kisah-Kisah Sufi, Kumpulan Kisah Nasehat Para Guru Sufi Selama Seribu Tahun yang Lampau.
(mhy)