Efek Zina: Anak yang Dihasilkan Terputus Nasab dan Hak Waris dengan Ayah Biologisnya

Selasa, 25 Januari 2022 - 07:33 WIB
Ibnu al-Qayyim dalam Zâd al-Ma’âd menyatakan hadits ini membantah pendapat Ishaq dan yang sepakat dengannya.



5. Sabda Nabi SAW:

أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالْوَلَدُ وَلَدُ زِنَا ، لاَ يَرِثُ وَلاَ يُوْرِثُ


Siapa saja yang menzinai wanita merdeka atau budak sahaya maka anaknya adalah anak zina, tidak mewarisi dan mewariskan. (HR At-Tirmidzi, kitab a-Farâ`idh 4/428 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi dan Shahîh al-Jâmi’ no. 2723).

6. Ibnu Qudâmah menyampaikan alasannya bahwa anak hasil zina tidak dinasabkan kepada bapaknya apabila tidak diminta penasabannya. Ini menunjukkan bahwa anak itu tidak dianggap anak secara syar’i sehingga tidak dapat dinasabkan kepadanya sama sekali. (Lihat Al-Mughnî, 7/129-130 dinukil dari Ikhtiyârât Ibni Taimiyah 2/828).

Sedangkan pendapat kedua menyatakan anak tersebut dinasabkan kepada pezina apabila ia meminta penasabannya. Inilah pendapat Ishâq bin Rahuyah, ‘Urwah bin az-Zubeir, Sulaiman bin Yasâr, dan Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatâwâ menyatakan ada dua pendapat ulama dalam masalah pezina yang meminta anak zinanya dinasabkan kepadanya apabila wanita yang dizinahinya tidak bersuami.

Nabi SAW bersabda:

الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ


Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum. Nabi SAW menjadikan anak tersebut milik suami (al-Firaasy) bukan pezina. Apabila wanita itu tidak bersuami (al-Firâsy) maka tidak masuk dalam hadits ini.

Ibnu Taimiyah berargumen dengan perbuatan Khalifah Umar bin Al-Khattab sebagaimana diriwayatkan imam Mâlik dalam al-Muwaththa’ dengan lafadz:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – z – كَانَ يُلِيْطُ أَوْلاَدَ الْجَاهِلِيَّةِ بِمَنِ ادَّعَاهُمْ فِي الإِسْلاَمِ


Umar bin al-Khattab dahulu menasabkan anak-anak jahiliyah kepada yang mengakuinya (sebagai anak) dalam Islam. Demikian juga ia berargumen dengan qiyas (analogi), karena bapak adalah salah satu pasangan berzina tersebut.

Apabila dinasabkan kepada ibunya dan mewarisinya serta adanya nasab antara anak tersebut dengan kerabat ibunya padahal ia berzina dengan lelaki (bapaknya) tersebut. Anak itu ada dari air kedua pasangan tersebut dan berserikat padanya dan keduanya sepakat itu adalah anaknya, lalu apa yang mencegah dinasabkan anak tersebut kepada bapaknya, apabila selainnya tidak mengakuinya?

Ini adalah qiyas murni. Setelah membahas perbedaan pendapat dalam masalah ini dan menyampaikan hadits keempat dari pendapat pertama, Ibnul Qayyim menyatakan apabila hadits ini shahîh maka wajib berpendapat dengan kandungan hadits ini dan mengambilnya. Apabila hadits ini tidak shahih maka pendapat adalah pendapat Ishâq dan orang-orang yang bersamanya.

Anak ini tidak mempunyai hubungan nasab, wali, nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Anak hasil zina hanya memiliki hubungan nasab, waris, dan nafkah dengan ibu dan keluarga ibunya.



Hukum Waris

Hukum warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum waris anak mulâ’anah karena nasab mereka sama-sama terputus dari sang bapak.

Masalah waris mewaris bagi anak zina adalah bagian dari konsekwensi nasabnya. Pertama, anak hasil zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya. Hubungan waris mewaris antara seorang anak dengan bapaknya ada dengan keberadaan salah satu di antara sebab-sebab pewarisan (Asbâb al-Irts) yaitu nasab.

Ketika anak hasil zina tidak dinasabkan secara syar’i kepada lelaki yang telah menzinahi ibunya maka konsekuensinya adalah tidak ada waris-mewarisi di antara keduanya.

Dengan demikian, anak zina tersebut tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orang tersebut dan kerabatnya. Begitu juga lelaki tersebut, tidak bisa mendapatkan harta waris dari anak hasil perbuatan zinanya.

Kedua, Sedangkan antara anak hasil perbuatan zina dengan ibunya maka tetap ada saling mewarisi. Anak hasil zina ini sama seperti anak-anak yang lain dari ibunya tersebut. Karena ia adalah anaknya, maka ia masuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا


Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [ QS an-Nisa : 11 ]

Dia berhak mendapatkan warisan dari sang ibu karena ia dinasabkan kepada ibunya dan nasab merupakan salah satu sebab di antara sebab-sebab pewarisan.

Ibnu Quddâmah dalam Al-Mughnî berkata : “Seorang lelaki apabila melakukan mulâ’anah terhadap istrinya dan menolak anaknya serta hakim telah memisahkan antara keduanya, maka anak tersebut lepas darinya dan terputuslah hak waris mewaris dari sisi lelaki yang melakukan mulâ’anah ini.

Ia tidak mewarisinya dan juga tidak seorangpun ahli waris (‘Ashabah)nya. Dia hanya diwarisi oleh ibunya dan dzawu al-Furudh (ahli waris yang mendapatkan bagian-bagian tertentu-red) dari arah ibu. Juga waris mewaris antara pasangan suami istri tersebut putus dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.

Halaman :
Follow
cover top ayah
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِنَّمَا الۡخَمۡرُ وَالۡمَيۡسِرُ وَالۡاَنۡصَابُ وَالۡاَزۡلَامُ رِجۡسٌ مِّنۡ عَمَلِ الشَّيۡطٰنِ فَاجۡتَنِبُوۡهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُوۡنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.

(QS. Al-Maidah Ayat 90)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More