Efek Zina: Anak yang Dihasilkan Terputus Nasab dan Hak Waris dengan Ayah Biologisnya
Selasa, 25 Januari 2022 - 07:33 WIB
Seorang berdiri seraya berkata: “Wahai Rasulullah! Sungguh si Fulan ini adalah anak saya, saya telah menzinahi ibunya di zaman Jahiliyah.”
Maka Rasulullah SAW menjawab: “Tidak ada pengakuan anak dalam Islam. Masa jahiliyah sudah hilang. Anak adalah milik suami wanita (al-Firâsy) dan pezina mendapatkan kerugian. (HR Abu Daud, Kitabutth-Thalâq Babul-Walad Lil Firâsy no. 2274 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Daud dan Shahîhul-Jâmi’ no. 2493).
3. Sabda Nabi SAW:
Tidak ada perzinahan dalam Islam, siapa yang berzina di zaman jahiliyah maka dinasabkan kepada kerabat ahli warisnya (Ashabah) dan siapa yang mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan tidak mewariskan. (HR Abu Daud no. 2264 namun hadits ini didhaifkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Dha’îful -Jâmi no. 6310 dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zâd al-Ma’âd 5/382).
4. Hadits Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
Sungguhnya Nabi SAW ingin memutuskan permasalahan setiap anak yang dinasabkan kepada seseorang setelah (meninggal) bapak yang dinasabkan kepadanya tersebut diakui oleh ahli warisnya. Lalu beliau memutuskan bahwa semua anak yang lahir dari budak yang berstatus miliknya (sang majikan) pada waktu digauli (hubungan suami istri), maka si anak dinasabkan kepada yang meminta penasabannya dan anak tersebut tidak memiliki hak sedikitpun dari warisan dibagikan sebelum (dinasabkan) padanya dan warisan yang belum dibagikan maka ia mendapatkan bagiannya.
Tidak dinasabkan (kepada sang bapak) apabila bapak yang dinasabkan tersebut mengingkarinya. Apabila dari budak yang tidak dimilikinya atau dari wanita merdeka yang dizinainya, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya dan tidak mewarisi walaupun orang yang dinasabkan tersebut yang mengklaimnya, karena ia anak zina baik dari wanita merdeka atau budak sahaya. (HR Abu Daud no. 2265 dan 2266 dan dihasankan al-Albâni dalam shahih Sunan Abi Daud dan Syu’aib al-Arna`uth dalam Tahqîq Zâd al-Ma’âd 5/383)
Ibnu al-Qayyim dalam Zâd al-Ma’âd menyatakan hadits ini membantah pendapat Ishaq dan yang sepakat dengannya.
5. Sabda Nabi SAW:
Siapa saja yang menzinai wanita merdeka atau budak sahaya maka anaknya adalah anak zina, tidak mewarisi dan mewariskan. (HR At-Tirmidzi, kitab a-Farâ`idh 4/428 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi dan Shahîh al-Jâmi’ no. 2723).
6. Ibnu Qudâmah menyampaikan alasannya bahwa anak hasil zina tidak dinasabkan kepada bapaknya apabila tidak diminta penasabannya. Ini menunjukkan bahwa anak itu tidak dianggap anak secara syar’i sehingga tidak dapat dinasabkan kepadanya sama sekali. (Lihat Al-Mughnî, 7/129-130 dinukil dari Ikhtiyârât Ibni Taimiyah 2/828).
Sedangkan pendapat kedua menyatakan anak tersebut dinasabkan kepada pezina apabila ia meminta penasabannya. Inilah pendapat Ishâq bin Rahuyah, ‘Urwah bin az-Zubeir, Sulaiman bin Yasâr, dan Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatâwâ menyatakan ada dua pendapat ulama dalam masalah pezina yang meminta anak zinanya dinasabkan kepadanya apabila wanita yang dizinahinya tidak bersuami.
Nabi SAW bersabda:
Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum. Nabi SAW menjadikan anak tersebut milik suami (al-Firaasy) bukan pezina. Apabila wanita itu tidak bersuami (al-Firâsy) maka tidak masuk dalam hadits ini.
Maka Rasulullah SAW menjawab: “Tidak ada pengakuan anak dalam Islam. Masa jahiliyah sudah hilang. Anak adalah milik suami wanita (al-Firâsy) dan pezina mendapatkan kerugian. (HR Abu Daud, Kitabutth-Thalâq Babul-Walad Lil Firâsy no. 2274 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Daud dan Shahîhul-Jâmi’ no. 2493).
3. Sabda Nabi SAW:
لاَ مُسَاعَاةَ فِى الإِسْلاَمِ مَنْ سَاعَى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ لَحِقَ بِعَصَبَتِهِ وَمَنِ ادَّعَى وَلَدًا مِنْ غَيْرِ رِشْدَةٍ فَلاَ يَرِثُ وَلاَ يُورَثُ
Tidak ada perzinahan dalam Islam, siapa yang berzina di zaman jahiliyah maka dinasabkan kepada kerabat ahli warisnya (Ashabah) dan siapa yang mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan tidak mewariskan. (HR Abu Daud no. 2264 namun hadits ini didhaifkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Dha’îful -Jâmi no. 6310 dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zâd al-Ma’âd 5/382).
4. Hadits Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَضَى أَنَّ كُلَّ مُسْتَلْحَقٍ اسْتُلْحِقَ بَعْدَ أَبِيهِ الَّذِى يُدْعَى لَهُ ادَّعَاهُ وَرَثَتُهُ فَقَضَى أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ يَمْلِكُهَا يَوْمَ أَصَابَهَا فَقَدْ لَحِقَ بِمَنِ اسْتَلْحَقَهُ وَلَيْسَ لَهُ مِمَّا قُسِمَ قَبْلَهُ مِنَ الْمِيرَاثِ شَىْءٌ وَمَا أَدْرَكَ مِنْ مِيرَاثٍ لَمْ يُقْسَمْ فَلَهُ نَصِيبُهُ وَلاَ يُلْحَقُ إِذَا كَانَ أَبُوهُ الَّذِى يُدْعَى لَهُ أَنْكَرَهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لاَ يُلْحَقُ بِهِ وَلاَ يَرِثُ وَإِنْ كَانَ الَّذِى يُدْعَى لَهُ هُوَ ادَّعَاهُ فَهُوَ وَلَدُ زِنْيَةٍ مِنْ حُرَّةٍ كَانَ أَوْ أَمَةٍ.
Sungguhnya Nabi SAW ingin memutuskan permasalahan setiap anak yang dinasabkan kepada seseorang setelah (meninggal) bapak yang dinasabkan kepadanya tersebut diakui oleh ahli warisnya. Lalu beliau memutuskan bahwa semua anak yang lahir dari budak yang berstatus miliknya (sang majikan) pada waktu digauli (hubungan suami istri), maka si anak dinasabkan kepada yang meminta penasabannya dan anak tersebut tidak memiliki hak sedikitpun dari warisan dibagikan sebelum (dinasabkan) padanya dan warisan yang belum dibagikan maka ia mendapatkan bagiannya.
Tidak dinasabkan (kepada sang bapak) apabila bapak yang dinasabkan tersebut mengingkarinya. Apabila dari budak yang tidak dimilikinya atau dari wanita merdeka yang dizinainya, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya dan tidak mewarisi walaupun orang yang dinasabkan tersebut yang mengklaimnya, karena ia anak zina baik dari wanita merdeka atau budak sahaya. (HR Abu Daud no. 2265 dan 2266 dan dihasankan al-Albâni dalam shahih Sunan Abi Daud dan Syu’aib al-Arna`uth dalam Tahqîq Zâd al-Ma’âd 5/383)
Ibnu al-Qayyim dalam Zâd al-Ma’âd menyatakan hadits ini membantah pendapat Ishaq dan yang sepakat dengannya.
5. Sabda Nabi SAW:
أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالْوَلَدُ وَلَدُ زِنَا ، لاَ يَرِثُ وَلاَ يُوْرِثُ
Siapa saja yang menzinai wanita merdeka atau budak sahaya maka anaknya adalah anak zina, tidak mewarisi dan mewariskan. (HR At-Tirmidzi, kitab a-Farâ`idh 4/428 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi dan Shahîh al-Jâmi’ no. 2723).
6. Ibnu Qudâmah menyampaikan alasannya bahwa anak hasil zina tidak dinasabkan kepada bapaknya apabila tidak diminta penasabannya. Ini menunjukkan bahwa anak itu tidak dianggap anak secara syar’i sehingga tidak dapat dinasabkan kepadanya sama sekali. (Lihat Al-Mughnî, 7/129-130 dinukil dari Ikhtiyârât Ibni Taimiyah 2/828).
Sedangkan pendapat kedua menyatakan anak tersebut dinasabkan kepada pezina apabila ia meminta penasabannya. Inilah pendapat Ishâq bin Rahuyah, ‘Urwah bin az-Zubeir, Sulaiman bin Yasâr, dan Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatâwâ menyatakan ada dua pendapat ulama dalam masalah pezina yang meminta anak zinanya dinasabkan kepadanya apabila wanita yang dizinahinya tidak bersuami.
Nabi SAW bersabda:
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum. Nabi SAW menjadikan anak tersebut milik suami (al-Firaasy) bukan pezina. Apabila wanita itu tidak bersuami (al-Firâsy) maka tidak masuk dalam hadits ini.