Efek Zina: Anak yang Dihasilkan Terputus Nasab dan Hak Waris dengan Ayah Biologisnya

Selasa, 25 Januari 2022 - 07:33 WIB
Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali, nikah, waris, dan nafkah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. (Foto/Ilustrasi: Ist)
Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan sah menurut ketentuan agama. Anak ini tidak mempunyai hubungan nasab, wali, nikah, waris, dan nafkah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Anak hasil zina hanya memiliki hubungan nasab, waris, dan nafkah dengan ibu dan keluarga ibunya.

Anak hasil zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana nasib anak mulâ’anah yang dinasabkan kepada ibunya, bukan ke bapaknya. Sebab, nasab anak ini terputus dari sisi bapak.



Ibnu Umar RA pernah menuturkan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَعَنَ بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَتِهِ ، فَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا ، فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا ، وَاَلْحَقَ الْوَلَدَ باِلْمَرْأَةِ




Nabi SAW mengadakan mulâ’anah antara seorang lelaki dengan istrinya. Lalu lelaki itu mengingkari anaknya tersebut dan Nabi SAW memisahkan keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada ibunya.[HR al-Bukhâri, Kitâbuth-Thalâq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah. Lihat Fathul Baari (9/460)]

Imam Ibnul Qayyim dalam Zâdul Ma’âd ketika menjelaskan konsekuensi hukum dari sebuah mula’aanah antara seorang suami dengan istrinya menyatakan: “Hukum keenam adalah terputusnya nasab anak dari sisi sang bapak. Karena Rasulullah SAW menetapkan untuk tidak dipanggil anak tersebut dengan nasab bapak. Inilah yang benar dan merupakan pendapat mayoritas ulama”.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn dalam Syarhul Mumti’ mengatakan: “Anak zina diciptakan dari sperma tanpa pernikahan. Maka dia tidak dinasabkan kepada seorang pun, baik kepada lelaki yang menzinainya atau suami wanita tersebut apabila ia bersuami. Alasannya, ia tidak memiliki bapak yang syar’i (melalui pernikahan yang sah, red)”.

Apabila wanita tersebut tidak memiliki suami, baik janda atau belum pernah menikah secara sah sama sekali, kemudian melahirkan anak, maka anak tersebut berada dalam dua kondisi.

Pertama, bila tidak ada seorang lelaki pun yang pernah menzinainya meminta anak tersebut dinasabkan kepada dirinya, maka si anak tidak dinasabkan kepada lelaki manapun. Nasab anak itu dihubungkan ke ibunya.

Kedua, ada lelaki yang mengaku telah menzinai wanita tersebut dan mengklaim anak tersebut anaknya. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat.

Pendapat pertama menyatakan anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki yang mengaku itu. Ini merupakan pendapat madzhab al-`aimah al-arba’ah (Imam madzhab yang empat yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad ) dan pendapat Ibnu Hazm.



Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni. Dasar pendapat ini adalah:

1. Sabda Rasulullah SAW:

الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ


Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya mendapatkan kerugian. (HR al-Bukhâri kitab al-Farâ’id, Bab Manidda’a Akhan atau Ibna akhi. Lihat Fathul Bâri 12/52)

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi SAW tidak menasabkan sang anak kepada selain suami ibunya. Ini berarti menasabkan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi kandungan hadits ini.

2. Hadits Abdullah bin ‘Amru yang berbunyi:

قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنًا ابْنِيْ عَاهَرْتُ بِأُمِّهِ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ دِعْوَةَ فِي اْلإِسْلاَمِ ذَهَبَ أَمْرُ الْجَاهِلِيَّةِ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ.


Seorang berdiri seraya berkata: “Wahai Rasulullah! Sungguh si Fulan ini adalah anak saya, saya telah menzinahi ibunya di zaman Jahiliyah.”

Maka Rasulullah SAW menjawab: “Tidak ada pengakuan anak dalam Islam. Masa jahiliyah sudah hilang. Anak adalah milik suami wanita (al-Firâsy) dan pezina mendapatkan kerugian. (HR Abu Daud, Kitabutth-Thalâq Babul-Walad Lil Firâsy no. 2274 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Daud dan Shahîhul-Jâmi’ no. 2493).

3. Sabda Nabi SAW:

لاَ مُسَاعَاةَ فِى الإِسْلاَمِ مَنْ سَاعَى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ لَحِقَ بِعَصَبَتِهِ وَمَنِ ادَّعَى وَلَدًا مِنْ غَيْرِ رِشْدَةٍ فَلاَ يَرِثُ وَلاَ يُورَثُ


Tidak ada perzinahan dalam Islam, siapa yang berzina di zaman jahiliyah maka dinasabkan kepada kerabat ahli warisnya (Ashabah) dan siapa yang mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan tidak mewariskan. (HR Abu Daud no. 2264 namun hadits ini didhaifkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Dha’îful -Jâmi no. 6310 dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zâd al-Ma’âd 5/382).

4. Hadits Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَضَى أَنَّ كُلَّ مُسْتَلْحَقٍ اسْتُلْحِقَ بَعْدَ أَبِيهِ الَّذِى يُدْعَى لَهُ ادَّعَاهُ وَرَثَتُهُ فَقَضَى أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ يَمْلِكُهَا يَوْمَ أَصَابَهَا فَقَدْ لَحِقَ بِمَنِ اسْتَلْحَقَهُ وَلَيْسَ لَهُ مِمَّا قُسِمَ قَبْلَهُ مِنَ الْمِيرَاثِ شَىْءٌ وَمَا أَدْرَكَ مِنْ مِيرَاثٍ لَمْ يُقْسَمْ فَلَهُ نَصِيبُهُ وَلاَ يُلْحَقُ إِذَا كَانَ أَبُوهُ الَّذِى يُدْعَى لَهُ أَنْكَرَهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لاَ يُلْحَقُ بِهِ وَلاَ يَرِثُ وَإِنْ كَانَ الَّذِى يُدْعَى لَهُ هُوَ ادَّعَاهُ فَهُوَ وَلَدُ زِنْيَةٍ مِنْ حُرَّةٍ كَانَ أَوْ أَمَةٍ.


Sungguhnya Nabi SAW ingin memutuskan permasalahan setiap anak yang dinasabkan kepada seseorang setelah (meninggal) bapak yang dinasabkan kepadanya tersebut diakui oleh ahli warisnya. Lalu beliau memutuskan bahwa semua anak yang lahir dari budak yang berstatus miliknya (sang majikan) pada waktu digauli (hubungan suami istri), maka si anak dinasabkan kepada yang meminta penasabannya dan anak tersebut tidak memiliki hak sedikitpun dari warisan dibagikan sebelum (dinasabkan) padanya dan warisan yang belum dibagikan maka ia mendapatkan bagiannya.

Tidak dinasabkan (kepada sang bapak) apabila bapak yang dinasabkan tersebut mengingkarinya. Apabila dari budak yang tidak dimilikinya atau dari wanita merdeka yang dizinainya, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya dan tidak mewarisi walaupun orang yang dinasabkan tersebut yang mengklaimnya, karena ia anak zina baik dari wanita merdeka atau budak sahaya. (HR Abu Daud no. 2265 dan 2266 dan dihasankan al-Albâni dalam shahih Sunan Abi Daud dan Syu’aib al-Arna`uth dalam Tahqîq Zâd al-Ma’âd 5/383)
Halaman :
Follow
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:  Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.  Ada seorang sahabat bertanya: bagaimana maksud amanat disia-siakan?  Nabi menjawab: Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.

(HR. Bukhari No. 6015)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More