Abu Nawas Menangkap Harimau Berjenggot Sesuai Titah Baginda
Senin, 07 Februari 2022 - 09:29 WIB
Terkadang permintaan Baginda Khalifah Harun Al-Rasyid nggak masuk di akal. Parahnya, jika permintaan itu tidak dituruti bisa berabe bagi Abu Nawas . Begitu juga yang terjadi pada hari itu. “Hai Abu Nawas,” seru Khalifah Harun Al-Rasyid. “Sekarang juga kamu harus dapat mempersembahkan kepadaku seekor harimau berjenggot, jika gagal, aku bunuh kau.”
Bila sudah begitu, Abu Nawas hanya bisa menatap lantai. Dia menyadari Baginda sedang keluar bencinya kepada dirinya. Dari bentuk mulut dan intonasinya ketika mengucapkan kalimat itu jelas betapa Sultan sedang kesal dengan Abu Nawas.
“Ya tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas mau tidak mau. “Semua perintah paduka akan hamba laksanakan, namun untuk yang satu ini hamba mohon waktu delapan hari,” lanjut Abu Nawas meminta kelonggaran.
“Baik,” kata Baginda setuju.
Alkisah, pulanglah Abu Nawas ke rumah. Agaknya ia sudah menangkap gelagat bahwa Raja sangat marah kepadanya, dicarinya akal supaya dapat mencelakakan dirinya. "Ini perkara serius," pikir Abu Nawas gelisah. “Kali ini aku juga harus berhati-hati.”
Sesampainya di rumah dipanggilnya empat orang tukang kayu dan disuruhnya membuat kandang macan. Hanya dalam waktu tiga hari kandang itu pun siap sudah.
Kepada istrinya ia berpesan agar menjamu orang yang berjenggot yang datang ke rumah. “Apabila adinda dengar kakanda mengetuk pintu kelak, suruh dia masuk ke dalam kandang itu,” kata Abu Nawas sambil menunjuk kandang tersebut.
“Baik,” kata istrinya.
Abu Nawas pun kemudian bergegas pergi ke Musalla dengan membawa sajadah. “Hai Abu Nawas, tumben Lu salat di sini?” bertanya Imam dan penghulu mushalla itu.
"Sebenarnya saya mau menceritakan hal ini kepada orang lain, tapi kalau tidak kepada tuan penghulu kepada siapa lagi saya mengadu,” jawab Abu Nawas.
“Tadi malam saya ribut dengan istri saya, itu sebabnya saya tidak mau pulang ke rumah,” ucap Abu Nawas berdalih.
“Pucuk dicinta, ulam tiba,” pikir penghulu itu. “Kubiarkan Abu Nawas tidur di sini dan aku pergi ke rumah Abu Nawas menemui istrinya. Sudah lama aku menaruh hati kepada perempuan cantik itu,” otak nakal penghulu itu mulai berandai-andai.
“Hai Abu Nawas,” kata si penghulu, “Bolehkah aku menyelesaikan perselisihan dengan istrimu itu?”
“Silakan,” jawab Abu Nawas. “Hamba sangat berterima kasih atas kebaikan hati tuan,” lanjutnya.
Maka pergilah penghulu ke rumah Abu Nawas dengan hati berbunga-bunga, dan dengan wajah berseri-seri diketuknya pintu rumah Abu Nawas. Begitu pintu terbuka ia langsung mengamit istri Abu Nawas dan diajak duduk bersanding.
“Hai Adinda,,,” katanya. “Apa gunanya punya suami jahat dan melarat. Lagi pula Abu Nawas hidupnya tak karuan. Lebih baik kamu jadi istriku. Kamu dapat hidup senang dan tidak kekurangan suatu apa,” rayunya.
“Baiklah kalau keinginan tuan demikian,” jawab istri Abu Nawas polos-polos saja. Tak berapa lama kemudian terdengar pintu diketuk orang. Ketukan itu membuat penghulu belingsatan.
“Ke mana aku harus bersembunyi," tanyanya kepada istri Abu Nawas.
Bila sudah begitu, Abu Nawas hanya bisa menatap lantai. Dia menyadari Baginda sedang keluar bencinya kepada dirinya. Dari bentuk mulut dan intonasinya ketika mengucapkan kalimat itu jelas betapa Sultan sedang kesal dengan Abu Nawas.
“Ya tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas mau tidak mau. “Semua perintah paduka akan hamba laksanakan, namun untuk yang satu ini hamba mohon waktu delapan hari,” lanjut Abu Nawas meminta kelonggaran.
“Baik,” kata Baginda setuju.
Alkisah, pulanglah Abu Nawas ke rumah. Agaknya ia sudah menangkap gelagat bahwa Raja sangat marah kepadanya, dicarinya akal supaya dapat mencelakakan dirinya. "Ini perkara serius," pikir Abu Nawas gelisah. “Kali ini aku juga harus berhati-hati.”
Sesampainya di rumah dipanggilnya empat orang tukang kayu dan disuruhnya membuat kandang macan. Hanya dalam waktu tiga hari kandang itu pun siap sudah.
Kepada istrinya ia berpesan agar menjamu orang yang berjenggot yang datang ke rumah. “Apabila adinda dengar kakanda mengetuk pintu kelak, suruh dia masuk ke dalam kandang itu,” kata Abu Nawas sambil menunjuk kandang tersebut.
“Baik,” kata istrinya.
Abu Nawas pun kemudian bergegas pergi ke Musalla dengan membawa sajadah. “Hai Abu Nawas, tumben Lu salat di sini?” bertanya Imam dan penghulu mushalla itu.
"Sebenarnya saya mau menceritakan hal ini kepada orang lain, tapi kalau tidak kepada tuan penghulu kepada siapa lagi saya mengadu,” jawab Abu Nawas.
“Tadi malam saya ribut dengan istri saya, itu sebabnya saya tidak mau pulang ke rumah,” ucap Abu Nawas berdalih.
“Pucuk dicinta, ulam tiba,” pikir penghulu itu. “Kubiarkan Abu Nawas tidur di sini dan aku pergi ke rumah Abu Nawas menemui istrinya. Sudah lama aku menaruh hati kepada perempuan cantik itu,” otak nakal penghulu itu mulai berandai-andai.
“Hai Abu Nawas,” kata si penghulu, “Bolehkah aku menyelesaikan perselisihan dengan istrimu itu?”
“Silakan,” jawab Abu Nawas. “Hamba sangat berterima kasih atas kebaikan hati tuan,” lanjutnya.
Maka pergilah penghulu ke rumah Abu Nawas dengan hati berbunga-bunga, dan dengan wajah berseri-seri diketuknya pintu rumah Abu Nawas. Begitu pintu terbuka ia langsung mengamit istri Abu Nawas dan diajak duduk bersanding.
“Hai Adinda,,,” katanya. “Apa gunanya punya suami jahat dan melarat. Lagi pula Abu Nawas hidupnya tak karuan. Lebih baik kamu jadi istriku. Kamu dapat hidup senang dan tidak kekurangan suatu apa,” rayunya.
“Baiklah kalau keinginan tuan demikian,” jawab istri Abu Nawas polos-polos saja. Tak berapa lama kemudian terdengar pintu diketuk orang. Ketukan itu membuat penghulu belingsatan.
“Ke mana aku harus bersembunyi," tanyanya kepada istri Abu Nawas.