Surat Yasin Ayat 76: Boleh Bersedih, tapi Jangan Larut dalam Kesedihan
Kamis, 10 Februari 2022 - 18:40 WIB
Surah Yasin ayat 76 berisi tentang perihal Allah Taala menghibur Nabi Muhammad SAW di kala beliau dirundung kesedihan. Ayat sebelumnya telah dijabarkan bagaimana Allah mencela sikap manusia yang kufur akan nikmat-Nya. Mereka bahkan menuduh bahwa al-Quran hanyalah syair ciptaan Nabi SAW. Sikap mereka ini membuat nabi murung dan bersedih.
Allah SWT berfirman
Maka jangan sampai ucapan mereka membuat engkau (Muhammad) bersedih hati. Sungguh, Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan. (QS Yasin : 76)
Perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW tak pernah surut dari lika-liku ujian. Tak jarang beliau mendapat hinaan, baik tentang Allah, ajaran yang beliau bawa, atau bahkan pribadinya sendiri, hingga kadang membuatnya bersedih. Di antara tuduhan yang disampaikan orang kafir dalam surah ini adalah Muhammad seorang penyair.
Karena itu, beberapa mufassir seperti Thabari, Zuhaili, Fakhruddin al-Razi, dan lainnya, sepakat bahwa ayat ini secara khusus ditujukan Allah kepada Nabi untuk menghiburnya.
Menurut Imam al-Thabari, dalam tafsirnya, seolah-olah Allah SWT berfirman, “Janganlah engkau sedih wahai Muhammad atas apa yang diucapkan orang-orang Musyrik kepadamu. Mereka menuduhmu sebagai penyair, al-Qur’an hanyalah syair, dan pendustaan mereka terhadap ayat-ayat Allah SWT dan penolakan mereka atas kenabianmu.”
Al-Thabari melanjutkan, “Allah SWT menenangkan Nabi SAW dengan mengingatkan bahwa apa yang orang-orang musyrik katakan adalah tidak benar. Allah SWT Maha Mengetahui segala perkataan mereka, pembangkangan mereka, baik yang diucapkan oleh lisan maupun yang tidak diucapkan.”
Sedangkan al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf menambahkan ayat ini hendak menegaskan pembelaan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Seolah-olah Allah SWT berfirman, “Engkau tidak perlu risau dengan kepongahan orang-orang musyrik, ancaman mereka dan segala hal yang mereka perbuat untuk mencelakakanmu. Karena Allah SWT mengetahui segala yang mereka sembunyikan darimu dan apa yang mereka perlihatkan. Maka tugasmu adalah berpegang teguh kepada janji Allah SWT.”
Kalimat maa yusirruuna wa maa yu’linuun, menurut Fakhruddin al-Razi, bisa dimaknai dengan tiga makna. Pertama, dapat dipahami bahwa kalimat tersebut merupakan ancaman bagi orang-orang munafik dan orang-orang musyrik. Allah SWT mengetahui apa yang disembunyikan oleh orang-orang munafik, mereka mengaku beriman di depan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya padahal sebenarnya mereka berpihak pada orang-orang kafir.
Kedua, dapat dipahami bahwa Allah SWT mengetahui apa yang orang-orang kafir itu sembunyikan dari Nabi Muhammad SAW dan apa yang ditampakkan.
Ketiga, Allah SWT mengetahui yang disembunyikan berupa keyakinan mereka dan yang tampak berupa perbuatan-perbuatan mereka yang tercela.
Berbeda dengan al-Biqa’i. Ia justru menggarisbawahi makna kata yahzunka dibandingkan kata-kata lain. Menurutnya, kata tersebut berarti ‘jangan menjadi sedih’ atau jangan larut dalam kesedihan.
Atas penafsirannya ini, al-Biqa’i ingin menyampaikan bahwa Allah SWT tidak melarang Nabi Muhammad SAW untuk bersedih, Allah SWT tidak melarang timbulnya kesedihan dalam hati manusia karena kekecewaan terhadap sesuatu. Sedih semacam ini merupakan bagian dari sifat manusia. "Yang dilarang Allah SWT adalah berlarut-larut dalam kesedihan karena akan berdampak pada jalan dakwah Nabi Muhammad SAW dan juga tidak baik bagi manusia secara umum," tuturnya.
Artinya, kesedihan adalah sifat alami (fitrah) tiap individu manusia, sekalipun ia seorang nabi/rasul. Di ayat lain yang serupa, Allah juga kerap kali menghibur kesedihan Nabi Muhammad SAW. Seperti dalam surah Yunus ayat 65, firmannya:
Dan janganlah engkau (Muhammad) sedih oleh perkataan mereka. Sungguh, kekuasaan itu seluruhnya milik Allah. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
Nilai yang bisa diambil dalam ayat-ayat demikian adalah urgensi – sebagai hamba –menyandarkan segala bentuk kesedihan kepada Allah SWT Hal inilah yang diterapkan oleh para nabi dan orang-orang soleh.
Sebagaimana Al-Qur’an juga mengabadikan kesedihan Ya’qub dalam surah Yusuf ayat 86, Allah berfirman:
Dia (Yakub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.
Mengutip dari Tafsir Kementerian Agama ayat di atas menceritakan bagaimana Ya’qub bersedih atas isu kematian Yusuf. Ia berkata kepada anak-anaknya yang lain,
“Wahai anak-anakku kalian jangan mencercaku, aku tidak pernah mengadu kepadamu sekalian, begitu juga kepada manusia yang lain tentang kesedihan dan kesusahanku. Sebab aku hanya mengadu kesusahan yang menimpaku kepada Allah SWT….dst”
Nilai lain yang bisa dipetik yakni tidak berlarut dalam kesedihan. Ini sekaligus menegaskan bahwa kesedihan itu wajar, yang dilarang adalah larut bahkan terbenam dalam kesedihan itu.
Karena itu Al-Biqa’i menerangkan bahwa kata yahzunka (يَحْزُنْكَ) dalam ayat ini, dimakanai dengan tidak larut dalam kesedihan. Dan cara meredam kesedihan tersebut yakni dengan sesegera mungkin mengingat Allah SWT.
Menggelapkan Hati
Dalam kitab Nashaih al-‘Ibad, Imam Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa ada dua kategori kesedihan, ia berkata: “Sedih karena perkara dunia dapat menggelapkan hati, sedangkan sedih karena perkara akhirat dapat menerangkannya (hati)”
Hati merupakan wadah yang lengkap, ia menampung berbagai macam karakter perasaan manusia, termasuk rasa sedih. Karena itu, apa pun bentuk dari kesedihan kita, hendaklah menyandarkannya kepada Sang Pemiliki Hati. Bahkan Dia tidak canggung mengajak kita untuk berdialog kepadanya. Allah berfirman:
Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Mekkah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya, “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Dan firman Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. ( QS At-Taubah : 40)
Ada banyak faktor yang menyebabkan kesedihan, di antaranya; jauh dari Allah, bermaksiat, tidak dapat menjalankan kebaikan, dihina, berpisah dengan orang yang disenangi, dsb.
Cara lain mengobati perasaan sedih tersebut selain aspek internal dengan Allah: beribadah, membaca Al-Qur'an, berzikir, dan lainnya. Seperti dalam hadits:
Siapa yang melazimkan beristighfar, maka Allah jadikan baginya jalan keluar atas segala kesulitannya. Allah juga akan memberikan kelapangan atas segala kesempitan dan kesusahannya. Serta memberinya rezeki dari jalan yang tak disangka-sangka. (HR Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Hakim).
Juga dengan mendekat (berteman) pada orang-orang saleh. Sebab, mereka adalah peranan penting yang juga diceritakan al-Quran – seperti dalam al-Quran surat At-Taubah: 40 diatas – untuk menghilangkan kesedihan yang sedang dialami. Di sisi lain, juga untuk menilai manakah kawan yang setia bersama, baik dalam keadaan senang maupun susah.
Allah SWT berfirman
فَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ ۘاِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّوْنَ وَمَا يُعْلِنُوْنَ
Maka jangan sampai ucapan mereka membuat engkau (Muhammad) bersedih hati. Sungguh, Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan. (QS Yasin : 76)
Perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW tak pernah surut dari lika-liku ujian. Tak jarang beliau mendapat hinaan, baik tentang Allah, ajaran yang beliau bawa, atau bahkan pribadinya sendiri, hingga kadang membuatnya bersedih. Di antara tuduhan yang disampaikan orang kafir dalam surah ini adalah Muhammad seorang penyair.
Karena itu, beberapa mufassir seperti Thabari, Zuhaili, Fakhruddin al-Razi, dan lainnya, sepakat bahwa ayat ini secara khusus ditujukan Allah kepada Nabi untuk menghiburnya.
Menurut Imam al-Thabari, dalam tafsirnya, seolah-olah Allah SWT berfirman, “Janganlah engkau sedih wahai Muhammad atas apa yang diucapkan orang-orang Musyrik kepadamu. Mereka menuduhmu sebagai penyair, al-Qur’an hanyalah syair, dan pendustaan mereka terhadap ayat-ayat Allah SWT dan penolakan mereka atas kenabianmu.”
Al-Thabari melanjutkan, “Allah SWT menenangkan Nabi SAW dengan mengingatkan bahwa apa yang orang-orang musyrik katakan adalah tidak benar. Allah SWT Maha Mengetahui segala perkataan mereka, pembangkangan mereka, baik yang diucapkan oleh lisan maupun yang tidak diucapkan.”
Sedangkan al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf menambahkan ayat ini hendak menegaskan pembelaan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Seolah-olah Allah SWT berfirman, “Engkau tidak perlu risau dengan kepongahan orang-orang musyrik, ancaman mereka dan segala hal yang mereka perbuat untuk mencelakakanmu. Karena Allah SWT mengetahui segala yang mereka sembunyikan darimu dan apa yang mereka perlihatkan. Maka tugasmu adalah berpegang teguh kepada janji Allah SWT.”
Kalimat maa yusirruuna wa maa yu’linuun, menurut Fakhruddin al-Razi, bisa dimaknai dengan tiga makna. Pertama, dapat dipahami bahwa kalimat tersebut merupakan ancaman bagi orang-orang munafik dan orang-orang musyrik. Allah SWT mengetahui apa yang disembunyikan oleh orang-orang munafik, mereka mengaku beriman di depan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya padahal sebenarnya mereka berpihak pada orang-orang kafir.
Kedua, dapat dipahami bahwa Allah SWT mengetahui apa yang orang-orang kafir itu sembunyikan dari Nabi Muhammad SAW dan apa yang ditampakkan.
Ketiga, Allah SWT mengetahui yang disembunyikan berupa keyakinan mereka dan yang tampak berupa perbuatan-perbuatan mereka yang tercela.
Berbeda dengan al-Biqa’i. Ia justru menggarisbawahi makna kata yahzunka dibandingkan kata-kata lain. Menurutnya, kata tersebut berarti ‘jangan menjadi sedih’ atau jangan larut dalam kesedihan.
Atas penafsirannya ini, al-Biqa’i ingin menyampaikan bahwa Allah SWT tidak melarang Nabi Muhammad SAW untuk bersedih, Allah SWT tidak melarang timbulnya kesedihan dalam hati manusia karena kekecewaan terhadap sesuatu. Sedih semacam ini merupakan bagian dari sifat manusia. "Yang dilarang Allah SWT adalah berlarut-larut dalam kesedihan karena akan berdampak pada jalan dakwah Nabi Muhammad SAW dan juga tidak baik bagi manusia secara umum," tuturnya.
Artinya, kesedihan adalah sifat alami (fitrah) tiap individu manusia, sekalipun ia seorang nabi/rasul. Di ayat lain yang serupa, Allah juga kerap kali menghibur kesedihan Nabi Muhammad SAW. Seperti dalam surah Yunus ayat 65, firmannya:
وَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْۘ اِنَّ الْعِزَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًاۗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Dan janganlah engkau (Muhammad) sedih oleh perkataan mereka. Sungguh, kekuasaan itu seluruhnya milik Allah. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
Nilai yang bisa diambil dalam ayat-ayat demikian adalah urgensi – sebagai hamba –menyandarkan segala bentuk kesedihan kepada Allah SWT Hal inilah yang diterapkan oleh para nabi dan orang-orang soleh.
Sebagaimana Al-Qur’an juga mengabadikan kesedihan Ya’qub dalam surah Yusuf ayat 86, Allah berfirman:
قَالَ اِنَّمَآ اَشْكُوْا بَثِّيْ وَحُزْنِيْٓ اِلَى اللّٰهِ وَاَعْلَمُ مِنَ اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
Dia (Yakub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.
Mengutip dari Tafsir Kementerian Agama ayat di atas menceritakan bagaimana Ya’qub bersedih atas isu kematian Yusuf. Ia berkata kepada anak-anaknya yang lain,
“Wahai anak-anakku kalian jangan mencercaku, aku tidak pernah mengadu kepadamu sekalian, begitu juga kepada manusia yang lain tentang kesedihan dan kesusahanku. Sebab aku hanya mengadu kesusahan yang menimpaku kepada Allah SWT….dst”
Nilai lain yang bisa dipetik yakni tidak berlarut dalam kesedihan. Ini sekaligus menegaskan bahwa kesedihan itu wajar, yang dilarang adalah larut bahkan terbenam dalam kesedihan itu.
Karena itu Al-Biqa’i menerangkan bahwa kata yahzunka (يَحْزُنْكَ) dalam ayat ini, dimakanai dengan tidak larut dalam kesedihan. Dan cara meredam kesedihan tersebut yakni dengan sesegera mungkin mengingat Allah SWT.
Baca Juga
Menggelapkan Hati
Dalam kitab Nashaih al-‘Ibad, Imam Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa ada dua kategori kesedihan, ia berkata: “Sedih karena perkara dunia dapat menggelapkan hati, sedangkan sedih karena perkara akhirat dapat menerangkannya (hati)”
Hati merupakan wadah yang lengkap, ia menampung berbagai macam karakter perasaan manusia, termasuk rasa sedih. Karena itu, apa pun bentuk dari kesedihan kita, hendaklah menyandarkannya kepada Sang Pemiliki Hati. Bahkan Dia tidak canggung mengajak kita untuk berdialog kepadanya. Allah berfirman:
اِلَّا تَنْصُرُوْهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللّٰهُ اِذْ اَخْرَجَهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا ثَانِيَ اثْنَيْنِ اِذْ هُمَا فِى الْغَارِ اِذْ يَقُوْلُ لِصَاحِبِهٖ لَا تَحْزَنْ اِنَّ اللّٰهَ مَعَنَاۚ فَاَنْزَلَ اللّٰهُ سَكِيْنَتَهٗ عَلَيْهِ وَاَيَّدَهٗ بِجُنُوْدٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا السُّفْلٰىۗ وَكَلِمَةُ اللّٰهِ هِيَ الْعُلْيَاۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Mekkah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya, “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Dan firman Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. ( QS At-Taubah : 40)
Ada banyak faktor yang menyebabkan kesedihan, di antaranya; jauh dari Allah, bermaksiat, tidak dapat menjalankan kebaikan, dihina, berpisah dengan orang yang disenangi, dsb.
Cara lain mengobati perasaan sedih tersebut selain aspek internal dengan Allah: beribadah, membaca Al-Qur'an, berzikir, dan lainnya. Seperti dalam hadits:
مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Siapa yang melazimkan beristighfar, maka Allah jadikan baginya jalan keluar atas segala kesulitannya. Allah juga akan memberikan kelapangan atas segala kesempitan dan kesusahannya. Serta memberinya rezeki dari jalan yang tak disangka-sangka. (HR Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Hakim).
Juga dengan mendekat (berteman) pada orang-orang saleh. Sebab, mereka adalah peranan penting yang juga diceritakan al-Quran – seperti dalam al-Quran surat At-Taubah: 40 diatas – untuk menghilangkan kesedihan yang sedang dialami. Di sisi lain, juga untuk menilai manakah kawan yang setia bersama, baik dalam keadaan senang maupun susah.
(mhy)