Perkembangan Penafsiran Ilmiah Al-Qur'an, Bermula pada Masa Dinasti Abbasiyah
Jum'at, 04 Maret 2022 - 16:12 WIB
Fakhruddin Al-Raziy (1209 M), walaupun tidak sepenuhnya, sependapat dengan Al-Ghazali. Namun, kitab tafsirnya, Mafatih Al-Ghayb, dipenuhi dengan pembahasan ilmiah menyangkut filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi, kedokteran, dan sebagainya. Sampai-sampai, kitab tafsirnya tersebut dinilai secara berlebihan sebagai mengandung segala sesuatu kecuali tafsir.
Penilaian yang mirip dengan ini juga diberikan oleh Tafsir Al-Jawahir karangan Thantawi Jauhari (1870-1940). Bahkan, sebelumnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) dengan Tafsir Al-Manar-nya, dinilai berusaha juga membuktikan hal tersebut. Ia, menurut penilaian Goldziher, berusaha membuktikan bahwa: "Al-Qur'an mencakup segala hakikat ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer (pada masanya), khususnya di bidang filsafat dan sosiologi."
Di lain sisi, Al-Syathibi (w. 1388) merupakan tokoh yang paling gigih menentang sikap di atas secara berlebih-lebihan pula, sehingga ia mengatakan bahwa "Al-Qur'an tidak diturunkan untuk maksud tersebut," dan bahwa "Seseorang, dalam rangka memahami Al-Qur'an, harus membatasi diri menggunakan ilmu-ilmu bantu pada ilmu-ilmu yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa turunnya Al-Qur'an. Siapa yang berusaha memahaminya dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu selainnya, maka ia akan sesat atau keliru dan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya dalam hal-hal yang tidak pernah dimaksudkannya."
Namun, apa yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut, juga sukar untuk dipahami, karena kita berkewajiban memahami Al-Qur'an sesuai dengan masa sekarang ini sebagaimana wajibnya orang-orang Arab yang hidup di masa dakwah Muhammad SAW.
Di samping itu, bagaimana kita dapat melaksanakan maksud ayat seperti "Apakah mereka tak berpikir", dan sebagainya, yang biasanya menjadi fashilah (penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang biologi, astronomi, dan lainnya, apabila kita tidak memahaminya melalui bantuan ilmu-ilmu tersebut yang jelas belum dikenal dan berkembang dengan pesat sebagaimana yang kita alami dewasa ini?
Pendapat kedua tokoh yang memiliki reputasi tinggi di bidang ilmu keislaman dan yang bertolak belakang itu, menurut Quraish Shihab, masing-masing mempunyai pendukung sejak masa mereka hingga dewasa ini, walaupun pendapat yang dipelopori oleh Al-Ghazali lebih tersebar akibat faktor-faktor ekstern, baik menyangkut konflik yang terjadi di Eropa pada abad kedelapanbelas, antara pemuka Kristen dan ilmuwan-ilmuwan, maupun kondisi sosial umat Islam serta pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan.
Penilaian yang mirip dengan ini juga diberikan oleh Tafsir Al-Jawahir karangan Thantawi Jauhari (1870-1940). Bahkan, sebelumnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) dengan Tafsir Al-Manar-nya, dinilai berusaha juga membuktikan hal tersebut. Ia, menurut penilaian Goldziher, berusaha membuktikan bahwa: "Al-Qur'an mencakup segala hakikat ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer (pada masanya), khususnya di bidang filsafat dan sosiologi."
Di lain sisi, Al-Syathibi (w. 1388) merupakan tokoh yang paling gigih menentang sikap di atas secara berlebih-lebihan pula, sehingga ia mengatakan bahwa "Al-Qur'an tidak diturunkan untuk maksud tersebut," dan bahwa "Seseorang, dalam rangka memahami Al-Qur'an, harus membatasi diri menggunakan ilmu-ilmu bantu pada ilmu-ilmu yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa turunnya Al-Qur'an. Siapa yang berusaha memahaminya dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu selainnya, maka ia akan sesat atau keliru dan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya dalam hal-hal yang tidak pernah dimaksudkannya."
Namun, apa yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut, juga sukar untuk dipahami, karena kita berkewajiban memahami Al-Qur'an sesuai dengan masa sekarang ini sebagaimana wajibnya orang-orang Arab yang hidup di masa dakwah Muhammad SAW.
Di samping itu, bagaimana kita dapat melaksanakan maksud ayat seperti "Apakah mereka tak berpikir", dan sebagainya, yang biasanya menjadi fashilah (penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang biologi, astronomi, dan lainnya, apabila kita tidak memahaminya melalui bantuan ilmu-ilmu tersebut yang jelas belum dikenal dan berkembang dengan pesat sebagaimana yang kita alami dewasa ini?
Pendapat kedua tokoh yang memiliki reputasi tinggi di bidang ilmu keislaman dan yang bertolak belakang itu, menurut Quraish Shihab, masing-masing mempunyai pendukung sejak masa mereka hingga dewasa ini, walaupun pendapat yang dipelopori oleh Al-Ghazali lebih tersebar akibat faktor-faktor ekstern, baik menyangkut konflik yang terjadi di Eropa pada abad kedelapanbelas, antara pemuka Kristen dan ilmuwan-ilmuwan, maupun kondisi sosial umat Islam serta pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan.
(mhy)
Lihat Juga :