Mereka yang Mendapat Rukhsah Tidak Puasa di Bulan Ramadhan
Selasa, 29 Maret 2022 - 15:52 WIB
Rukhsah adalah pemberian pengecualian dari prinsip umum karena adanya kebutuhan (al-hajat) dan keterpaksaan (ad-dharurat). Demikian disebutkan dalam ilmu ushul fiqih.
Sesuai dengan faktor kebolehannya, maka rukhsah terbatas pada kadar kebutuhan atau keterpaksaannya saja. Dalam hal puasa, terdapat beberapa orang dalam kategori ini yang mendapatkan dispensasi atau rukhsah. Siapa sajakah mereka?
Allah SWT telah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 184:
“(yaitu dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” ( QS al-Baqarah [2] : 184)
Petunjuk yang tertera pada ayat tersebut adalah redaksi ayyaman ma’dudat (beberapa hari tertentu). Redaksi ini masih memungkinkan beberapa pengertian, bisa berarti sehari, dua hari, tiga hari, bahkan seminggu atau sebulan.
Dalam tafsir al-Bahrul Muhith karya Abu Hayyan dijelaskan, maksud dari beberapa hari tertentu tersebut adalah puasa tiga hari setiap bulan dan puasa ‘Asyura yang sebelumnya diwajibkan. Ini berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh sahabat Ibnu ‘Abbas dan Atha’.
Namun, pendapat yang lebih diterima adalah pendapat Ibnu Jarir at-Thabari. Menurutnya, hari-hari (wajibnya berpuasa) yang dimaksud adalah bulan Ramadhan. Alasannya, karena tidak ada dalil yang menunjukkan puasa yang hukumnya wajib bagi umat Islam selain puasa bulan Ramadhan. Ini ditunjukkan dengan bunyi ayat selanjutnya yang berarti, “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia…” ( QS al-Baqarah [2] : 185)
Dipahami dari penjelasan at-Thabari tersebut, redaksi syahru ramadhan pada ayat 185 Surat al-Baqarah adalah penafsiran dari redaksi ayat sebelumnya yakni ayyaman ma’dudat (beberapa hari tertentu).
Pendapat inilah yang kemudian diambil oleh mayoritas ulama. Maka, puasa yang terdapat rukhsah bagi orang-orang yang berada dalam kondisi al-hajat dan ad-dharurat berdasarkan ayat di atas adalah puasa Ramadhan.
Mereka yang mendapatkan rukhsah sebagaimana dilansir laman Tafsir Al-Qur'an adalah:
Pertama, orang yang sedang sakit. Kondisi sakit yang yang mendapat keringanan adalah sakit parah yang membahayakan tubuh, menambah parah penyakit, atau khawatir memperlambat kesembuhan.
Orang ini yang oleh al-Qurthubi disebut sebagai orang yang mampu berpuasa namun disertai dharar (bahaya) dan masyaqqah (kesulitan), maka lebih diutamakan untuk berbuka.
Kedua, orang yang bepergian (musafir). Safar atau perjalanan yang dilakukan harus sebelum waktu fajar. Artinya, jika perjalanannya pada tengah hari, maka tidak mendapat rukhsah puasa.
Kemudian, jarak perjalanan yang ditempuh untuk mengambil rukhsah puasa adalah jarak yang sama dengan perjalanan yang boleh untuk qashar sholat. menurut Imam Syafi’i, Malik, dan Ahmad adalah kurang lebih 16 farsakh/89 km.
Ketiga, orang tua renta, orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, serta perempuan hamil dan menyusui. Mereka tersebut menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad adalah orang yang masuk dalam kategori wa ‘alalladzina yuthiqunahu fidyatun (dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah).
Dua kategori pertama memiliki kewajiban untuk mengganti puasanya di lain hari dan tidak disyaratkan berturut-turut sesuai puasa yang ditinggalkan. Sedangkan kategori terakhir, diwajibkan membayar fidyah saja tanpa mengganti puasa, kecuali untuk ibu hamil dan menyusui.
Untuk kedua perempuan ini, jika merasa khawatir terhadap anaknya, maka dibebankan fidyah dan qadha’. Tetapi, jika yang dikhawatirkan adalah dirinya saja atau dirinya serta sang anak, maka cukup dengan qadha’. Wallahu a’lam
Sesuai dengan faktor kebolehannya, maka rukhsah terbatas pada kadar kebutuhan atau keterpaksaannya saja. Dalam hal puasa, terdapat beberapa orang dalam kategori ini yang mendapatkan dispensasi atau rukhsah. Siapa sajakah mereka?
Baca Juga
Allah SWT telah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 184:
أَيَّامًا مَّعْدُودَٰتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“(yaitu dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” ( QS al-Baqarah [2] : 184)
Petunjuk yang tertera pada ayat tersebut adalah redaksi ayyaman ma’dudat (beberapa hari tertentu). Redaksi ini masih memungkinkan beberapa pengertian, bisa berarti sehari, dua hari, tiga hari, bahkan seminggu atau sebulan.
Dalam tafsir al-Bahrul Muhith karya Abu Hayyan dijelaskan, maksud dari beberapa hari tertentu tersebut adalah puasa tiga hari setiap bulan dan puasa ‘Asyura yang sebelumnya diwajibkan. Ini berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh sahabat Ibnu ‘Abbas dan Atha’.
Namun, pendapat yang lebih diterima adalah pendapat Ibnu Jarir at-Thabari. Menurutnya, hari-hari (wajibnya berpuasa) yang dimaksud adalah bulan Ramadhan. Alasannya, karena tidak ada dalil yang menunjukkan puasa yang hukumnya wajib bagi umat Islam selain puasa bulan Ramadhan. Ini ditunjukkan dengan bunyi ayat selanjutnya yang berarti, “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia…” ( QS al-Baqarah [2] : 185)
Dipahami dari penjelasan at-Thabari tersebut, redaksi syahru ramadhan pada ayat 185 Surat al-Baqarah adalah penafsiran dari redaksi ayat sebelumnya yakni ayyaman ma’dudat (beberapa hari tertentu).
Pendapat inilah yang kemudian diambil oleh mayoritas ulama. Maka, puasa yang terdapat rukhsah bagi orang-orang yang berada dalam kondisi al-hajat dan ad-dharurat berdasarkan ayat di atas adalah puasa Ramadhan.
Mereka yang mendapatkan rukhsah sebagaimana dilansir laman Tafsir Al-Qur'an adalah:
Pertama, orang yang sedang sakit. Kondisi sakit yang yang mendapat keringanan adalah sakit parah yang membahayakan tubuh, menambah parah penyakit, atau khawatir memperlambat kesembuhan.
Orang ini yang oleh al-Qurthubi disebut sebagai orang yang mampu berpuasa namun disertai dharar (bahaya) dan masyaqqah (kesulitan), maka lebih diutamakan untuk berbuka.
Kedua, orang yang bepergian (musafir). Safar atau perjalanan yang dilakukan harus sebelum waktu fajar. Artinya, jika perjalanannya pada tengah hari, maka tidak mendapat rukhsah puasa.
Kemudian, jarak perjalanan yang ditempuh untuk mengambil rukhsah puasa adalah jarak yang sama dengan perjalanan yang boleh untuk qashar sholat. menurut Imam Syafi’i, Malik, dan Ahmad adalah kurang lebih 16 farsakh/89 km.
Ketiga, orang tua renta, orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, serta perempuan hamil dan menyusui. Mereka tersebut menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad adalah orang yang masuk dalam kategori wa ‘alalladzina yuthiqunahu fidyatun (dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah).
Dua kategori pertama memiliki kewajiban untuk mengganti puasanya di lain hari dan tidak disyaratkan berturut-turut sesuai puasa yang ditinggalkan. Sedangkan kategori terakhir, diwajibkan membayar fidyah saja tanpa mengganti puasa, kecuali untuk ibu hamil dan menyusui.
Untuk kedua perempuan ini, jika merasa khawatir terhadap anaknya, maka dibebankan fidyah dan qadha’. Tetapi, jika yang dikhawatirkan adalah dirinya saja atau dirinya serta sang anak, maka cukup dengan qadha’. Wallahu a’lam
(mhy)