Diwajibkan Atas Kamu Berpuasa, Siapa yang Mewajibkan?
Jum'at, 08 April 2022 - 16:24 WIB
Allah membuka firman-Nya tentang kewajiban puasa Ramadhan dengan mengaitkan puasa Ramadhan dengan puasa umat terdahulu. Allah menyatakan telah mewajibkan puasa Ramadhan sebagaimana ia diwajibkan pada umat sebelum umat Nabi Muhammad SAW .
Allah berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa ( QS Al-Baqarah [2] :183).
M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran" mengatakan puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya.
Ini berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Sholat, puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiatnya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.
Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi umat Islam dan umat-umat terdahulu?
Menurut Quraish, manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah aktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, dan berhubungan seks.
Binatang --khususnya binatang-binatang tertentu-- tidak demikian. Nalurinya telah mengatur ketiga kebutuhan pokok itu, sehingga --misalnya-- ada waktu atau musim berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan, dan atau menghindarkannya dari kebinasaan.
Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya bila tidak terkendalikan dapat menghambat pelaksanaan fungsi dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati makanan atau minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas lainnya kalau enggan berkata menjadikannya lesu sepanjang hari.
"Syahwat seksual juga demikian. Semakin dipenuhi semakin haus bagaikan penyakit eksim semakin digaruk semakin nyaman dan menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok," ujar Quraish Shihab.
Potensi dan daya manusia --betapa pun besarnya-- memiliki keterbatasan, sehingga apabila aktivitasnya telah digunakan secara berlebihan ke arah tertentu --arah pemenuhan kebutuhan faali misalnya-- maka arah yang lain, --mental spiritual-- akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian.
Quraish mengingatkan, esensi puasa adalah menahan atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan dan pengendalian diri itulah esensi puasa.
Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal oleh umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan oleh Al-Quran.
Menurut Qurasish, dari penjelasan ini, kita dapat melangkah untuk menemukan salah satu jawaban tentang rahasia pemilihan bentuk redaksi pasif dalam menetapkan kewajiban puasa. Kutiba 'alaikumush shiyama (diwajibkan atas kamu puasa), tidak menyebut siapa yang mewajibkannya?
Bisa saja dikatakan bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut disebabkan karena yang mewajibkannya sedemikian jelas dalam hal ini adalah Allah SWT. Tetapi boleh jadi juga untuk mengisyaratkan bahwa seandainya pun bukan Allah yang mewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat puasa, dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri.
"Terbukti motivasi berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran agama. Misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh, dan bukankah pula kepentingan pengendalian diri disadari oleh setiap makhluk yang berakal?" tutur Quraish Shihab.
Di sisi lain bukankah Nabi SAW bersabda, "Seandainya umatku mengetahui (semua keistimewaan) yang dikandung oleh Ramadhan, niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan."
Orang-Orang Nasrani
Kembali ke potongan ayat yang berbunyi: "sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu". Imam al-Alusi dalam Tafsir Ruhul Ma’ani menjelaskan bahwa ada tiga pendapat terkait hal ini.
Bila melihat ayat tersebut secara umum, yang dimaksud umat terdahulu adalah para nabi dan umat mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad. Ibn Abbas serta Mujahid meyakini bahwa mereka adalah ahli kitab. Sedang al-Hasan dan al-Sadi meyakini bahwa mereka adalah orang-orang Nasrani.
Ibnu al-Arabi dalam Ahkamul Qur’an mengkritik pendapat yang menyatakan bahwa umat terdahulu yang dimaksud adalah seluruh manusia sebelum Nabi Muhammad. Sebab sebelum Nabi Muhammad, menjaga mulut dari perkataan kotor di dalam puasa, adalah suatu kewajiban yang dapat membatalkan puasa. Sedang dalam syariat Nabi Muhammad tidak sampai membatalkan puasa.
Ibnu al-Arabi juga menyatakan bahwa pendapat yang paling mendekati kemungkinan benar adalah yang menyatakan bahwa mereka orang-orang Nasrani.
Lalu apa kesamaan puasa umat Nabi Muhammad dengan umat terdahulu? Penulis buku-buku keislaman yang Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jurusan Tafsir Hadis, Muhammad Nasif, dalam tulisannya berjudul "Kesamaan Puasa Umat Nabi Muhammad dan Umat Sebelumnya" mengatakan ulama memberikan pendapat yang berbeda-beda perihal ini.
Ada yang berpendapat sama dalam waktu pelaksanaannya, ada yang berpendapat sama dalam jumlah harinya, ada yang berpendapat sama dalam syarat serta kewajibannya, dan ada yang menyatakan sama dalam beberapa atau kesemua hal tersebut.
Hanya saja, dalam beberapa keadaan telah terjadi perubahan-perubahan yang membuat puasa umat terdahulu terkesan berbeda dengan puasa umat Nabi Muhammad.
Imam al-Razi dalam Tafsir Mafaatiihul Ghaib menjelaskan, orang-orang Nasrani dahulu berpuasa di bulan Ramadhan. Namun karena suatu saat bulan Ramadhan bertepatan dengan musim panas, maka mereka memindah puasa ke bulan lain.
Selain itu, seiring berjalannya waktu dan keyakinan, puasa mereka yang sebelumnya berjumlah 30 hari sedikit demi sedikit ditambahi sehingga menjadi 50 hari.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya memberikan keterangan hampir sama dengan yang disampaikan al-Razi. Al-Qurthubi menyatakan, puasa Ramadhan pernah disyariatkan kepada Nabi Musa dan Nabi Isa. Hanya saja orang-orang Yahudi dan Nasrani kemudian mengubah jumlah dan waktunya. Tradisi puasa orang-orang Nasrani sempat dilakukan di awal-awal Islam, sebelum kemudian dihapus dan mulai diberlakukan puasa Ramadhan.
Terlepas dari berbagai perbendaan pendapat mengenai umat yang dimaksud 'umat sebelum umat Muhammad’ dalam ayat tentang puasa; ada hal-hal tentang kesamaan puasa umat tersebut dengan puasa kita.
Imam Ibn Katsir dalam Tafsir Al-Qur’anul Adhim menjelaskan, adanya redaksi “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu menunjukkan bahwa umat Islam memiliki suri tauladan dalam melakukan puasa, yaitu umat sebelum Nabi Muhammad. Sehingga sudah seharusnya umat Islam terdorong untuk menjalankan puasa lebih baik daripada puasa umat terdahulu.
Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa ( QS Al-Baqarah [2] :183).
M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran" mengatakan puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya.
Ini berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Sholat, puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiatnya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.
Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi umat Islam dan umat-umat terdahulu?
Menurut Quraish, manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah aktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, dan berhubungan seks.
Binatang --khususnya binatang-binatang tertentu-- tidak demikian. Nalurinya telah mengatur ketiga kebutuhan pokok itu, sehingga --misalnya-- ada waktu atau musim berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan, dan atau menghindarkannya dari kebinasaan.
Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya bila tidak terkendalikan dapat menghambat pelaksanaan fungsi dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati makanan atau minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas lainnya kalau enggan berkata menjadikannya lesu sepanjang hari.
"Syahwat seksual juga demikian. Semakin dipenuhi semakin haus bagaikan penyakit eksim semakin digaruk semakin nyaman dan menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok," ujar Quraish Shihab.
Potensi dan daya manusia --betapa pun besarnya-- memiliki keterbatasan, sehingga apabila aktivitasnya telah digunakan secara berlebihan ke arah tertentu --arah pemenuhan kebutuhan faali misalnya-- maka arah yang lain, --mental spiritual-- akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian.
Quraish mengingatkan, esensi puasa adalah menahan atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan dan pengendalian diri itulah esensi puasa.
Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal oleh umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan oleh Al-Quran.
Menurut Qurasish, dari penjelasan ini, kita dapat melangkah untuk menemukan salah satu jawaban tentang rahasia pemilihan bentuk redaksi pasif dalam menetapkan kewajiban puasa. Kutiba 'alaikumush shiyama (diwajibkan atas kamu puasa), tidak menyebut siapa yang mewajibkannya?
Bisa saja dikatakan bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut disebabkan karena yang mewajibkannya sedemikian jelas dalam hal ini adalah Allah SWT. Tetapi boleh jadi juga untuk mengisyaratkan bahwa seandainya pun bukan Allah yang mewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat puasa, dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri.
"Terbukti motivasi berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran agama. Misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh, dan bukankah pula kepentingan pengendalian diri disadari oleh setiap makhluk yang berakal?" tutur Quraish Shihab.
Di sisi lain bukankah Nabi SAW bersabda, "Seandainya umatku mengetahui (semua keistimewaan) yang dikandung oleh Ramadhan, niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan."
Orang-Orang Nasrani
Kembali ke potongan ayat yang berbunyi: "sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu". Imam al-Alusi dalam Tafsir Ruhul Ma’ani menjelaskan bahwa ada tiga pendapat terkait hal ini.
Bila melihat ayat tersebut secara umum, yang dimaksud umat terdahulu adalah para nabi dan umat mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad. Ibn Abbas serta Mujahid meyakini bahwa mereka adalah ahli kitab. Sedang al-Hasan dan al-Sadi meyakini bahwa mereka adalah orang-orang Nasrani.
Ibnu al-Arabi dalam Ahkamul Qur’an mengkritik pendapat yang menyatakan bahwa umat terdahulu yang dimaksud adalah seluruh manusia sebelum Nabi Muhammad. Sebab sebelum Nabi Muhammad, menjaga mulut dari perkataan kotor di dalam puasa, adalah suatu kewajiban yang dapat membatalkan puasa. Sedang dalam syariat Nabi Muhammad tidak sampai membatalkan puasa.
Ibnu al-Arabi juga menyatakan bahwa pendapat yang paling mendekati kemungkinan benar adalah yang menyatakan bahwa mereka orang-orang Nasrani.
Lalu apa kesamaan puasa umat Nabi Muhammad dengan umat terdahulu? Penulis buku-buku keislaman yang Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jurusan Tafsir Hadis, Muhammad Nasif, dalam tulisannya berjudul "Kesamaan Puasa Umat Nabi Muhammad dan Umat Sebelumnya" mengatakan ulama memberikan pendapat yang berbeda-beda perihal ini.
Ada yang berpendapat sama dalam waktu pelaksanaannya, ada yang berpendapat sama dalam jumlah harinya, ada yang berpendapat sama dalam syarat serta kewajibannya, dan ada yang menyatakan sama dalam beberapa atau kesemua hal tersebut.
Hanya saja, dalam beberapa keadaan telah terjadi perubahan-perubahan yang membuat puasa umat terdahulu terkesan berbeda dengan puasa umat Nabi Muhammad.
Imam al-Razi dalam Tafsir Mafaatiihul Ghaib menjelaskan, orang-orang Nasrani dahulu berpuasa di bulan Ramadhan. Namun karena suatu saat bulan Ramadhan bertepatan dengan musim panas, maka mereka memindah puasa ke bulan lain.
Selain itu, seiring berjalannya waktu dan keyakinan, puasa mereka yang sebelumnya berjumlah 30 hari sedikit demi sedikit ditambahi sehingga menjadi 50 hari.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya memberikan keterangan hampir sama dengan yang disampaikan al-Razi. Al-Qurthubi menyatakan, puasa Ramadhan pernah disyariatkan kepada Nabi Musa dan Nabi Isa. Hanya saja orang-orang Yahudi dan Nasrani kemudian mengubah jumlah dan waktunya. Tradisi puasa orang-orang Nasrani sempat dilakukan di awal-awal Islam, sebelum kemudian dihapus dan mulai diberlakukan puasa Ramadhan.
Terlepas dari berbagai perbendaan pendapat mengenai umat yang dimaksud 'umat sebelum umat Muhammad’ dalam ayat tentang puasa; ada hal-hal tentang kesamaan puasa umat tersebut dengan puasa kita.
Imam Ibn Katsir dalam Tafsir Al-Qur’anul Adhim menjelaskan, adanya redaksi “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu menunjukkan bahwa umat Islam memiliki suri tauladan dalam melakukan puasa, yaitu umat sebelum Nabi Muhammad. Sehingga sudah seharusnya umat Islam terdorong untuk menjalankan puasa lebih baik daripada puasa umat terdahulu.
(mhy)