Kisah Khalifah Al-Manshur, Tumpas Pemberontakan Keturunan Ali Bin Abu Thalib
Selasa, 17 Mei 2022 - 17:15 WIB
Mengenai hal ini, Al-Maududi mengutip dari kitab Tarikh al-Wuzara karya Al-Jahsyiari, “Mengenai pejabat-pejabat Al-Manshur, kita akan mendapati bahwa hampir semua dari mereka adalah orang-orang non-Arab, yang dengan segenap otoritas di tangannya secara aktif menyebarkan paham shu’ubiyah di mana-mana. Gerakan ini pada awalnya dimulai dengan pengertian bahwa ‘tidak ada keutamaan bangsa Arab atas bangsa ajam (non-arab).’ Namun segera setelah itu ia diwarnai dengan paham anti-Arab, sehingga banyak buku tebal dikarang orang untuk merendahkan bangsa Arab, bahkan menjelek-jelekan suku Quraisy secara keseluruhan. Tapi yang jauh lebih berbahaya dari itu, gerakan ini telah membawa virus-virus kaum zindiq, atheisme, dan permisivisme (keserbabolehan).”
Dari sini, kita bisa menduga, meningkatnya gerakan para ulama membukukan serta mensistematisasi pokok-pokok ajaran agama, adalah bentuk lain dari metode perlawanan terhadap prilaku penguasa dan aparaturnya. Lagi pula, sebagaimana kemudian terjadi, para ulama-ulama terkemuka yang tadi disebut oleh As Suyuthi umumnya dibunuh dan disiksa oleh Al-Manshur. Diantaranya Abu Hanifah (Imam mahzab Hanafi), Abdul Hamid ibn Ja’far, Ibnu Ajian, dan Imam Malik bin Anas (Imam Mahzab Maliki). Salah satu alasan dihukumnya Imam Malik bin Anas, karena dia memperbolehkan pemberontakan terhadap pemerintahan Al-Manshur. Pada saat ditanyakan kepadanya, “bukankah kita terikat bai’at pada Al-Manshur?’ dia menjawab, “Kalian membaiatnya dengan terpaksa dan sumpah orang-orang yang terpaksa tidak terkena denda.”
Bahkan di akhir-akhir masa pemerintahannya, sekitar tahun 158 H, Al-Manshur masih sempat menginstruksikan kepada pejabatnya di Mekkah untuk memenjarakan Sufyan Ats-Tsauri dan Abbas bin Katsir. Keputusan apa yang akan dilakukan kepada kedua orang ulama itu, masih menunggu Al-Manshur tiba di Mekkah. Ketika itu adalah musim haji. Orang-orang khawatir kedua ulama itu akan dibunuh oleh Al-Manshur sembari menunaikan ibadah haji. Tapi rupanya Allah SWT tidak memberi kesempatan pada Al-Manshur untuk sampai ke Mekkah. Karena dia keburu wafat dalam perjalanan.
Dari sini, kita bisa menduga, meningkatnya gerakan para ulama membukukan serta mensistematisasi pokok-pokok ajaran agama, adalah bentuk lain dari metode perlawanan terhadap prilaku penguasa dan aparaturnya. Lagi pula, sebagaimana kemudian terjadi, para ulama-ulama terkemuka yang tadi disebut oleh As Suyuthi umumnya dibunuh dan disiksa oleh Al-Manshur. Diantaranya Abu Hanifah (Imam mahzab Hanafi), Abdul Hamid ibn Ja’far, Ibnu Ajian, dan Imam Malik bin Anas (Imam Mahzab Maliki). Salah satu alasan dihukumnya Imam Malik bin Anas, karena dia memperbolehkan pemberontakan terhadap pemerintahan Al-Manshur. Pada saat ditanyakan kepadanya, “bukankah kita terikat bai’at pada Al-Manshur?’ dia menjawab, “Kalian membaiatnya dengan terpaksa dan sumpah orang-orang yang terpaksa tidak terkena denda.”
Bahkan di akhir-akhir masa pemerintahannya, sekitar tahun 158 H, Al-Manshur masih sempat menginstruksikan kepada pejabatnya di Mekkah untuk memenjarakan Sufyan Ats-Tsauri dan Abbas bin Katsir. Keputusan apa yang akan dilakukan kepada kedua orang ulama itu, masih menunggu Al-Manshur tiba di Mekkah. Ketika itu adalah musim haji. Orang-orang khawatir kedua ulama itu akan dibunuh oleh Al-Manshur sembari menunaikan ibadah haji. Tapi rupanya Allah SWT tidak memberi kesempatan pada Al-Manshur untuk sampai ke Mekkah. Karena dia keburu wafat dalam perjalanan.
(mhy)