Muhammad bin Ali, Arsitek Dinasti Abbasiyah yang Kampanyekan Ahlul Bait
loading...
A
A
A
Muhammad bin Ali (62-125 H), nama lengkapnya Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Beliau adalah ayahanda dari Ibrahim Al-Imam, Abul Abbas As-Saffah, dan Abu Jafar Al-Manshur, yang merupakan perintis Bani Abbasiyah .
Syaikh Muhammad Al-Khudari dalam bukunya yang berjudul "Ad-Daulah Al-Abbasiyyah" menjelaskan Muhammad bin Ali tercatat sebagai perintis propaganda Bani Abbasiyah pertama kali.
Beliau menetap di wilayah Asy-Syarah dan memulai propagandanya pada tahun 100 H. Beliau berpetualang ke berbagai daerah, serta menggerakkan orang-orang agar meruntuhkan Bani Umayyah untuk memperkuat Bani Abbasiyah.
Ide kekhalifahan Bani Abbasiyah yang dikampanyekan adalah melanjutkan kepemimpinan Rasulullah SAW . Cita-cita ini sempat tercapai ketika Ali bin Abu Thalib naik menggantikan Utsman bin Affan sebagai khalifah. Hanya saja, setelah itu Ahlul Bait tersingkir.
Bani Abbasiyah mengkampanyekan diri hak ahlul bait sebagai pemimpin Islam dan berupaya menggembosi kepemimpinan Bani Umayyah.
Perjuangan Muhammad bin Ali membutuhkan waktu yang panjang. Sebagai mana sejarah mencatat, sepeninggal Ali bin Abi Thalib, para pendukungnya, belakangan disebut kaum Syiah , berpandangan bahwa al-Hasan bin Ali yang berhak menggantikan kedudukannya sebagai khalifah.
Dia merupakan sosok pemimpin yang agung: Ayahnya Ali bin Abi Thalib dan ibunya adalah Fathimah putri Rasulullah SAW . Hanya saja, Syaikh Muhammad Al-Khudari mengatakan, Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib lebih senang berdamai dengan Muawiyah bin Abi Sufyan .
Menurut dia, dengan syarat-syarat yang diajukannya untuk dirinya dan para pendukungnya, al-Hasan melepaskan haknya sebagai khalifah demi menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam, dan ketenangan mereka.
Al-Hasan bin Ali berada di Madinah dan menetap di sana hingga meninggalnya tahun 50 H.
Api Fitnah
Syaikh Muhammad Al-Khudari mengatakan Muawiyah bin Abi Sufyan senantiasa memimpin umat Islam dengan keramahan karakter dan kedermawanannya. Umat Islam pun bersatu, loyal, dan patuh serta menerima kepemimpinannya.
Dakwah umat Islam menjadi tenang dan api fitnah kaum Syiah dapat dipadamkan. Hanya saja, api fitnah itu masih menitis dalam diri mereka dan menunggu waktu yang tepat untuk melancarkannya.
Muawiyah melimpahkan kekuasaannya sebagai khalifah kepada putranya, Yazid. Ketika Yazid berkuasa, maka badai fitnah menghantam Madinah Al-Munawwarah dan Makkah Al-Mukarramah serta Kufah.
Di Madinah, muncul gerakan menuntut pemberhentian Yazid bin Muawiyah. Revolusi ini dipimpin oleh beberapa putra kaum Anshar. Akan tetapi revolusi ini dapat ditumpas dengan keras oleh Muslim bin Uqbah al-Murri yang menimpakan kepedihan kepada penduduknya dalam peristiwa Al-Harrah.
Adapun di Mekkah, Abdullah bin Az-Zubair menyatakkan diri sebagai khalifah.
Sedangkan di Kufah, kaum Syiah menghendaki agar Al-Husain bin Ali, saudara kandung Al-Hasan, dibaiat sebagai khalifah dan mencabut pembaiatan mereka terhadap Yazid bin Muawiyah.
Al-Husain pun menemui mereka tanpa membawa tentara yang melindunginya dan tidak pula harta benda untuk perbekalannya. Dalam perjalanan, ia dihadang sejumlah tentara Abdullah bin Ziyad di Irak, pendukung Yazid dan kesemuanya merupakan tentara Irak dan tiada seorang pun dari penduduk Syam.
Tiada seorang pun dari penduduk Irak yang membelanya. Akhirnya Al-Husain bin Ali gugur di Karbala. Anehnya, tiada seorang pun dari kaum Syiah yang mengklaim pendukung ayahnya mau memberikan bantuan, melainkan tetap berdiam diri di kediaman masing-masing.
Peristiwa ini pun berakhir dan Yazid bin Muawiyah meninggal dunia. Pemberontakan Abdullah bin Az-Zubair semakin menguat dan banyak dari penduduk Syam, Mesir, dan Irak, yang mendukung propagandanya.
Syaikh Muhammad Al-Khudari dalam bukunya yang berjudul "Ad-Daulah Al-Abbasiyyah" menjelaskan Muhammad bin Ali tercatat sebagai perintis propaganda Bani Abbasiyah pertama kali.
Beliau menetap di wilayah Asy-Syarah dan memulai propagandanya pada tahun 100 H. Beliau berpetualang ke berbagai daerah, serta menggerakkan orang-orang agar meruntuhkan Bani Umayyah untuk memperkuat Bani Abbasiyah.
Ide kekhalifahan Bani Abbasiyah yang dikampanyekan adalah melanjutkan kepemimpinan Rasulullah SAW . Cita-cita ini sempat tercapai ketika Ali bin Abu Thalib naik menggantikan Utsman bin Affan sebagai khalifah. Hanya saja, setelah itu Ahlul Bait tersingkir.
Bani Abbasiyah mengkampanyekan diri hak ahlul bait sebagai pemimpin Islam dan berupaya menggembosi kepemimpinan Bani Umayyah.
Perjuangan Muhammad bin Ali membutuhkan waktu yang panjang. Sebagai mana sejarah mencatat, sepeninggal Ali bin Abi Thalib, para pendukungnya, belakangan disebut kaum Syiah , berpandangan bahwa al-Hasan bin Ali yang berhak menggantikan kedudukannya sebagai khalifah.
Dia merupakan sosok pemimpin yang agung: Ayahnya Ali bin Abi Thalib dan ibunya adalah Fathimah putri Rasulullah SAW . Hanya saja, Syaikh Muhammad Al-Khudari mengatakan, Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib lebih senang berdamai dengan Muawiyah bin Abi Sufyan .
Menurut dia, dengan syarat-syarat yang diajukannya untuk dirinya dan para pendukungnya, al-Hasan melepaskan haknya sebagai khalifah demi menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam, dan ketenangan mereka.
Al-Hasan bin Ali berada di Madinah dan menetap di sana hingga meninggalnya tahun 50 H.
Api Fitnah
Syaikh Muhammad Al-Khudari mengatakan Muawiyah bin Abi Sufyan senantiasa memimpin umat Islam dengan keramahan karakter dan kedermawanannya. Umat Islam pun bersatu, loyal, dan patuh serta menerima kepemimpinannya.
Dakwah umat Islam menjadi tenang dan api fitnah kaum Syiah dapat dipadamkan. Hanya saja, api fitnah itu masih menitis dalam diri mereka dan menunggu waktu yang tepat untuk melancarkannya.
Muawiyah melimpahkan kekuasaannya sebagai khalifah kepada putranya, Yazid. Ketika Yazid berkuasa, maka badai fitnah menghantam Madinah Al-Munawwarah dan Makkah Al-Mukarramah serta Kufah.
Di Madinah, muncul gerakan menuntut pemberhentian Yazid bin Muawiyah. Revolusi ini dipimpin oleh beberapa putra kaum Anshar. Akan tetapi revolusi ini dapat ditumpas dengan keras oleh Muslim bin Uqbah al-Murri yang menimpakan kepedihan kepada penduduknya dalam peristiwa Al-Harrah.
Adapun di Mekkah, Abdullah bin Az-Zubair menyatakkan diri sebagai khalifah.
Sedangkan di Kufah, kaum Syiah menghendaki agar Al-Husain bin Ali, saudara kandung Al-Hasan, dibaiat sebagai khalifah dan mencabut pembaiatan mereka terhadap Yazid bin Muawiyah.
Al-Husain pun menemui mereka tanpa membawa tentara yang melindunginya dan tidak pula harta benda untuk perbekalannya. Dalam perjalanan, ia dihadang sejumlah tentara Abdullah bin Ziyad di Irak, pendukung Yazid dan kesemuanya merupakan tentara Irak dan tiada seorang pun dari penduduk Syam.
Tiada seorang pun dari penduduk Irak yang membelanya. Akhirnya Al-Husain bin Ali gugur di Karbala. Anehnya, tiada seorang pun dari kaum Syiah yang mengklaim pendukung ayahnya mau memberikan bantuan, melainkan tetap berdiam diri di kediaman masing-masing.
Peristiwa ini pun berakhir dan Yazid bin Muawiyah meninggal dunia. Pemberontakan Abdullah bin Az-Zubair semakin menguat dan banyak dari penduduk Syam, Mesir, dan Irak, yang mendukung propagandanya.