Kisah Khalifah Al-Manshur, Tumpas Pemberontakan Keturunan Ali Bin Abu Thalib
Selasa, 17 Mei 2022 - 17:15 WIB
Nama lengkapnya Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, atau biasa dipanggil Abu Ja’far atau lebih populer dengan nama Al-Manshur. Dia adalah khalifah kedua Dinasti Abbasiyah . Pada saat memerintah, Al-Manshur mendapat perlawanan yang cukup sengit dari kelompok Ahlul Bait yang dipimpin oleh sosok bernama Muhammad dan Ibrahim. Keduanya adalah anak keturunan Ali bin Abi Thalib dari Sayyidina Hasan .
Pemberontakan Ahlul Bait ini meletus pada tahun 145 H, dan menjadi salah satu tragedi paling menyesakkan dalam peta politik Islam kala itu.
Sebagaimana diketahui, bahwa Bani Abbas berhasil menaiki puncak kekuasaan karena didukung oleh kalangan pecinta Ahlul Bait Rasulullah SAW , baik yang ada di Persia maupun di Khurasan. Setelah dilantiknya As-Saffah, para pendukung Ahlul Bait terpecah menjadi dua kelompok, yaitu yang mendukung Bani Abbas dan yang mendukung anak keturunan Ali bin Abi Thalib.
Di masa pemerintahan As-Saffah semua perbedaan ini tidak menjadi masalah bagi kedua belah pihak. Meski begitu, Bani Abbas sebenarnya memahami bahwa pesing sejati mereka dalam hal legitimasi, tidak lain adalah anak keturunan Ali bin Thalib.
Adapun semua kekuatan, bahkan yang sebesar Abu Muslim sekalipun, tidak akan banyak berarti selama mereka mendapat dukungan dan legitimasi dari rakyat. Untuk itu, ketika muncul kecurigaan Al-Manshur pada anak keturunan Ali bin Abi Thalib, dia langsung menanggapi dengan serius, bahkan melampui batas.
Abul A’la Al-Maududi dalam bukunya berjudul “Khalifah dan Kerajaan; Konsep Pemerintahan Islam serta Studi Kritis terhadap ‘Kerajaan’ Bani Umayyah dan Abbasiyah” mencatat Muhammad, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Hasan al-Muthanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dia dikenal dengan julukan An-Nafsuz Zakiyah.
Awalnya, Al-Manshur memerintahkan kepada gubernur Madinah agar mencari Muhammad dan Ibrahim untuk di bawa menghadap kepadanya. Tabari dalam "The History of al-Tabari, Abbasid Authority Affirmed", menjelaskan sebenarnya tidak ada satu hal yang terlalu serius dengan perintah ini. Tapi aparaturnya mencari dengan seksama kedua orang tesebut seperti mencari seorang buronan. Melihat ini, Muhammad dan Ibrahim curiga dengan proses yang terjadi begitu janggal. Akhirnya mereka memilih bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain.
Sedikit catatan, kekhawatiran Muhammad dan Ibrahim sebenarnya beralasan. Karena sejak As-Saffah hingga Al-Manshur, para aparatur Abbasiyah memang kerap bertindak melampaui batas ketika melaksanakan perintah dari atasannya. Ini sangat bertentangan dengan janji politik Bani Abbas ketika As-Saffah dibaiat sebagai khalifah. Tentang kekejaman para apartur Dinasti Abbasiyah ini sebenarnya sudah banyak diprotes oleh masyarakat. Mereka merasa tertipu, terlebih sebagian para keturunan Ali bin Abi Thalib yang dulunya juga mendukung gerakan revolusi mereka.
Sebelumnya banyak juga para tokoh yang merasa dicurangi dan menyatakan protesnya. Seperti Ibrahim bin Maimun, seorang ahli fiqih terkemuka dari Khurasan. Dia ikut mendukung gerakan Abu Muslim ketika dia berjanji akan mendirikan negara dengan asas Al-Quran dan Sunnah.
Mendengar ini, Ibrahim bin Maimun begitu bersemangat mendukung gerakan revolusi Abbasiyah. Dia bahkan diangkat menjadi tangan kanan Abu Muslim. Tapi ketika revolusi sudah berhasil, dia tidak melihat adanya perubahan, dan tak terlihat tanda-tanda perbaikan sedang terjadi.
Akhirnya di mengajukan protes pada Abu Muslim yang ketika itu menjabat sebagai gubernur di Khurasan. Dia menuntut agar Bani Abbas segera menegakkan hukum-hukum Allah, dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunah RasulNya. Namun segera setelah itu dia ditangkap dan dihukum mati oleh Abu Muslim.
Demikianlah yang terjadi kala itu. Maka menjadi wajar ketika ada upaya dari gubernur Abbasiyah, orang-orang mencurigai itu sebagai upaya penangkapan. Dan ketika sudah lama berusahan mencari Muhammad dan Ibrahim, keduanya belum juga ditemukan. Al-Manshur panik, dan memerintahkan agar segera menemukan mereka, apapun caranya.
Prajurit Al-Manshur pun mulai mencari dan memburu seluruh sanak keluarga Muhammad dan Ibrahim untuk dimintai keterangan. Di antara mereka yang ditangkap adalah Abdallah bin Hasan, yang merupakan ayah mereka. Kemudian pamannya Hasan bin Hasan, Dawud bin Hasan, Ibrahim bin Hasan, dan Muhammad bin Abdallah bin Amr bin Utsman bin Affan.
Di samping itu, Al-Manshur juga memerintahkan agar menahan semua sanak keluarga mereka yang lainnya. Mereka kemudian digendang ke hadapan Al-Manshur dan diinterogasi.
Setelah berhasil membawa sanak keluarga Muhammad dan Ibrahim, pencarian terhadap mereka terus dilanjutkan secara lebih intensif. Menurut Al-Tabari, bahwa ketika itu kondisi Muhammad dan Ibrahim makin terdesak, hal inilah yang akhirnya membuat mereka memberontak.
Kisah tentang perburuan aparatur Abbasiyah terhadap dua keturunan Hasan bin Ali tersebut segera menyebar. Dalam waktu singkat, dukungan pun bermunculan terhadap mereka. Muhammad bin Abdullah pun bangkit memimpin pemberontakan. Menariknya, ketika berita tentang pemberontakan Muhammad bin Abdullah sampai ke telinga Al-Manshur, dia langsung berguman, “Aku Abu Ja’far, aku telah memancing rubah dari sarangnya.”
Al-Manshur langsung mengerahkan pasukannnya untuk memadamkan pemberontakan Muhammad. Dan dalam waktu singkat, pemberontakan tersebut bisa dijinakkan. Tanpa ampun, Al-Manshur memperlakukan musuh-musuhnya ini dengan cara di luar batas.
Abul A’la Al-Maududi mengisahkan, Ibrahim dan Muhammad bin Abdullah gugur dalam peperangan. Kepalanya dipenggal lalu di arak ke seluruh Kota Madinah. Kemudian mereka menggantung jasadnya dan juga jasad para pengikutnya selama tiga hari di hadapan orang yang berlalu lalang. Setelah itu, jasad-jasad tersebut mereka lemparkan ke pekuburan orang Yahudi di dekat Gunung Sila.
Adapun para kerabat Muhammad dan Ibrahim yang sebelumnya ditahan, mereka di belenggu kemudian di paksa berjalan kaki dari Madinah hingga ke Kufah. Harta mereka dirampas, lalu dilelang.
Sesampainya di Kufah, para kerabat Muhammad dan Ibrahim dijebloskan ke penjara dan disiksa. Semua prilaku ini, disaksikan oleh banyak mata kaum Muslimin.
Banyak yang tidak menyangka bagaimana Al-Manshur tega memperlakukan anak keturunan Ali bin Abi Thalib sedemikian mengerikan. Padahal mereka ini sebenarnya masih sanak keluarganya.
Sejak saat itu, muncullah fitnah atau perpecahan antara kalangan Abbasiyah dan Alawiyah (pendukung keluarga Ali bin Abi Thalib).
Imam As-Suyuthi dalam bukunya berjudul "Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah" menyatakan, Al-Manshur adalah orang pertama yang memicu fitnah antara golongan Abbasiyah dan Alawiyah, padahal sebelumnya mereka hidup dengan rukun.
Al-Manshur telah menyiksa sejumlah besar ulama yang menyertai Muhammad dan Ibrahim dalam pemberontakannya. Sebagian di antara mereka ada yang dibunuh dan ada yang di siksa, di antaranya Abu Hanifah (pendiri Mahzab Hanafi), Abdul Hamid bin Ja’far, dan Ibnu Ajian.”
Al-Manshur berhasil mengukuhkan kedudukannya dan Dinasti Abbasiyah di tengah masyarakat. Dan untuk memastikan pengaruhnya terus berkembang, dia mulai menggelar ekspedisi militer guna menaklukkan negara-negara sekitarnya.
Pecat Putra Mahkota
Pada tahun 147 H, Al-Manshur memecat pamannya, Isa bin Musa dari posisinya sebagai putra mahkota. Sebagai catatan, sebelum kematiannya, Khalifah pertama Dinasti Abbasiyah, As-Saffah, mewasiatkan secara resmi Isa bin Musa sebagai khalifah setelah Al-Manshur.
Isa adalah pemimpin tertinggi dalam misi memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh Muhammad dan Ibrahim, serta menghancurkan kekuatan para pendukung keturunan Ali bin Abi Thalib. Namun balasan atas kemenangan yang sudah diraihnya, justru pencopotan kedudukannya dari posisi sebagai putra mahkota.
Setelah berhasil menggeser posisi Isa bin Musa, Al Manshur mengangkat putranya yang bernama Al-Mahdi sebagai putra mahkota.
Pada tahun 148 H, semua kerajaan kecil telah berada di bawah kendali Al-Manshur. Saat itulah dia menjadi pemimpin yang disegani dan menebarkan kharisma yang luar biasa. Kota-kota besar tunduk di bawah kekuasaannya, dan menyatakan kesetiaannya. Tidak ada wilayah Islam yang memisahkan diri, kecuali Andalusia yang ketika itu dikuasai oleh Dinasti Umayyah II yang didirkan Abdurrahman bin Mu’awiyah. Namun Abdurrahman dan keturunannya tidak pernah menyebut dirinya Amirul Mukminin, melainkan “Amir” saja. Layaknya panggilan gubernur di wilayah.
Selain capaian-capaian besar di bidang politik, berdasarkan catatan sejarah, pada masa pemerintahan Al-Manshur inilah dimulainya penulisan hadis-hadis Rasulullah SAW, pengumpulan khazanah Islam, serta membuat standar acuan pemikiran Islam di bidang fiqih dan tafsir. Kebijakan ini didorong oleh maraknya paham-paham baru yang dianggap sesat oleh khalifah, dan dirasa mengancam otentisitas agama.
Abul A’la Al-Maududi menyebut salah satu yang cukup terkenal, adalah lahirnya sekte Rawandiyah yang menganuh paham reinkarnasi. Sekte ini berhasil ditumpas oleh Al-Manshur. Namun yang kemudian terjadi, justru semakin banyak bermunculan pemikiran menyimpang dari tuntunan Al-Quran dan al Sunnah. Akibatnya, menurut al Maududi, kejahatan merajarela. Dampaknya tidak hanya pada penyebarluasan kerusakan akhlak atau akidah saja, tapi juga berhasil mencabik-cabik persatuan masyarakat dan negara Islam sehingga mejadi terpecah berkeping-keping.
Atas dasar itu, menurut Imam as Suyuthi mengutip Adz-Dzahabi berkata, bahwa pada tahun 143 H, para ulama memulai penulisan hadis-hadis Rasulullah, fiqih, dan tafsir. Waktu itu Ibnu Juraij menulis di Mekkah, Malik (bin Anas) di Madinah, Al-Auzai di Suriah, Ibnu Abi Arubah, Hammad bin Salamah, dan koleganya menulis di Basrah, Ma’mar menulis di Yaman, Sufyan Ats-Tsauri di Kufah. Ibnu Ishaq saat itu menulis kitab Al-Maghazi, Imam Abu Hanifah menulis masalah fiqih. Tak lama setelah itu Hasyim, Al-Laits, dan Ibnu Lahi’ah melakukan tindakan yang sama. Disusul oleh Ibnu Mubarak, Abu Yusuf dan Ibnu Wahab.
Dengan kata lain, pada masa ini ilmu-ilmu keislaman berkembang pesat. Bahasan-bahasan tentang bahasa Arab mulai dibukukan, demikian pula sejarah dan kehidupan bangsa-bangsa. Sebelum masa ini, para imam/ulama bicara tentang ilmu berdasarkan hafalan di kepala mereka dan melihat ilmu dari mushaf-mushaf yang berlum terstruktur.
Hanya memang, patut juga dipertanyakan; munculnya gairah yang luar biasa dari para ulama tersebut, apakah benar karena adanya dorongan dari khalifah Al-Manshur, atau justru sebagai bentuk perlawanan dari sistem yang dikembangkan dari dalam istana sendiri? Karena sebagaimana menurut Al-Maududi, istana khalifah Abbasiyah adalah sumber dari semua kekacauan pemahaman agama Islam. Ketika itu, nyaris seluruh aparatur pemerintahan Al-Manshur diisi oleh non-Arab yang menganut paham anti-Arab (Shu’ubiyah).
Mengenai hal ini, Al-Maududi mengutip dari kitab Tarikh al-Wuzara karya Al-Jahsyiari, “Mengenai pejabat-pejabat Al-Manshur, kita akan mendapati bahwa hampir semua dari mereka adalah orang-orang non-Arab, yang dengan segenap otoritas di tangannya secara aktif menyebarkan paham shu’ubiyah di mana-mana. Gerakan ini pada awalnya dimulai dengan pengertian bahwa ‘tidak ada keutamaan bangsa Arab atas bangsa ajam (non-arab).’ Namun segera setelah itu ia diwarnai dengan paham anti-Arab, sehingga banyak buku tebal dikarang orang untuk merendahkan bangsa Arab, bahkan menjelek-jelekan suku Quraisy secara keseluruhan. Tapi yang jauh lebih berbahaya dari itu, gerakan ini telah membawa virus-virus kaum zindiq, atheisme, dan permisivisme (keserbabolehan).”
Dari sini, kita bisa menduga, meningkatnya gerakan para ulama membukukan serta mensistematisasi pokok-pokok ajaran agama, adalah bentuk lain dari metode perlawanan terhadap prilaku penguasa dan aparaturnya. Lagi pula, sebagaimana kemudian terjadi, para ulama-ulama terkemuka yang tadi disebut oleh As Suyuthi umumnya dibunuh dan disiksa oleh Al-Manshur. Diantaranya Abu Hanifah (Imam mahzab Hanafi), Abdul Hamid ibn Ja’far, Ibnu Ajian, dan Imam Malik bin Anas (Imam Mahzab Maliki). Salah satu alasan dihukumnya Imam Malik bin Anas, karena dia memperbolehkan pemberontakan terhadap pemerintahan Al-Manshur. Pada saat ditanyakan kepadanya, “bukankah kita terikat bai’at pada Al-Manshur?’ dia menjawab, “Kalian membaiatnya dengan terpaksa dan sumpah orang-orang yang terpaksa tidak terkena denda.”
Bahkan di akhir-akhir masa pemerintahannya, sekitar tahun 158 H, Al-Manshur masih sempat menginstruksikan kepada pejabatnya di Mekkah untuk memenjarakan Sufyan Ats-Tsauri dan Abbas bin Katsir. Keputusan apa yang akan dilakukan kepada kedua orang ulama itu, masih menunggu Al-Manshur tiba di Mekkah. Ketika itu adalah musim haji. Orang-orang khawatir kedua ulama itu akan dibunuh oleh Al-Manshur sembari menunaikan ibadah haji. Tapi rupanya Allah SWT tidak memberi kesempatan pada Al-Manshur untuk sampai ke Mekkah. Karena dia keburu wafat dalam perjalanan.
Pemberontakan Ahlul Bait ini meletus pada tahun 145 H, dan menjadi salah satu tragedi paling menyesakkan dalam peta politik Islam kala itu.
Sebagaimana diketahui, bahwa Bani Abbas berhasil menaiki puncak kekuasaan karena didukung oleh kalangan pecinta Ahlul Bait Rasulullah SAW , baik yang ada di Persia maupun di Khurasan. Setelah dilantiknya As-Saffah, para pendukung Ahlul Bait terpecah menjadi dua kelompok, yaitu yang mendukung Bani Abbas dan yang mendukung anak keturunan Ali bin Abi Thalib.
Di masa pemerintahan As-Saffah semua perbedaan ini tidak menjadi masalah bagi kedua belah pihak. Meski begitu, Bani Abbas sebenarnya memahami bahwa pesing sejati mereka dalam hal legitimasi, tidak lain adalah anak keturunan Ali bin Thalib.
Adapun semua kekuatan, bahkan yang sebesar Abu Muslim sekalipun, tidak akan banyak berarti selama mereka mendapat dukungan dan legitimasi dari rakyat. Untuk itu, ketika muncul kecurigaan Al-Manshur pada anak keturunan Ali bin Abi Thalib, dia langsung menanggapi dengan serius, bahkan melampui batas.
Abul A’la Al-Maududi dalam bukunya berjudul “Khalifah dan Kerajaan; Konsep Pemerintahan Islam serta Studi Kritis terhadap ‘Kerajaan’ Bani Umayyah dan Abbasiyah” mencatat Muhammad, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Hasan al-Muthanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dia dikenal dengan julukan An-Nafsuz Zakiyah.
Awalnya, Al-Manshur memerintahkan kepada gubernur Madinah agar mencari Muhammad dan Ibrahim untuk di bawa menghadap kepadanya. Tabari dalam "The History of al-Tabari, Abbasid Authority Affirmed", menjelaskan sebenarnya tidak ada satu hal yang terlalu serius dengan perintah ini. Tapi aparaturnya mencari dengan seksama kedua orang tesebut seperti mencari seorang buronan. Melihat ini, Muhammad dan Ibrahim curiga dengan proses yang terjadi begitu janggal. Akhirnya mereka memilih bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain.
Sedikit catatan, kekhawatiran Muhammad dan Ibrahim sebenarnya beralasan. Karena sejak As-Saffah hingga Al-Manshur, para aparatur Abbasiyah memang kerap bertindak melampaui batas ketika melaksanakan perintah dari atasannya. Ini sangat bertentangan dengan janji politik Bani Abbas ketika As-Saffah dibaiat sebagai khalifah. Tentang kekejaman para apartur Dinasti Abbasiyah ini sebenarnya sudah banyak diprotes oleh masyarakat. Mereka merasa tertipu, terlebih sebagian para keturunan Ali bin Abi Thalib yang dulunya juga mendukung gerakan revolusi mereka.
Sebelumnya banyak juga para tokoh yang merasa dicurangi dan menyatakan protesnya. Seperti Ibrahim bin Maimun, seorang ahli fiqih terkemuka dari Khurasan. Dia ikut mendukung gerakan Abu Muslim ketika dia berjanji akan mendirikan negara dengan asas Al-Quran dan Sunnah.
Mendengar ini, Ibrahim bin Maimun begitu bersemangat mendukung gerakan revolusi Abbasiyah. Dia bahkan diangkat menjadi tangan kanan Abu Muslim. Tapi ketika revolusi sudah berhasil, dia tidak melihat adanya perubahan, dan tak terlihat tanda-tanda perbaikan sedang terjadi.
Akhirnya di mengajukan protes pada Abu Muslim yang ketika itu menjabat sebagai gubernur di Khurasan. Dia menuntut agar Bani Abbas segera menegakkan hukum-hukum Allah, dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunah RasulNya. Namun segera setelah itu dia ditangkap dan dihukum mati oleh Abu Muslim.
Demikianlah yang terjadi kala itu. Maka menjadi wajar ketika ada upaya dari gubernur Abbasiyah, orang-orang mencurigai itu sebagai upaya penangkapan. Dan ketika sudah lama berusahan mencari Muhammad dan Ibrahim, keduanya belum juga ditemukan. Al-Manshur panik, dan memerintahkan agar segera menemukan mereka, apapun caranya.
Prajurit Al-Manshur pun mulai mencari dan memburu seluruh sanak keluarga Muhammad dan Ibrahim untuk dimintai keterangan. Di antara mereka yang ditangkap adalah Abdallah bin Hasan, yang merupakan ayah mereka. Kemudian pamannya Hasan bin Hasan, Dawud bin Hasan, Ibrahim bin Hasan, dan Muhammad bin Abdallah bin Amr bin Utsman bin Affan.
Di samping itu, Al-Manshur juga memerintahkan agar menahan semua sanak keluarga mereka yang lainnya. Mereka kemudian digendang ke hadapan Al-Manshur dan diinterogasi.
Setelah berhasil membawa sanak keluarga Muhammad dan Ibrahim, pencarian terhadap mereka terus dilanjutkan secara lebih intensif. Menurut Al-Tabari, bahwa ketika itu kondisi Muhammad dan Ibrahim makin terdesak, hal inilah yang akhirnya membuat mereka memberontak.
Kisah tentang perburuan aparatur Abbasiyah terhadap dua keturunan Hasan bin Ali tersebut segera menyebar. Dalam waktu singkat, dukungan pun bermunculan terhadap mereka. Muhammad bin Abdullah pun bangkit memimpin pemberontakan. Menariknya, ketika berita tentang pemberontakan Muhammad bin Abdullah sampai ke telinga Al-Manshur, dia langsung berguman, “Aku Abu Ja’far, aku telah memancing rubah dari sarangnya.”
Al-Manshur langsung mengerahkan pasukannnya untuk memadamkan pemberontakan Muhammad. Dan dalam waktu singkat, pemberontakan tersebut bisa dijinakkan. Tanpa ampun, Al-Manshur memperlakukan musuh-musuhnya ini dengan cara di luar batas.
Abul A’la Al-Maududi mengisahkan, Ibrahim dan Muhammad bin Abdullah gugur dalam peperangan. Kepalanya dipenggal lalu di arak ke seluruh Kota Madinah. Kemudian mereka menggantung jasadnya dan juga jasad para pengikutnya selama tiga hari di hadapan orang yang berlalu lalang. Setelah itu, jasad-jasad tersebut mereka lemparkan ke pekuburan orang Yahudi di dekat Gunung Sila.
Adapun para kerabat Muhammad dan Ibrahim yang sebelumnya ditahan, mereka di belenggu kemudian di paksa berjalan kaki dari Madinah hingga ke Kufah. Harta mereka dirampas, lalu dilelang.
Sesampainya di Kufah, para kerabat Muhammad dan Ibrahim dijebloskan ke penjara dan disiksa. Semua prilaku ini, disaksikan oleh banyak mata kaum Muslimin.
Banyak yang tidak menyangka bagaimana Al-Manshur tega memperlakukan anak keturunan Ali bin Abi Thalib sedemikian mengerikan. Padahal mereka ini sebenarnya masih sanak keluarganya.
Sejak saat itu, muncullah fitnah atau perpecahan antara kalangan Abbasiyah dan Alawiyah (pendukung keluarga Ali bin Abi Thalib).
Imam As-Suyuthi dalam bukunya berjudul "Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah" menyatakan, Al-Manshur adalah orang pertama yang memicu fitnah antara golongan Abbasiyah dan Alawiyah, padahal sebelumnya mereka hidup dengan rukun.
Al-Manshur telah menyiksa sejumlah besar ulama yang menyertai Muhammad dan Ibrahim dalam pemberontakannya. Sebagian di antara mereka ada yang dibunuh dan ada yang di siksa, di antaranya Abu Hanifah (pendiri Mahzab Hanafi), Abdul Hamid bin Ja’far, dan Ibnu Ajian.”
Al-Manshur berhasil mengukuhkan kedudukannya dan Dinasti Abbasiyah di tengah masyarakat. Dan untuk memastikan pengaruhnya terus berkembang, dia mulai menggelar ekspedisi militer guna menaklukkan negara-negara sekitarnya.
Pecat Putra Mahkota
Pada tahun 147 H, Al-Manshur memecat pamannya, Isa bin Musa dari posisinya sebagai putra mahkota. Sebagai catatan, sebelum kematiannya, Khalifah pertama Dinasti Abbasiyah, As-Saffah, mewasiatkan secara resmi Isa bin Musa sebagai khalifah setelah Al-Manshur.
Isa adalah pemimpin tertinggi dalam misi memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh Muhammad dan Ibrahim, serta menghancurkan kekuatan para pendukung keturunan Ali bin Abi Thalib. Namun balasan atas kemenangan yang sudah diraihnya, justru pencopotan kedudukannya dari posisi sebagai putra mahkota.
Setelah berhasil menggeser posisi Isa bin Musa, Al Manshur mengangkat putranya yang bernama Al-Mahdi sebagai putra mahkota.
Pada tahun 148 H, semua kerajaan kecil telah berada di bawah kendali Al-Manshur. Saat itulah dia menjadi pemimpin yang disegani dan menebarkan kharisma yang luar biasa. Kota-kota besar tunduk di bawah kekuasaannya, dan menyatakan kesetiaannya. Tidak ada wilayah Islam yang memisahkan diri, kecuali Andalusia yang ketika itu dikuasai oleh Dinasti Umayyah II yang didirkan Abdurrahman bin Mu’awiyah. Namun Abdurrahman dan keturunannya tidak pernah menyebut dirinya Amirul Mukminin, melainkan “Amir” saja. Layaknya panggilan gubernur di wilayah.
Selain capaian-capaian besar di bidang politik, berdasarkan catatan sejarah, pada masa pemerintahan Al-Manshur inilah dimulainya penulisan hadis-hadis Rasulullah SAW, pengumpulan khazanah Islam, serta membuat standar acuan pemikiran Islam di bidang fiqih dan tafsir. Kebijakan ini didorong oleh maraknya paham-paham baru yang dianggap sesat oleh khalifah, dan dirasa mengancam otentisitas agama.
Abul A’la Al-Maududi menyebut salah satu yang cukup terkenal, adalah lahirnya sekte Rawandiyah yang menganuh paham reinkarnasi. Sekte ini berhasil ditumpas oleh Al-Manshur. Namun yang kemudian terjadi, justru semakin banyak bermunculan pemikiran menyimpang dari tuntunan Al-Quran dan al Sunnah. Akibatnya, menurut al Maududi, kejahatan merajarela. Dampaknya tidak hanya pada penyebarluasan kerusakan akhlak atau akidah saja, tapi juga berhasil mencabik-cabik persatuan masyarakat dan negara Islam sehingga mejadi terpecah berkeping-keping.
Atas dasar itu, menurut Imam as Suyuthi mengutip Adz-Dzahabi berkata, bahwa pada tahun 143 H, para ulama memulai penulisan hadis-hadis Rasulullah, fiqih, dan tafsir. Waktu itu Ibnu Juraij menulis di Mekkah, Malik (bin Anas) di Madinah, Al-Auzai di Suriah, Ibnu Abi Arubah, Hammad bin Salamah, dan koleganya menulis di Basrah, Ma’mar menulis di Yaman, Sufyan Ats-Tsauri di Kufah. Ibnu Ishaq saat itu menulis kitab Al-Maghazi, Imam Abu Hanifah menulis masalah fiqih. Tak lama setelah itu Hasyim, Al-Laits, dan Ibnu Lahi’ah melakukan tindakan yang sama. Disusul oleh Ibnu Mubarak, Abu Yusuf dan Ibnu Wahab.
Dengan kata lain, pada masa ini ilmu-ilmu keislaman berkembang pesat. Bahasan-bahasan tentang bahasa Arab mulai dibukukan, demikian pula sejarah dan kehidupan bangsa-bangsa. Sebelum masa ini, para imam/ulama bicara tentang ilmu berdasarkan hafalan di kepala mereka dan melihat ilmu dari mushaf-mushaf yang berlum terstruktur.
Hanya memang, patut juga dipertanyakan; munculnya gairah yang luar biasa dari para ulama tersebut, apakah benar karena adanya dorongan dari khalifah Al-Manshur, atau justru sebagai bentuk perlawanan dari sistem yang dikembangkan dari dalam istana sendiri? Karena sebagaimana menurut Al-Maududi, istana khalifah Abbasiyah adalah sumber dari semua kekacauan pemahaman agama Islam. Ketika itu, nyaris seluruh aparatur pemerintahan Al-Manshur diisi oleh non-Arab yang menganut paham anti-Arab (Shu’ubiyah).
Mengenai hal ini, Al-Maududi mengutip dari kitab Tarikh al-Wuzara karya Al-Jahsyiari, “Mengenai pejabat-pejabat Al-Manshur, kita akan mendapati bahwa hampir semua dari mereka adalah orang-orang non-Arab, yang dengan segenap otoritas di tangannya secara aktif menyebarkan paham shu’ubiyah di mana-mana. Gerakan ini pada awalnya dimulai dengan pengertian bahwa ‘tidak ada keutamaan bangsa Arab atas bangsa ajam (non-arab).’ Namun segera setelah itu ia diwarnai dengan paham anti-Arab, sehingga banyak buku tebal dikarang orang untuk merendahkan bangsa Arab, bahkan menjelek-jelekan suku Quraisy secara keseluruhan. Tapi yang jauh lebih berbahaya dari itu, gerakan ini telah membawa virus-virus kaum zindiq, atheisme, dan permisivisme (keserbabolehan).”
Dari sini, kita bisa menduga, meningkatnya gerakan para ulama membukukan serta mensistematisasi pokok-pokok ajaran agama, adalah bentuk lain dari metode perlawanan terhadap prilaku penguasa dan aparaturnya. Lagi pula, sebagaimana kemudian terjadi, para ulama-ulama terkemuka yang tadi disebut oleh As Suyuthi umumnya dibunuh dan disiksa oleh Al-Manshur. Diantaranya Abu Hanifah (Imam mahzab Hanafi), Abdul Hamid ibn Ja’far, Ibnu Ajian, dan Imam Malik bin Anas (Imam Mahzab Maliki). Salah satu alasan dihukumnya Imam Malik bin Anas, karena dia memperbolehkan pemberontakan terhadap pemerintahan Al-Manshur. Pada saat ditanyakan kepadanya, “bukankah kita terikat bai’at pada Al-Manshur?’ dia menjawab, “Kalian membaiatnya dengan terpaksa dan sumpah orang-orang yang terpaksa tidak terkena denda.”
Bahkan di akhir-akhir masa pemerintahannya, sekitar tahun 158 H, Al-Manshur masih sempat menginstruksikan kepada pejabatnya di Mekkah untuk memenjarakan Sufyan Ats-Tsauri dan Abbas bin Katsir. Keputusan apa yang akan dilakukan kepada kedua orang ulama itu, masih menunggu Al-Manshur tiba di Mekkah. Ketika itu adalah musim haji. Orang-orang khawatir kedua ulama itu akan dibunuh oleh Al-Manshur sembari menunaikan ibadah haji. Tapi rupanya Allah SWT tidak memberi kesempatan pada Al-Manshur untuk sampai ke Mekkah. Karena dia keburu wafat dalam perjalanan.
(mhy)