Berikut Kebiasaan Ibadah dan Bacaan Zikir Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani

Senin, 30 Mei 2022 - 15:05 WIB
Ibnu al-Fatah menceritakan pernah bermalam di rumah Syaikh, dan melihat ia sholat sunnat di awal malam dan berzikir hingga sepertiganya malam yang awal. Foto/Ilustrasi: Ist
Hidup Syaikh Abdul Qadir al-Jilani diwarnai kisah-kisah kesalehan serta karamahnya . Pembantu Syaikh Al-Jailani, Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Fatah al-Harawi sebagaimana dikutip Imam al-Sya’roni dalam kitabnya yang berjudul Thabaqat al-Kubra berkisah:

“Saya membantu Syaikh Abdul Qadir, selama 40 tahun. Bila sholat subuh dengan wudhunya sholat isya’. Jika ia berhadas segera berwudhu dan sholat sunat dua rakaat. Setelah sholat isya’ ia berkhalwat dan tidak ada seorangpun yang dapat menggangunya hingga terbit fajar. Beberapa kali khalifah datang ke rumahnya namun tak pernah berhasil menemuinya.”

Selanjutnya Ibnu al-Fatah menceritakan: “Saya pernah bermalam di rumah Syaikh, dan saya melihat ia sholat sunnat di awal malam dan berzikir hingga sepertiganya malam yang awal.

Kemudian ia membaca:

Al-Muhithu (Dia-lah yang meliputi)

Al-Rabbu (Dia-lah yang membimbing)

Al-Syahidu (Dia-lah Dzat yang menyaksikan sehingga tak ada satu barangpun yang ghaib bagi-Nya)

Al-Hasibu (Dia-lah Dzat yang mencukupi dan memperhatikan segala hal yang telah diciptakan-Nya, dengan seteliti-telitinya)

Al-Fa’alu (Dia-lah Dzat yang maha mengerjakan)

Al-Khaliqu (Dia-lah Dzat yang menciptakan segalanya)

Al-Khalaqu (lihat: Al-Khaliqu)

Al-Bari’u (Dia-lah yang merencanakan segala sesuatu sebelum terjadi)

Al-Mushawwiru (Dia-lah menciptakan segala bentuk dan rupa).

Kemudian beliau sholat dan membaca Al-Qur’an sampai habis sepertiganya malam yang kedua”.



Mutiara Sejarah

Nama lengkapnya adalah Sayyid Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Musa Zangi Dausat al-Jailani. Syekh Abdul Qadir dilahirkan di Desa Nif atau Naif, termasuk pada distrik Jailan (disebut juga dengan Jilan, Kailan, Kilan, atau al-Jil), Kurdistan Selatan, terletak 150 kilometer sebelah timur laut Kota Baghdad, di selatan Laut Kaspia, Iran. Wilayah ini dahulunya masuk ke bagian wilayah Thabarishtan, sekarang sudah memisahkan diri, dan masuk menjadi suatu provinsi dari Republik Islam Iran.

Ia dilahirkan pada waktu fajar, Senin, 1 Ramadhan 470 H, bertepatan dengan tahun 1077 M dan wafat di Baghdad pada Sabtu, 11 Rabiuts-Tsani 561 H/1166 M.

Kebanyakan biografi (dikenal sebagai manakib) tokoh sufi terpopuler ini penuh dengan fiksi, tanpa mendasarkan pada fakta-fakta sejarah. Padahal, ulama ini merupakan tokoh sejarah yang cukup besar dalam wacana pemikiran Islam, terutama sejarah tasawuf. Sehingga, para ulama banyak mengungkapkan bahwa Syekh Abdul Qadir merupakan mujtahid abad ke-14.



Syaikh Abdul Qadir al-Jilani adalah mutiara sejarah abad ke-12 M/6 H. Beliau adalah ulama yang berhasil memadukan antara syariat dan sufisme secara praktis-aplikatif. Karena itu, ia mendapat julukan quthubul auliya' serta ghautsul a'dzam, orang suci terbesar dalam Islam.

Al-Jilani membumi karena ajaran amaliahnya. Sehingga, dalam masyarakat Muslim, namanya sangat populer, dijadikan sarana wushuliyyah, serta selalu disebut dalam setiap acara-acara keagamaan, di samping manakib-nya yang juga banyak dibaca tentang riwayat hidup sang tokoh.

Sebagian besar umat Islam Indonesia pernah mendengar nama tokoh ini. Demikian pula para pengkaji tasawuf di Barat dan Timur yang sangat menaruh hormat kepadanya karena keberhasilannya membumikan tasawuf bagi masyarakat Muslim hingga saat ini.

Menurut Walter Braune dalam bukunya Die 'Futuh al-Ghaib' des Abdul Qodir (Berlin & Leipzig, 1933), ia adalah wali yang paling terkenal di dunia Islam. Sedangkan, penulis Muslim Jerman, Mehmed Ali Aini (Un Grand Saint del Islam: Abd al-Kadir Guilani, Paris, 1967), menyebut al-Jilani sebagai orang suci terbesar di dunia Islam.



Ia lahir sebagai anak yatim (ayahnya telah wafat sewaktu beliau masih dalam kandungan enam bulan) di tengah keluarga yang hidup sederhana dan saleh. Ayahnya, al-Imam Sayyid Abi Shalih Musa Zangi Dausat, adalah ulama fuqaha ternama, Mazhab Hambali, dan garis silsilahnya berujung pada Hasan bin Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah SAW.

Sedangkan, ibunya adalah Ummul Khair Fathimah, putri Sayyid Abdullah Sauma'i, seorang sufi terkemuka waktu itu. Dari jalur ini, silsilahnya akan sampai pada Husain bin Ali bin Abi Thalib. Jika silsilah ini diteruskan, akan sampai kepada Nabi Ibrahim melalui kakek Nabi SAW, Abdul Muthalib. Ia termasuk keturunan Rasulullah dari jalur Siti Fatimah binti Muhammad SAW. Karena itu, ia diberi gelar pula dengan nama Sayyid.

Keistimewaan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sudah tampak ketika dilahirkan. Konon, ketika mengandung, ibunya sudah berusia 60 tahun. Sebuah usia yang sangat rawan untuk melahirkan. Bahkan, ketika dilahirkan yang bertepatan dengan bulan Ramadhan, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tidak mau menyusu sejak terbit fajar hingga Maghrib.

Namun, kebesaran Syaikh Abdul Qadir bukan semata-mata karena faktor nasab dan karamahnya. Ia termasuk pemuda yang cerdas, pendiam, berbudi pekerti luhur, jujur, dan berbakti kepada orang tua.



Selain itu, kemasyhuran namanya karena kepandaiannya dalam menguasai berbagai ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang agama. Ia menguasai ilmu fikih dan ushul fikih. Kendati menguasai Mazhab Hanafi, ia pernah menjadi mufti Mazhab Syafi'i di Baghdad.

Di samping itu, ia juga dikenal sangat alim dan wara. Hal ini berkaitan dengan ajaran sufi yang dipelajarinya. Ia suka tirakat, melakukan riyadhah dan mujahadah melawan hawa nafsu.

Selain penguasaannya dalam bidang ilmu fikih, Syekh Abdul Qadir juga dikenal sebagai peletak dasar ajaran tarekat Qadiriyah. Al-Jilani dikenal juga sebagai orang yang memberikan spirit keagamaan bagi banyak umat. Karena itu, banyak ulama yang menjuluki 'Muhyidin' (penghidup agama) di depan namanya.

(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Jika seseorang lupa lalu dia makan dan minum ketika sedang berpuasa, maka hendaklah dia meneruskan puasanya, karena hal itu berarti Allah telah memberinya makan dan minum.

(HR. Bukhari No. 1797)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More