Hukum Bersilaturahmi dengan Kerabat yang Fasik dan Nonmuslim

Kamis, 16 Juni 2022 - 12:45 WIB
Silaturahim adalah amalan yang memberi pahala surga bagi yang sering mengamalkannya, namun ketika bersilaturahim ini ada hukum-hukum tertentu terutama kepada mereka yang fasik dan nonmuslim. Foto ilustrasi/ist
Silaturahmi mendatangkan pahala-pahala yang istimewa. Umat Islam banyak yang sudah paham tentang hal ini. Tapi bagaimana jika kita bersilaturahmi dengan kerabat yang fasik atau non muslim?

Di antara pahala silaturahimadalah seperti disebutkan dalam firman Allah :

وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ


“Dan orang-orang yang menghubungkan (menyambungkan) apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (disambung, yaitu silaturahim).“ (QS. Ar'du : 21).





Seringkali orang-orang berdebat, mana yang benar antara ‘silaturahmi’ atau ‘silaturrahim’? Ustadz Muhammad Idris, pengisi kajian Sunnah mengatakan bahwa untuk konteks penulisan bahasa Arab, kata silaturahim memiliki makna literal yang paling tepat.

Karena, bila merujuk sejumlah hadis dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau lebih banyak menggunakan kata “rahim” atau “silaturahim” dibandingkan dengan kata “rahmi” dari “silaturahmi”.

Namun, di dalam bahasa Indonesia, kata yang terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ‘silaturahmi’ yang bermakna tali persahabatan (persaudaraan). Untuk itu, orang Indonesia lebih disarankan menggunakan kata silaturahmi yang makna katanya sudah dikembalikan ke dalam bahasa Indonesia.

Hanya saja harus kita pahami, kedua kata ini sejatinya berasal dari akar kata yang sama. tidak ada yang perlu dipermasalahkan antara silaturrahmi ataukah silaturahim. Selama makna yang dimaksud sama, yaitu menyambung hubungan persaudaraan dengan kerabat.

Kembali ke tema, bagaimana hukumnya kita bersilaturahmi dengan kerabat yang fasik dan non muslim (kafir)? Maka jawabannya untuk kerabat fasik adalah tergantung tingkat kefasikannya. Ustadz Muhammad Idris mengatakan, fasik adalah mereka yang keluar dari ketaatan kepada Allah Ta’ala, baik itu karena melakukan sebuah dosa besar ataupun karena terus menerus melakukan dosa kecil.

Pertama, jika orang tersebut menampakkan dan bangga secara terang-terangan mengumbar kefasikannya, maka tidak wajib bersilaturahmi padanya. Bahkan tidak boleh berbaik hati dengannya, (boleh) memutus silaturahmi dengannya dan memboikotnya.

Hal ini merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala yang paling mulia. Kecuali jika dalam menyambung silaturahmi dan berbaik hati kepada mereka, dapat mencegah sebuah kemungkaran ataupun mendapatkan kemanfaatan.

Contohnya adalah menghindarkan diri dari keburukan orang tersebut, maka disunahkan untuk menyambung silaturahmi dengan mereka. Akan tetapi, harus ditakar menyesuaikan kebutuhan.



Allah Ta’ala berfirman :

اِلَّآ اَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقٰىةً


“Kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka.” (QS. Al-Imran: 28).

Kedua, terhadap kerabat atau orang yang menyembunyikan kefasikan maka sebaiknya dinasihati. Karena itu, wajib bersilaturahmi kepadanya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
Hadits of The Day
Dari Aisyah Ummul Mukminin, bahwa ia berkata:  Sudah biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa beberapa hari, hingga kami mengira bahwa beliau akan berpuasa terus. Namun beliau juga biasa berbuka (tidak puasa) beberapa hari hingga kami mengira bahwa beliau akan tidak puasa terus. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyempurnakan puasanya sebulan penuh, kecuali Ramadhan.  Dan aku juga tidak pernah melihat beliau puasa sunnah dalam sebulan yang lebih banyak daripada puasanya ketika bulan Sya'ban.

(HR. Muslim No. 1956)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More