Sejarah Tradisi Yasinan di Indonesia
Kamis, 16 Juni 2022 - 22:50 WIB
Sejarah tradisi Yasinan di Indonesia menarik untuk diulas. Istilah "Yasinan" hanyalah penyingkatan kata yang biasa diucapkan masyarakat muslim di Indonesia agar mudah dimengerti.
Yasinan adalah kegiatan membaca Surat Yasin baik dilakukan sendirian maupun secara berjamaah. Sama halnya dengan membaca kalimat Tahlil (Tahlilan), membaca kisah kelahiran Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam (Maulidan), mengkhatamkan Al-Qur'an (Khataman) dan masih banyak lagi.
Yasinan bukanlah hal yang baru yang tidak dicontohkan Baginda Rasulullah. Beliau juga membaca Surat Yasin. Bahkan membaca Surat Yasin memiliki keutamaan diampuni dari dosa bagi yang membacanya pada malam hari.
Kandungan Surat Yasin di antaranya bercerita tentang keimanan pada hari akhir, balasan bagi yang beriman dan peringatan tentang kebesaran Allah di alam raya.
Menurut Muhammad Idrus Ramli, Yasinan merupakan tradisi yang disunnahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Karena, di dalamnya terdapat bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, kalimat-kalimat tauhid, takbir, tahmid, sholawat yang diawali dengan membaca Surat Al-Fatihah. Kemudian ditutup doa yang pahalanya diniatkan untuk orang yang meninggal dunia.
Yasinan merupakan salah satu amaliyah warga Nahdlatul Ulama (NU) untuk menumbuhkan kepekaan sosial di samping menghidupkan sunnah dan syiar Islam di tengah masyarakat. Yasinan yang meliputi Tahlil dan istighathah ini biasanya diisi dengan pengajian keagamaan dan doa bersama.
Amalan yang Dihidupkan Wali Songo
Mengulas sejarah ke belakang, Wali Songo dan para penyebar Islam di Pulau Jawa dahulu tidak menghilangkan tradisi lokal. Mereka sangat toleran dengan tradisi lokal yang membudaya dalam masyarakat. Wali Songo mencoba meraih hati masyarakat dengan menyelipkan ajaran Islam.
Ajaran yang dimasukkan dalam tradisi itu bukan hal yang terlarang dalam agama, justru bagian dari ibadah dan pendekatan diri pada Allah semisal dzikir, mendoakan orang mati dalam selametan, membaca Surat Yasin dan menghadirkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, sedekah atas nama orang meninggal dan sebagainya.
Demikian cara dakwah yang dijalankan oleh para Wali Songo khususnya di tanah Jawa. Muhammad Iqbal Fauzi dalam "Tradisi Tahlilan dalam Kehidupan Masyarakat Desa Tegalangus (Analisis Sosial Kultural)" mengatakan, para Wali sangat arif dengan budaya lokal pra Islam, seperti tingkeban saat kehamilan (mendoakan janin), 7 hari, 40 hari dan 100 hari setelah kematian dan tradisi selamatan lainnya.
Budaya ini tidak serta merta dihapus oleh para penyebar Islam kala itu, tetapi diisi dengan nilai-nilai yang sesuai ajaran Islam seperti baca Al-Qur'an, sholawat, sedekah. Amaliah ini sama seperti yang dilakukan Rasulullah SAW ketika mengubah isi hari raya di Madinah.
Di kalangan masyarakat muslim ada tradisi, ketika ada yang meninggal dunia, maka pihak keluarga mengadakan selamatan 7 hari, yang dihadiri para tetangga, kerabat dan handai taulan dengan ritual membaca tahlilan yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal itu.
Selamatan ini dilakukan pula pada Hari ke-40, 100 dan 1000 harinya. Lalu diadakan setiap tahunnya yang diistilahkan dengan Haul.
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, telah ada kepercayaan yang dianut sebagian besar masyarakat seperti adalah animisme dan dinamisme. Di antaranya, meyakini bahwa arwah yang telah dicabut dari jasadnya akan gentayangan di sekitar rumah selama tujuh hari. Kemudian akan meninggalkan tempat tersebut dan akan kembali pada hari ke-40, hari ke-100 dan hari ke-1000 nya sehingga masyarakat saat itu ketakutan akan gangguan arwah dan membacakan mantra-mantra sesuai keyakinan mereka.
Setelah Islam masuk dibawa oleh ulama yang berdagang ke tanah air ini, mereka memandang kebiasaan itu telah menyelisihi syariat. Lalu perlahan mereka menggantinya dengan memasukkan kalimat-kalimat thoyibah (baik/bagus) sebagai pengganti mantra-mantra yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam.
Yasinan diduga kuat berasal dari para Wali ketika mereka berusaha menyebarkan Islam di daerah-daerah yang masih menganut paham Hindu maupun animisme. Mereka menyusupkan ajaran-ajaran Islam di tengah tradisi dan kebiasaan masyarakat yang waktu itu masih sangat kuat mengakar.
Hal yang sama pernah dilakukan Sunan Kali Jaga melalui wayangnya. Sunan Gunung Jati melalui syair lagunya dan seterusnya. Jadi pada intinya Yasinan dan Tahlilan merupakan tradisi yang telah ada sejak zaman dahulu dan sampai sekarang sudah menjadi tradisi dan terus dijalankan masyarakat muslim di Indonesia.
Keutamaan Surat Yasin
Dalam banyak riwayat, Nabi shollallohu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ يس فِي لَيْلَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ غُفِرَ لَهُ
Yasinan adalah kegiatan membaca Surat Yasin baik dilakukan sendirian maupun secara berjamaah. Sama halnya dengan membaca kalimat Tahlil (Tahlilan), membaca kisah kelahiran Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam (Maulidan), mengkhatamkan Al-Qur'an (Khataman) dan masih banyak lagi.
Yasinan bukanlah hal yang baru yang tidak dicontohkan Baginda Rasulullah. Beliau juga membaca Surat Yasin. Bahkan membaca Surat Yasin memiliki keutamaan diampuni dari dosa bagi yang membacanya pada malam hari.
Kandungan Surat Yasin di antaranya bercerita tentang keimanan pada hari akhir, balasan bagi yang beriman dan peringatan tentang kebesaran Allah di alam raya.
Menurut Muhammad Idrus Ramli, Yasinan merupakan tradisi yang disunnahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Karena, di dalamnya terdapat bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, kalimat-kalimat tauhid, takbir, tahmid, sholawat yang diawali dengan membaca Surat Al-Fatihah. Kemudian ditutup doa yang pahalanya diniatkan untuk orang yang meninggal dunia.
Yasinan merupakan salah satu amaliyah warga Nahdlatul Ulama (NU) untuk menumbuhkan kepekaan sosial di samping menghidupkan sunnah dan syiar Islam di tengah masyarakat. Yasinan yang meliputi Tahlil dan istighathah ini biasanya diisi dengan pengajian keagamaan dan doa bersama.
Amalan yang Dihidupkan Wali Songo
Mengulas sejarah ke belakang, Wali Songo dan para penyebar Islam di Pulau Jawa dahulu tidak menghilangkan tradisi lokal. Mereka sangat toleran dengan tradisi lokal yang membudaya dalam masyarakat. Wali Songo mencoba meraih hati masyarakat dengan menyelipkan ajaran Islam.
Ajaran yang dimasukkan dalam tradisi itu bukan hal yang terlarang dalam agama, justru bagian dari ibadah dan pendekatan diri pada Allah semisal dzikir, mendoakan orang mati dalam selametan, membaca Surat Yasin dan menghadirkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, sedekah atas nama orang meninggal dan sebagainya.
Demikian cara dakwah yang dijalankan oleh para Wali Songo khususnya di tanah Jawa. Muhammad Iqbal Fauzi dalam "Tradisi Tahlilan dalam Kehidupan Masyarakat Desa Tegalangus (Analisis Sosial Kultural)" mengatakan, para Wali sangat arif dengan budaya lokal pra Islam, seperti tingkeban saat kehamilan (mendoakan janin), 7 hari, 40 hari dan 100 hari setelah kematian dan tradisi selamatan lainnya.
Budaya ini tidak serta merta dihapus oleh para penyebar Islam kala itu, tetapi diisi dengan nilai-nilai yang sesuai ajaran Islam seperti baca Al-Qur'an, sholawat, sedekah. Amaliah ini sama seperti yang dilakukan Rasulullah SAW ketika mengubah isi hari raya di Madinah.
Di kalangan masyarakat muslim ada tradisi, ketika ada yang meninggal dunia, maka pihak keluarga mengadakan selamatan 7 hari, yang dihadiri para tetangga, kerabat dan handai taulan dengan ritual membaca tahlilan yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal itu.
Selamatan ini dilakukan pula pada Hari ke-40, 100 dan 1000 harinya. Lalu diadakan setiap tahunnya yang diistilahkan dengan Haul.
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, telah ada kepercayaan yang dianut sebagian besar masyarakat seperti adalah animisme dan dinamisme. Di antaranya, meyakini bahwa arwah yang telah dicabut dari jasadnya akan gentayangan di sekitar rumah selama tujuh hari. Kemudian akan meninggalkan tempat tersebut dan akan kembali pada hari ke-40, hari ke-100 dan hari ke-1000 nya sehingga masyarakat saat itu ketakutan akan gangguan arwah dan membacakan mantra-mantra sesuai keyakinan mereka.
Setelah Islam masuk dibawa oleh ulama yang berdagang ke tanah air ini, mereka memandang kebiasaan itu telah menyelisihi syariat. Lalu perlahan mereka menggantinya dengan memasukkan kalimat-kalimat thoyibah (baik/bagus) sebagai pengganti mantra-mantra yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam.
Yasinan diduga kuat berasal dari para Wali ketika mereka berusaha menyebarkan Islam di daerah-daerah yang masih menganut paham Hindu maupun animisme. Mereka menyusupkan ajaran-ajaran Islam di tengah tradisi dan kebiasaan masyarakat yang waktu itu masih sangat kuat mengakar.
Hal yang sama pernah dilakukan Sunan Kali Jaga melalui wayangnya. Sunan Gunung Jati melalui syair lagunya dan seterusnya. Jadi pada intinya Yasinan dan Tahlilan merupakan tradisi yang telah ada sejak zaman dahulu dan sampai sekarang sudah menjadi tradisi dan terus dijalankan masyarakat muslim di Indonesia.
Keutamaan Surat Yasin
Dalam banyak riwayat, Nabi shollallohu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ يس فِي لَيْلَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ غُفِرَ لَهُ