Kewajiban Haji: Hukum Melontar Jumrah pada Malam Hari
Kamis, 23 Juni 2022 - 12:13 WIB
Rukun haji ada 4, yakni: Ihram, wukuf di Arafah , thawaf Ifadhah, dan sa’i. Barangsiapa yang meninggalkan salah satu dari rukun haji, maka hajinya tidak sah. Dan tidak bisa dibayar dengan dam (denda).
Selain rukun haji yang 4 itu, ada juga kewajiban haji yang jumlahnya 7, yakni: 1. Ihram dari miqat. 2. Wukuf di Arafah sampai tenggelam matahari. 3. Bermalam di Muzdalifah. 4. Bermalam di Mina pada malam-malam hari tasyrik. 5. Melempar 3 jamarat secara berurutan. 6. Mencukur rambut. 7. Thawaf wada’.
"Barangsiapa yang meninggalkan satu kewajiban haji, ia harus mengganti dengan membayar fidyah berupa kambing yang disembelih di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang fakir Mekkah, namun ia tidak boleh ikut memakannya, dan hukum hajinya tetap sah," ujar Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi dalam bukunya berjudul "Panduan Ibadah Haji Sesuai Sunnah Nabi" mengutip kitab "Dalil al-Hajj Wal Mu’tamir" karya Thalal Bin Ahmad al-Aqiil.
Ini kali kita bahas wajib haji; melempar 3 jamarat secara berurutan. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam buku berjudul "Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia" yang disusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad menjelaskan waktu melontar jumrah pada hari-hari tasyriq adalah dari lengsernya matahari ke arah barat setelah zuhur berdasarkan riwayat Imam Muslim dalam shahihnya, bahwa Jabir ra berkata :
رَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْ النَّحْرِ ضُحَى وَرَمَى بَعْدَ ذَلِكَ بَعْدَ الزَّوَالِ
“ Rasulullah SAW melontar dalam hari nahar pada waktu dhuha dan melontar setelah (hari) itu ketika matahari telah bergeser ke barat”. (HR Muslim).
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa dia ditanya tentang hal tersebut, maka dia berkata.
كُنَّا نَتَحَيَّنُ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ رَمَيْنَا
“Adalah kami menunggu-nunggu waktu, maka ketika matahari bergeser ke barat kami melontar.” [HR Bukhari]
"Demikian ini adalah pendapat jumhur ulama. Tetapi jika dalam keadaan darurat sehingga mengharuskan ia menunda melontar hingga malam hari maka tidak mengapa," ujar Syaikh Abdul Aziz. "Akan tetapi yang lebih hati-hati adalah melontar sebelum Maghrib bagi orang yang mampu melakukan demikian itu karena berpedoman kepada Sunnah dan keluar dari perselisihan," lanjutnya.
Ada sementara pihak yang berpendapat sah melontar pada malam hari pada hari-hari tasyriq karena kepadatan dan kesulitan besar dalam melontar pada siang hari. Mereka yang berpendapat demikian mendaskan pada hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya dari Ibnu Abbas, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ يَوْمَ النَّحْرِ بِمِنَى فَيَقُوْلُ لاَحَرَجَ فَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ حَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ قَالَ اِذْبَحْ وَلاَ حَرَجَ فَقَالَ رَمَيْتُ بَعْدَ مَاأَمْسَيْتُ فَقَالَ لاَ حَرَجَ
“Adalah Rasulullah SAW di Mina, maka beliau bersabda: “Tidak mengapa”. Lalu seseorang bertanya kepadanya seraya berkata: “Saya bercukur sebelum menyembelih kurban?”. Maka Nabi SAW bersabda: “Sembelihlah, dan tidak mengapa”. Lalu seseorang berkata: “Saya melontar setelah sore?”. Maka Nabi SAW bersabda: “Tidak mengapa“. [HR Riwayat Bukhari]
“Jika Rasulullah SAW memperbolehkan seseorang melontar jumrah pada malam hari di hari nahar yang hukumnya wajib bagi setiap orang yang haji hingga dia dapat tahallul awal, lalu bagaimana dengan melontar pada tiga hari tasyriq yang lebih rendah tingkat wajibnya dari melontar pada hari nahar? Ini menunjukkan bahwa melontar pada tiga hari tasyrik boleh dilakukan pada malam hari!”
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menjelaskan hadis Ibnu Abbas tersebut bukan sebagai dalil melontar pada malam hari. Sebab penanya bertanya kepada Nabi SAW pada hari nahar.
Maka perkataannya, “Saya melontar setelah saya memasuki waktu sore” itu artinya dia melontar setelah matahari bergeser ke barat. Akan tetapi yang dapat dijadikan dalil melontar pada malam hari adalah karena tidak adanya teks yang jelas dari Nabi SAW yang menunjukkan tidak bolehnya melontar pada malam hari, sedang hukum asalnya adalah boleh.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berpendapat melontar pada siang hari lebih utama dan lebih hati-hati. "Dan ketika ada kebutuhan yang mendorong untuk melontar pada malam hari maka tidak mengapa bila melontarnya pada malam yang matahari sudah terbenam sampai akhir malam," katanya.
Adapun melontar pada hari yang akan datang maka tidak dapat dilakukan pada malam yang lewat darinya selain malam nahar bagi orang-orang yang lemah pada setengah malam bagian akhir.
Adapun bagi orang-orang yang kuat maka yang sesuai sunnah adalah mereka melontar jumrah Aqabah setelah terbit matahari sebagaimana telah disebutkan karena menggabungkan beberapa hadis yang menjelaskan hal tersebut. Wallahu a’lam.
Selain rukun haji yang 4 itu, ada juga kewajiban haji yang jumlahnya 7, yakni: 1. Ihram dari miqat. 2. Wukuf di Arafah sampai tenggelam matahari. 3. Bermalam di Muzdalifah. 4. Bermalam di Mina pada malam-malam hari tasyrik. 5. Melempar 3 jamarat secara berurutan. 6. Mencukur rambut. 7. Thawaf wada’.
"Barangsiapa yang meninggalkan satu kewajiban haji, ia harus mengganti dengan membayar fidyah berupa kambing yang disembelih di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang fakir Mekkah, namun ia tidak boleh ikut memakannya, dan hukum hajinya tetap sah," ujar Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi dalam bukunya berjudul "Panduan Ibadah Haji Sesuai Sunnah Nabi" mengutip kitab "Dalil al-Hajj Wal Mu’tamir" karya Thalal Bin Ahmad al-Aqiil.
Ini kali kita bahas wajib haji; melempar 3 jamarat secara berurutan. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam buku berjudul "Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia" yang disusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad menjelaskan waktu melontar jumrah pada hari-hari tasyriq adalah dari lengsernya matahari ke arah barat setelah zuhur berdasarkan riwayat Imam Muslim dalam shahihnya, bahwa Jabir ra berkata :
رَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْ النَّحْرِ ضُحَى وَرَمَى بَعْدَ ذَلِكَ بَعْدَ الزَّوَالِ
“ Rasulullah SAW melontar dalam hari nahar pada waktu dhuha dan melontar setelah (hari) itu ketika matahari telah bergeser ke barat”. (HR Muslim).
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa dia ditanya tentang hal tersebut, maka dia berkata.
كُنَّا نَتَحَيَّنُ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ رَمَيْنَا
“Adalah kami menunggu-nunggu waktu, maka ketika matahari bergeser ke barat kami melontar.” [HR Bukhari]
"Demikian ini adalah pendapat jumhur ulama. Tetapi jika dalam keadaan darurat sehingga mengharuskan ia menunda melontar hingga malam hari maka tidak mengapa," ujar Syaikh Abdul Aziz. "Akan tetapi yang lebih hati-hati adalah melontar sebelum Maghrib bagi orang yang mampu melakukan demikian itu karena berpedoman kepada Sunnah dan keluar dari perselisihan," lanjutnya.
Ada sementara pihak yang berpendapat sah melontar pada malam hari pada hari-hari tasyriq karena kepadatan dan kesulitan besar dalam melontar pada siang hari. Mereka yang berpendapat demikian mendaskan pada hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya dari Ibnu Abbas, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ يَوْمَ النَّحْرِ بِمِنَى فَيَقُوْلُ لاَحَرَجَ فَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ حَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ قَالَ اِذْبَحْ وَلاَ حَرَجَ فَقَالَ رَمَيْتُ بَعْدَ مَاأَمْسَيْتُ فَقَالَ لاَ حَرَجَ
“Adalah Rasulullah SAW di Mina, maka beliau bersabda: “Tidak mengapa”. Lalu seseorang bertanya kepadanya seraya berkata: “Saya bercukur sebelum menyembelih kurban?”. Maka Nabi SAW bersabda: “Sembelihlah, dan tidak mengapa”. Lalu seseorang berkata: “Saya melontar setelah sore?”. Maka Nabi SAW bersabda: “Tidak mengapa“. [HR Riwayat Bukhari]
“Jika Rasulullah SAW memperbolehkan seseorang melontar jumrah pada malam hari di hari nahar yang hukumnya wajib bagi setiap orang yang haji hingga dia dapat tahallul awal, lalu bagaimana dengan melontar pada tiga hari tasyriq yang lebih rendah tingkat wajibnya dari melontar pada hari nahar? Ini menunjukkan bahwa melontar pada tiga hari tasyrik boleh dilakukan pada malam hari!”
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menjelaskan hadis Ibnu Abbas tersebut bukan sebagai dalil melontar pada malam hari. Sebab penanya bertanya kepada Nabi SAW pada hari nahar.
Maka perkataannya, “Saya melontar setelah saya memasuki waktu sore” itu artinya dia melontar setelah matahari bergeser ke barat. Akan tetapi yang dapat dijadikan dalil melontar pada malam hari adalah karena tidak adanya teks yang jelas dari Nabi SAW yang menunjukkan tidak bolehnya melontar pada malam hari, sedang hukum asalnya adalah boleh.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berpendapat melontar pada siang hari lebih utama dan lebih hati-hati. "Dan ketika ada kebutuhan yang mendorong untuk melontar pada malam hari maka tidak mengapa bila melontarnya pada malam yang matahari sudah terbenam sampai akhir malam," katanya.
Adapun melontar pada hari yang akan datang maka tidak dapat dilakukan pada malam yang lewat darinya selain malam nahar bagi orang-orang yang lemah pada setengah malam bagian akhir.
Adapun bagi orang-orang yang kuat maka yang sesuai sunnah adalah mereka melontar jumrah Aqabah setelah terbit matahari sebagaimana telah disebutkan karena menggabungkan beberapa hadis yang menjelaskan hal tersebut. Wallahu a’lam.
(mhy)