Syarat Sah Tawaf: Menutup Aurat dan Bersuci dari Hadas
Jum'at, 01 Juli 2022 - 16:40 WIB
Apabila beliau mengerjakannya karena hukumnya Sunnah maka kita mengerjakannya juga karena hukumnya Sunnah. Apabila kita lakukan dengan keyakinan wajib (padahal hukumnya sunnah) maka kita tidak mengambil dan mencontoh Rasulullah SAW.
Hal ini didukung dengan banyaknya perbuatan Rasulullah SAW dalam haji yang tidak diwajibkan para ulama, seperti raml, ithdhiba’ dan minum zamzam.
5. Sedangkan hadis ‘Aisyah dan Shafiyah yang dilarang Thawaf karena haidh yang menunjukkan tidak sahnya Thawaf orang yang haidh tidak bisa dianalogikan kepada mereka yang tidak bersuci dari hadats kecil, karena perbedaan yang ada di antara keduanya.
Suci dari Najis
Para ulama berbeda pendapat tentang pensyaratan suci dari najis pada badan, pakaian dan tempat yang terkena najis dalam tiga pendapat:
Pendapat pertama menyatakan suci dari najis adalah syarat sah thawaf. Inilah pendapat Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad. Al-Mawardi menisbatkannya kepada pendapat mayoritas ulama.
Pendapat kedua menyatakan suci dari najis hukumnya Sunnah muakkad. Inilah pendapat yang masyhur dari Abu Hanifah.
Pendapat ketiga menyatakan suci dari najis ini adalah wajib bukan syarat sah thawaf. Ini adalah pendapat sebagian ulama mazhab Hanafiyah dan satu satu pendapat dalam mazhab Hanabilah.
Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah pendapat pertama yang menjadikannya syarat sah, sebab Allah Ta’ala memerintahkan untuk mensucikan Kakbah untuk orang yang thawaf dan sholat dalam firmanNya:
وَعَهِدْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: ”Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud. [QS Al-Baqarah/2:125].
Ayat ini menunjukkan kewajiban mensucikan tempat thawaf. Apabila ada perintah Ilahi untuk mensucikan tempat thawaf yang terpisah dari orang yang berthawaf, maka mensucikan pakaian dan diri orang yang thawaf dari najis lebih diperintahkan lagi. Wallahu a’lam.
Hal ini didukung dengan banyaknya perbuatan Rasulullah SAW dalam haji yang tidak diwajibkan para ulama, seperti raml, ithdhiba’ dan minum zamzam.
5. Sedangkan hadis ‘Aisyah dan Shafiyah yang dilarang Thawaf karena haidh yang menunjukkan tidak sahnya Thawaf orang yang haidh tidak bisa dianalogikan kepada mereka yang tidak bersuci dari hadats kecil, karena perbedaan yang ada di antara keduanya.
Suci dari Najis
Para ulama berbeda pendapat tentang pensyaratan suci dari najis pada badan, pakaian dan tempat yang terkena najis dalam tiga pendapat:
Pendapat pertama menyatakan suci dari najis adalah syarat sah thawaf. Inilah pendapat Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad. Al-Mawardi menisbatkannya kepada pendapat mayoritas ulama.
Pendapat kedua menyatakan suci dari najis hukumnya Sunnah muakkad. Inilah pendapat yang masyhur dari Abu Hanifah.
Pendapat ketiga menyatakan suci dari najis ini adalah wajib bukan syarat sah thawaf. Ini adalah pendapat sebagian ulama mazhab Hanafiyah dan satu satu pendapat dalam mazhab Hanabilah.
Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah pendapat pertama yang menjadikannya syarat sah, sebab Allah Ta’ala memerintahkan untuk mensucikan Kakbah untuk orang yang thawaf dan sholat dalam firmanNya:
وَعَهِدْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: ”Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud. [QS Al-Baqarah/2:125].
Ayat ini menunjukkan kewajiban mensucikan tempat thawaf. Apabila ada perintah Ilahi untuk mensucikan tempat thawaf yang terpisah dari orang yang berthawaf, maka mensucikan pakaian dan diri orang yang thawaf dari najis lebih diperintahkan lagi. Wallahu a’lam.
(mhy)
Lihat Juga :