Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Umar Haramkan Catur?
Rabu, 20 Juli 2022 - 18:25 WIB
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang memandang hukum catur , antara mubah, makruh dan haram. Mereka yang mengharamkan beralasan dengan beberapa hadis Nabi SAW . Namun para pengkritik dan penyelidiknya menolak dan membatalkannya. Mereka menegaskan, bahwa permainan catur hanya mulai tumbuh di zaman sahabat. Oleh karena itu setiap hadis yang menerangkan tentang catur di zaman Nabi adalah hadis-hadis batil ( dhaif ).
Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani dalam bukunya berjudul "Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah" dan telah diterjemahkan AM Basamalah menjadi "Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'" bahkan menyodorkan dua hadis palsu atau maudhu' perihal catur.
Para sahabat sendiri berbeda dalam memandang masalah catur ini. Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul " Halal dan Haram dalam Islam " menyebut Ibnu Umar menganggapnya sama dengan dadu. Sedang Ali bin Abi Thalib memandangnya sama dengan judi. "Mungkin yang dimaksud, yaitu apabila dibarengi dengan judi. Sementara ada juga yang berpendapat makruh," ujar Al-Qardhawi.
Dan di antara sahabat dan tabi'in ada juga yang menganggapnya mubah. Di antara mereka itu ialah: Ibnu Abbas , Abu Hurairah , Ibnu Sirin, Hisyam bin 'Urwah, Said bin Musayyib dan Said bin Jubair.
"Inilah pendapat orang-orang kenamaan dan begitu jugalah pendapat saya," ujar al-Qardhawi. "Sebab menurut hukum asal, sebagaimana telah kita ketahui, adalah mubah. Sedang dalam hal ini tidak ada satu nas tegas yang menerangkan tentang haramnya," jelasnya.
Menurut al-Qardhawi, pada catur itu sendiri melebihi permainan dan hiburan biasa. Di dalamnya terdapat semacam olah raga otak dan mendidik berpikir. Oleh karena itu, tidak dapat disamakan dengan dadu. Dan justru itu pula mereka mengatakan: yang menjadi ciri daripada dadu ialah untung-untungan (spekulasi), jadi sama dengan azlam. Sedang yang menjadi ciri dalam permainan catur ialah kecerdasan dan latihan, jadi sama dengan lomba memanah.
Al-Qardhawi berpendapat tentang kebolehan catur ini dipersyaratkan dengan tiga syarat:
1. Karena bermain catur, tidak boleh menunda-nunda sembahyang, sebab perbuatan yang paling bahaya ialah mencuri waktu.
2. Tidak boleh dicampuri perjudian.
3. Ketika bermain, lidah harus dijaga dari omong kotor, cabul dan omongan-omongan yang rendah.
"Kalau ketiga syarat ini tidak dapat dipenuhinya, maka dapat dihukumi haram," ujarnya.
Hadis Maudhu
Setidaknya ada dua hadis yang oleh Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani dianggap palsu. Hadis palsu yang dimaksud salah satunya adalah yang berbunyi: "Terkutuk orang yang main catur itu."
"Hadis ini maudhu'," ujar Syaikh al-Albani. Hadis tersebut dikeluarkan oleh ad-Dailami (IV/63) dari Ibad bin Abdus Shamad dari Anas yang di-marfu'-kannya.
"Saya sependapat, sanad ini maudhu' dan kelemahannya karena adanya Ibad ini, yang oleh Imam Bukhari dinyatakan mungkar periwayatannya," ujar al-Albani. Kemudian, Ibnu Hibban menegaskan, "Telah meriwayatkan dari Anas sekumpulan riwayat yang semuanya maudhu'."
Al-Hafizh as-Sakhawi mengatakan dalam kitab Umdatul Muhtaj fi Hukmisy-Syathranj (I/9), "Imam an-Nawawi ditanya tentangnya maka ia jawab tidak shahih."
Yang semisalnya apa yang dikemukakan oleh as-Sayuthi dalam kitabnya al-Jami' dari riwayat Abdan dan Abu Musa serta Ibnu Hazm dari Habbah bin Muslim secara mursal, sambil menambahkan "Dan orang yang melihat ke arahnya bagaikan makan daging babi."
Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani dalam bukunya berjudul "Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah" dan telah diterjemahkan AM Basamalah menjadi "Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'" bahkan menyodorkan dua hadis palsu atau maudhu' perihal catur.
Para sahabat sendiri berbeda dalam memandang masalah catur ini. Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul " Halal dan Haram dalam Islam " menyebut Ibnu Umar menganggapnya sama dengan dadu. Sedang Ali bin Abi Thalib memandangnya sama dengan judi. "Mungkin yang dimaksud, yaitu apabila dibarengi dengan judi. Sementara ada juga yang berpendapat makruh," ujar Al-Qardhawi.
Dan di antara sahabat dan tabi'in ada juga yang menganggapnya mubah. Di antara mereka itu ialah: Ibnu Abbas , Abu Hurairah , Ibnu Sirin, Hisyam bin 'Urwah, Said bin Musayyib dan Said bin Jubair.
"Inilah pendapat orang-orang kenamaan dan begitu jugalah pendapat saya," ujar al-Qardhawi. "Sebab menurut hukum asal, sebagaimana telah kita ketahui, adalah mubah. Sedang dalam hal ini tidak ada satu nas tegas yang menerangkan tentang haramnya," jelasnya.
Menurut al-Qardhawi, pada catur itu sendiri melebihi permainan dan hiburan biasa. Di dalamnya terdapat semacam olah raga otak dan mendidik berpikir. Oleh karena itu, tidak dapat disamakan dengan dadu. Dan justru itu pula mereka mengatakan: yang menjadi ciri daripada dadu ialah untung-untungan (spekulasi), jadi sama dengan azlam. Sedang yang menjadi ciri dalam permainan catur ialah kecerdasan dan latihan, jadi sama dengan lomba memanah.
Al-Qardhawi berpendapat tentang kebolehan catur ini dipersyaratkan dengan tiga syarat:
1. Karena bermain catur, tidak boleh menunda-nunda sembahyang, sebab perbuatan yang paling bahaya ialah mencuri waktu.
2. Tidak boleh dicampuri perjudian.
3. Ketika bermain, lidah harus dijaga dari omong kotor, cabul dan omongan-omongan yang rendah.
"Kalau ketiga syarat ini tidak dapat dipenuhinya, maka dapat dihukumi haram," ujarnya.
Hadis Maudhu
Setidaknya ada dua hadis yang oleh Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani dianggap palsu. Hadis palsu yang dimaksud salah satunya adalah yang berbunyi: "Terkutuk orang yang main catur itu."
"Hadis ini maudhu'," ujar Syaikh al-Albani. Hadis tersebut dikeluarkan oleh ad-Dailami (IV/63) dari Ibad bin Abdus Shamad dari Anas yang di-marfu'-kannya.
"Saya sependapat, sanad ini maudhu' dan kelemahannya karena adanya Ibad ini, yang oleh Imam Bukhari dinyatakan mungkar periwayatannya," ujar al-Albani. Kemudian, Ibnu Hibban menegaskan, "Telah meriwayatkan dari Anas sekumpulan riwayat yang semuanya maudhu'."
Al-Hafizh as-Sakhawi mengatakan dalam kitab Umdatul Muhtaj fi Hukmisy-Syathranj (I/9), "Imam an-Nawawi ditanya tentangnya maka ia jawab tidak shahih."
Yang semisalnya apa yang dikemukakan oleh as-Sayuthi dalam kitabnya al-Jami' dari riwayat Abdan dan Abu Musa serta Ibnu Hazm dari Habbah bin Muslim secara mursal, sambil menambahkan "Dan orang yang melihat ke arahnya bagaikan makan daging babi."