Syekh Syamsuddin al-Wasil: Pembimbing Rohani Prabu Jayabaya, Penyebar Islam Pertama di Kediri
Rabu, 03 Agustus 2022 - 16:58 WIB
Permohonan mereka pun dikabulkan. Lalu, hiduplah seorang raja bijaksana, yang menyempurnakan hak-hak rakyatnya, yang menjadikan kembali kehidupan rakyat Pulau Jawa gilang gemilang. Ia adalah Sri Jaya-satru (Jayabhaya), yang merupakan inkarnasi dari Madhusudana-awatara (Dewa Wisnu).
Dalam memerintah rakyat Jawa, Jayabhaya dibimbing oleh Agastya yang suci, yang berinkarnasi menjadi pendeta. Keduanya berposisi sebagai guru dan murid. Sang guru memberikan ajaran kebijaksanaan, dan sang raja dengan patuh menjalankan ajarannya.
Sang raja memerintah negeri dengan teguh. Dan, sang pendeta dipatuhi oleh rakyat di seluruh Jawa disebabkan wibawanya yang besar sebagai “petapa” dan pengetahuannya tentang cara mengatasi bahaya rohani sangat mendalam.
Kehidupan rakyat Jawa pun kembali tenteram. Setiap orang berlomba-lomba untuk berbuat kebajikan. Layaknya santri, mereka berbondong-bondong belajar kitab suci kepada sang Agastya. Yang dulunya miskin dan hina-dina, terangkat derajat sosial dan ekonominya, dan diliputi kebahagiaan.
Demikianlah kisah Kerajaan Kadiri pada zaman Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya. Ketika sudah khatam mengaji Kitab Musyarar kepada Syekh Syamsuddin al-Wasil dan sudah menjadi ahli dalam ilmu nujum (ramalan), Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya menulis sebuah catatan yang bertajuk Serat Jangka Jayabhaya.
Serat itu berisi ramalan tentang eksistensi Nusantara pada masa depan. Kini, jika kita mengenal tentang ramalan Jayabhaya, maka hal itu berasal dari Serat Jangka Jayabhaya.
Biksu Pandhita
Sebagian tafsir mengatakan bahwa guru Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya adalah Mpu Sedah. Namun, tafsir yang lain menyatakan bahwa Mpu Sedah adalah guru di bidang sastra. Sedangkan sang pembimbing rohani itu, yang disebut biksu pandhita-adikara, adalah Syekh Syamsuddin al-Wasil.
Sebutan “biksu pandhita” lazim digunakan untuk menyebut para ulama Islam kala itu, seperti Sayyid Ali Murtadha disebut sebagai Raja Pandhita di Gresik, atau Maulana Malik Ibrahim disebut juga sebagai pandhita.
Jika dihubungkan antara inskripsi yang berada di makam Syekh Syamsuddin al-Wasil dengan naskah historiografi Jawa tersebut maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mubaligh itu berasal dari Persia, tepatnya dari sebuah kota kecil bernama Abarkuh.
Ia diyakini sebagai orang pertama yang menyebarkan agama Islam di Kadiri. Masyarakat Kerajaan Kadiri sangat menghormatinya. Oleh karena itu, ketika ia wafat, Syekh Syamsuddin al-Wasil dimakamkan dengan menggunakan nisan yang berinskripsi, yang menandakan bahwa ia seorang tokoh, karena makam-makam rakyat biasa pada umumnya tidak berinskripsi.
Pada mulanya, makam Syekh Syamsuddin al-Wasil berada di tanah terbuka. Namun, Bupati Kediri abad ke-16, Suryo Adilogo, mengeluarkan kebijakan untuk membangunnya menjadi megah, untuk menghormati jasa-jasanya yang besar dalam mengislamkan rakyat Kediri. Adapun Suryo Adilogo, menurut naskah historiografi Jawa, merupakan mertua Sunan Drajat.
Dalam memerintah rakyat Jawa, Jayabhaya dibimbing oleh Agastya yang suci, yang berinkarnasi menjadi pendeta. Keduanya berposisi sebagai guru dan murid. Sang guru memberikan ajaran kebijaksanaan, dan sang raja dengan patuh menjalankan ajarannya.
Sang raja memerintah negeri dengan teguh. Dan, sang pendeta dipatuhi oleh rakyat di seluruh Jawa disebabkan wibawanya yang besar sebagai “petapa” dan pengetahuannya tentang cara mengatasi bahaya rohani sangat mendalam.
Kehidupan rakyat Jawa pun kembali tenteram. Setiap orang berlomba-lomba untuk berbuat kebajikan. Layaknya santri, mereka berbondong-bondong belajar kitab suci kepada sang Agastya. Yang dulunya miskin dan hina-dina, terangkat derajat sosial dan ekonominya, dan diliputi kebahagiaan.
Demikianlah kisah Kerajaan Kadiri pada zaman Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya. Ketika sudah khatam mengaji Kitab Musyarar kepada Syekh Syamsuddin al-Wasil dan sudah menjadi ahli dalam ilmu nujum (ramalan), Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya menulis sebuah catatan yang bertajuk Serat Jangka Jayabhaya.
Serat itu berisi ramalan tentang eksistensi Nusantara pada masa depan. Kini, jika kita mengenal tentang ramalan Jayabhaya, maka hal itu berasal dari Serat Jangka Jayabhaya.
Biksu Pandhita
Sebagian tafsir mengatakan bahwa guru Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya adalah Mpu Sedah. Namun, tafsir yang lain menyatakan bahwa Mpu Sedah adalah guru di bidang sastra. Sedangkan sang pembimbing rohani itu, yang disebut biksu pandhita-adikara, adalah Syekh Syamsuddin al-Wasil.
Sebutan “biksu pandhita” lazim digunakan untuk menyebut para ulama Islam kala itu, seperti Sayyid Ali Murtadha disebut sebagai Raja Pandhita di Gresik, atau Maulana Malik Ibrahim disebut juga sebagai pandhita.
Jika dihubungkan antara inskripsi yang berada di makam Syekh Syamsuddin al-Wasil dengan naskah historiografi Jawa tersebut maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mubaligh itu berasal dari Persia, tepatnya dari sebuah kota kecil bernama Abarkuh.
Ia diyakini sebagai orang pertama yang menyebarkan agama Islam di Kadiri. Masyarakat Kerajaan Kadiri sangat menghormatinya. Oleh karena itu, ketika ia wafat, Syekh Syamsuddin al-Wasil dimakamkan dengan menggunakan nisan yang berinskripsi, yang menandakan bahwa ia seorang tokoh, karena makam-makam rakyat biasa pada umumnya tidak berinskripsi.
Pada mulanya, makam Syekh Syamsuddin al-Wasil berada di tanah terbuka. Namun, Bupati Kediri abad ke-16, Suryo Adilogo, mengeluarkan kebijakan untuk membangunnya menjadi megah, untuk menghormati jasa-jasanya yang besar dalam mengislamkan rakyat Kediri. Adapun Suryo Adilogo, menurut naskah historiografi Jawa, merupakan mertua Sunan Drajat.
(mhy)