Tiga Sisi Syukur Menurut Al-Quran, Apa Saja?
Rabu, 03 Agustus 2022 - 18:41 WIB
Kata " syukur " adalah kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: (1) rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega, senang, dan sebagainya).
Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" menjelaskan pengertian kebahasaan ini tidak sepenuhnya sama dengan pengertiannya menurut asal kata itu (etimologi) maupun menurut penggunaan Al-Quran atau istilah keagamaan.
Dalam Al-Quran kata "syukur" dengan berbagai bentuknya ditemukan sebanyak enam puluh empat kali. Ahmad Ibnu Faris dalam bukunya Maqayis Al-Lughah menyebutkan empat arti dasar dari kata tersebut yaitu:
1. Pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh. Hakikatnya adalah merasa ridha atau puas dengan sedikit sekalipun, karena itu bahasa menggunakan kata ini (syukur) untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan sedikit rumput.
Peribahasa juga memperkenalkan ungkapan Asykar min barwaqah (Lebih bersyukur dari tumbuhan barwaqah). Barwaqah adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh subur, walau dengan awan mendung tanpa hujan.
2. Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur dilukiskan dengan kalimat syakarat asy-syajarat.
3. Sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit).
4. Pernikahan, atau alat kelamin.
Quraish Shihab mengatakan agaknya kedua makna terakhir ini dapat dikembalikan dasar pengertiannya kepada kedua makna terdahulu. Makna ketiga sejalan dengan makna pertama yang mengambarkan kepuasan dengan yang sedikit sekalipun, sedang makna keempat dengan makna kedua, karena dengan pernikahan (alat kelamin) dapat melahirkan banyak anak.
Makna-makna dasar tersebut dapat juga diartikan sebagai penyebab dan dampaknya, sehingga kata "syukur" mengisyaratkan "Siapa yang merasa puas dengan yang sedikit, maka ia akan memperoleh banyak, lebat, dan subur."
Ar-Raghib Al-Isfahani salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa Al-Quran menulis dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, bahwa kata "syukur" mengandung arti "gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan."
Kata ini, tulis Ar-Raghib, menurut sementara ulama berasal dari kata "syakara" yang berarti "membuka", sehingga ia merupakan lawan dari kata "kafara" (kufur) yang berarti menutup --(salah satu artinya adalah) melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.
Quraish Shihab menjelaskan makna yang dikemukakan pakar tersebut dapat diperkuat dengan beberapa ayat Al-Quran yang memperhadapkan kata syukur dengan kata kufur, antara lain dalam QS lbrahim (14) : 7:
"Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih."
Demikian juga dengan redaksi pengakuan Nabi Sulaiman yang diabadikan Al-Quran: "Ini adalah sebagian anugerah Tuhan-Ku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur ( QS An-Naml [27] : 40).
Menurut Quraish, hakikat syukur adalah "menampakkan nikmat," dan hakikat kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah: "Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-nyebut". ( QS Adh-Dhuha [93] : ll).
Nabi Muhammad SAW pun bersabda, "Allah senang melihat bekas (bukti) nikmat-Nya dalam penampilan hamba-Nya (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).
Sementara ulama ketika menafsirkan firman Allah, "Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku" ( QS Al-Baqarah [2] : 152), menjelaskan bahwa ayat ini mengandung perintah untuk mengingat Tuhan tanpa melupakannya, patuh kepada-Nya tanpa menodainya dengan kedurhakaan.
Syukur orang demikian lahir dari keikhlasan kepada-Nya, dan karena itu, ketika setan menyatakan bahwa, "Demi kemuliaan-Mu, Aku akan menyesatkan mereka manusia) semuanya" ( QS Shad [38] : 82), dilanjutkan dengan pernyataan pengecualian, yaitu, "kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlash di antara mereka" ( QS Shad [38] : 83).
Dalam QS Al-A'raf (7) : 17 Iblis menyatakan, "Dan Engkau tidak akan menemukan kebanyakan dari mereka (manusia) bersyukur."
Kalimat "tidak akan menemukan" di sini serupa maknanya dengan pengecualian di atas, sehingga itu berarti bahwa orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang mukhlish (tulus hatinya).
Quraish Shihab mengatakan dengan demikian syukur mencakup tiga sisi:
a. Syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas anugerah.
b. Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya.
c. Syukur dengan perbuatan, dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Lihat Juga: Grand Syekh Al Azhar Ajak Tokoh Agama Dunia Lebih Vokal Suarakan Ancaman Perubahan Iklim
Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" menjelaskan pengertian kebahasaan ini tidak sepenuhnya sama dengan pengertiannya menurut asal kata itu (etimologi) maupun menurut penggunaan Al-Quran atau istilah keagamaan.
Baca Juga
Dalam Al-Quran kata "syukur" dengan berbagai bentuknya ditemukan sebanyak enam puluh empat kali. Ahmad Ibnu Faris dalam bukunya Maqayis Al-Lughah menyebutkan empat arti dasar dari kata tersebut yaitu:
1. Pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh. Hakikatnya adalah merasa ridha atau puas dengan sedikit sekalipun, karena itu bahasa menggunakan kata ini (syukur) untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan sedikit rumput.
Peribahasa juga memperkenalkan ungkapan Asykar min barwaqah (Lebih bersyukur dari tumbuhan barwaqah). Barwaqah adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh subur, walau dengan awan mendung tanpa hujan.
2. Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur dilukiskan dengan kalimat syakarat asy-syajarat.
3. Sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit).
4. Pernikahan, atau alat kelamin.
Quraish Shihab mengatakan agaknya kedua makna terakhir ini dapat dikembalikan dasar pengertiannya kepada kedua makna terdahulu. Makna ketiga sejalan dengan makna pertama yang mengambarkan kepuasan dengan yang sedikit sekalipun, sedang makna keempat dengan makna kedua, karena dengan pernikahan (alat kelamin) dapat melahirkan banyak anak.
Makna-makna dasar tersebut dapat juga diartikan sebagai penyebab dan dampaknya, sehingga kata "syukur" mengisyaratkan "Siapa yang merasa puas dengan yang sedikit, maka ia akan memperoleh banyak, lebat, dan subur."
Ar-Raghib Al-Isfahani salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa Al-Quran menulis dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, bahwa kata "syukur" mengandung arti "gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan."
Kata ini, tulis Ar-Raghib, menurut sementara ulama berasal dari kata "syakara" yang berarti "membuka", sehingga ia merupakan lawan dari kata "kafara" (kufur) yang berarti menutup --(salah satu artinya adalah) melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.
Quraish Shihab menjelaskan makna yang dikemukakan pakar tersebut dapat diperkuat dengan beberapa ayat Al-Quran yang memperhadapkan kata syukur dengan kata kufur, antara lain dalam QS lbrahim (14) : 7:
"Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih."
Demikian juga dengan redaksi pengakuan Nabi Sulaiman yang diabadikan Al-Quran: "Ini adalah sebagian anugerah Tuhan-Ku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur ( QS An-Naml [27] : 40).
Menurut Quraish, hakikat syukur adalah "menampakkan nikmat," dan hakikat kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah: "Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-nyebut". ( QS Adh-Dhuha [93] : ll).
Nabi Muhammad SAW pun bersabda, "Allah senang melihat bekas (bukti) nikmat-Nya dalam penampilan hamba-Nya (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).
Sementara ulama ketika menafsirkan firman Allah, "Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku" ( QS Al-Baqarah [2] : 152), menjelaskan bahwa ayat ini mengandung perintah untuk mengingat Tuhan tanpa melupakannya, patuh kepada-Nya tanpa menodainya dengan kedurhakaan.
Syukur orang demikian lahir dari keikhlasan kepada-Nya, dan karena itu, ketika setan menyatakan bahwa, "Demi kemuliaan-Mu, Aku akan menyesatkan mereka manusia) semuanya" ( QS Shad [38] : 82), dilanjutkan dengan pernyataan pengecualian, yaitu, "kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlash di antara mereka" ( QS Shad [38] : 83).
Dalam QS Al-A'raf (7) : 17 Iblis menyatakan, "Dan Engkau tidak akan menemukan kebanyakan dari mereka (manusia) bersyukur."
Kalimat "tidak akan menemukan" di sini serupa maknanya dengan pengecualian di atas, sehingga itu berarti bahwa orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang mukhlish (tulus hatinya).
Quraish Shihab mengatakan dengan demikian syukur mencakup tiga sisi:
a. Syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas anugerah.
b. Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya.
c. Syukur dengan perbuatan, dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Lihat Juga: Grand Syekh Al Azhar Ajak Tokoh Agama Dunia Lebih Vokal Suarakan Ancaman Perubahan Iklim
(mhy)