Tak Sedikit Kisah-Kisah Khayalan tentang Nabi Muhammad SAW
Selasa, 27 September 2022 - 16:25 WIB
Nabi Muhammad SAW dan mukjizat-mukjizatnya banyak diceritakan dalam kitab-kitab cerita Maulid. Hanya saja, tak sedikit kisah yang ditampilkan berlebihan. Peradaban agama kita telah tercemar oleh para pengarang yang menerima "kisah-kisah khayalan" dan mengisi lembaran kitab-kitab mereka, meskipun menyalahi riwayat yang sahih dan akal sehat.
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Qardhawi mengatakan bahwa tidaklah semua mukjizat Rasulullah SAW yang nyata dan tersiar di antara orang-orang merupakan riwayat yang sahih dan benar, dan tidak juga semuanya salah. "Kesahihan dan kesalahan dalam masalah-masalah ini ditentukan oleh sanad-sanad," ujarnya.
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengelompokkan sikap orang dalam masalah mukjizat Nabi Muhammad SAW yang bersifat material, ada tiga macam:
Membenarkan yang Berlebihan
Pertama, orang yang berlebihan dalam membenarkan dan menjadikan sanad dan dalil adalah sesuatu yang tercantum dalam kitab-kitab, apakah itu merupakan kitab ulama periode terdahulu maupun belakangan, yang menyaring riwayat-riwayat atau tidak, yang bersesuaian dengan pokok-pokoknya atau bahkan menyalahinya, dan apakah kitab-kitab itu diterima oleh para ulama peneliti atau tidak.
Yang penting hal itu diriwayatkan dalam sebuah kitab, meskipun tidak diketahui pengarangnya, atau disebutkan dalam sebuah kasidah yang berisi pujian terhadap Nabi SAW, atau dalam kisah Maulid yang sebagiannya dibaca di bulan Rabiul Awwal setiap tahun dan sebagainya.
"Ini pemikiran awam yang tidak perlu dibicarakan. Kitab-kitab itu berisi riwayat yang baik dan buruk, benar dan salah, sahih dan palsu (dibuat-buat)," katanya.
Menurut Syaikh Yusuf Al-Qardhawi, peradaban agama kita telah tercemar oleh para pengarang semacam ini, yang menerima "kisah-kisah khayalan" dan mengisi lembaran kitab-kitab mereka, meskipun menyalahi riwayat yang sahih dan akal sehat.
Sebagian pengarang tidak memperhatikan kebenaran riwayat dari kisah-kisah ini dengan alasan tidak ada hubungannya dengan penetapan hukum syariat, baik mengenai halal atau haram dan sebagainya. Oleh karena itu, apabila meriwayatkan mengenai halal dan haram, mereka bersikap keras dalam menyelidiki sanad-sanad, mengkritik para rawi dan menyaring riwayat-riwayatnya.
Namun, apabila meriwayatkan tentang amalan-amalan utama, At-Targhib wat-Tarhib, misalnya mukjizat dan sebagainya, mereka pun menyepelekan dan bersikap toleran.
Menurut Syaikh Yusuf Al-Qardhawi, ada pula pengarang yang menyebut riwayat-riwayat dengan sanad-sanadnya - Fulan dari Fulan dari Fulan - tetapi mereka tidak memperhatikan nilai sanad-sanad ini. Apakah sahih atau tidak? Nilai para rawinya, apakah mereka tsiqat (dapat dipercaya), dapat diterima, lemah tercela, atau pendusta tertolak? Mereka beralasan bahwa apabila mereka menyebut sanadnya, maka mereka telah bebas dari tanggung jawab dan terlepas dari ikatan.
Hal itu hanya cocok dan cukup bagi para ulama di zaman-zaman permulaan. Adapun di zaman-zaman belakangan, khususnya di masa kita seperti sekarang ini, maka penyebutan sanad tidaklah berarti apa-apa. Orang-orang hanya mengandalkan penukilan dari kitab-kitab tanpa memandang sanad.
"Ini adalah sikap mayoritas penulis dan pengarang di zaman kita ketika mereka mengutip dari Tarikh Thabari atau Thabaqat Ibnu Sa'ad dan lain-lain," ujarnya.
Menolak yang Berlebihan
Kedua, orang yang berlebihan dalam menolak dan mengingkari mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda alamiah yang nyata. Alasannya dalam hal itu ialah, bahwa mukjizat Nabi Muhammad SAW adalah Al-Qur'anul Karim.
Di dalamnya terdapat tantangan agar orang-orang mendatangkan (membuat) Al-Qur'an seperti itu, sepuluh surat atau cukup satu surat saja yang seperti itu.
Tatkala kaum musyrikin minta dari Rasulullah SAW agar mengeluarkan tanda-tanda alamiah supaya mereka mempercayainya, maka turunlah ayat Al-Qur'an yang menyatakan penolakan tegas terhadap permintaan mereka.
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Qardhawi mengatakan bahwa tidaklah semua mukjizat Rasulullah SAW yang nyata dan tersiar di antara orang-orang merupakan riwayat yang sahih dan benar, dan tidak juga semuanya salah. "Kesahihan dan kesalahan dalam masalah-masalah ini ditentukan oleh sanad-sanad," ujarnya.
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengelompokkan sikap orang dalam masalah mukjizat Nabi Muhammad SAW yang bersifat material, ada tiga macam:
Membenarkan yang Berlebihan
Pertama, orang yang berlebihan dalam membenarkan dan menjadikan sanad dan dalil adalah sesuatu yang tercantum dalam kitab-kitab, apakah itu merupakan kitab ulama periode terdahulu maupun belakangan, yang menyaring riwayat-riwayat atau tidak, yang bersesuaian dengan pokok-pokoknya atau bahkan menyalahinya, dan apakah kitab-kitab itu diterima oleh para ulama peneliti atau tidak.
Yang penting hal itu diriwayatkan dalam sebuah kitab, meskipun tidak diketahui pengarangnya, atau disebutkan dalam sebuah kasidah yang berisi pujian terhadap Nabi SAW, atau dalam kisah Maulid yang sebagiannya dibaca di bulan Rabiul Awwal setiap tahun dan sebagainya.
"Ini pemikiran awam yang tidak perlu dibicarakan. Kitab-kitab itu berisi riwayat yang baik dan buruk, benar dan salah, sahih dan palsu (dibuat-buat)," katanya.
Menurut Syaikh Yusuf Al-Qardhawi, peradaban agama kita telah tercemar oleh para pengarang semacam ini, yang menerima "kisah-kisah khayalan" dan mengisi lembaran kitab-kitab mereka, meskipun menyalahi riwayat yang sahih dan akal sehat.
Sebagian pengarang tidak memperhatikan kebenaran riwayat dari kisah-kisah ini dengan alasan tidak ada hubungannya dengan penetapan hukum syariat, baik mengenai halal atau haram dan sebagainya. Oleh karena itu, apabila meriwayatkan mengenai halal dan haram, mereka bersikap keras dalam menyelidiki sanad-sanad, mengkritik para rawi dan menyaring riwayat-riwayatnya.
Namun, apabila meriwayatkan tentang amalan-amalan utama, At-Targhib wat-Tarhib, misalnya mukjizat dan sebagainya, mereka pun menyepelekan dan bersikap toleran.
Menurut Syaikh Yusuf Al-Qardhawi, ada pula pengarang yang menyebut riwayat-riwayat dengan sanad-sanadnya - Fulan dari Fulan dari Fulan - tetapi mereka tidak memperhatikan nilai sanad-sanad ini. Apakah sahih atau tidak? Nilai para rawinya, apakah mereka tsiqat (dapat dipercaya), dapat diterima, lemah tercela, atau pendusta tertolak? Mereka beralasan bahwa apabila mereka menyebut sanadnya, maka mereka telah bebas dari tanggung jawab dan terlepas dari ikatan.
Hal itu hanya cocok dan cukup bagi para ulama di zaman-zaman permulaan. Adapun di zaman-zaman belakangan, khususnya di masa kita seperti sekarang ini, maka penyebutan sanad tidaklah berarti apa-apa. Orang-orang hanya mengandalkan penukilan dari kitab-kitab tanpa memandang sanad.
"Ini adalah sikap mayoritas penulis dan pengarang di zaman kita ketika mereka mengutip dari Tarikh Thabari atau Thabaqat Ibnu Sa'ad dan lain-lain," ujarnya.
Menolak yang Berlebihan
Kedua, orang yang berlebihan dalam menolak dan mengingkari mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda alamiah yang nyata. Alasannya dalam hal itu ialah, bahwa mukjizat Nabi Muhammad SAW adalah Al-Qur'anul Karim.
Di dalamnya terdapat tantangan agar orang-orang mendatangkan (membuat) Al-Qur'an seperti itu, sepuluh surat atau cukup satu surat saja yang seperti itu.
Tatkala kaum musyrikin minta dari Rasulullah SAW agar mengeluarkan tanda-tanda alamiah supaya mereka mempercayainya, maka turunlah ayat Al-Qur'an yang menyatakan penolakan tegas terhadap permintaan mereka.