Maulid Nabi: Syair Pujian Jalaluddin Rumi kepada Rasulullah SAW
Kamis, 06 Oktober 2022 - 15:52 WIB
Tempat ini bukan milik kita.
Kita harus pindah.
Kesempatan adalah teman kita.
Pengorbanan jiwa adalah tugas kita.
Dan pemimpin kafilah ini adalah Mustafa, Sang Nabi yang jadi kebanggaan alam semesta.
Mustafa, damai dan rahmat Allah baginya, sedemikian mulia hingga bulan pun tak berani menatap wajahnya dan bahkan terbelah.
Wangi angin musim semi berasal dari rambutnya yang dirahmati. Cahaya imajinasi kita datang dari keindahan dirinya, yang mengingatkan kita pada mentari pagi.
Dalam berbagai puisinya, Rumi menyebut Nabi sebagai Ahmad, Muhammad, atau dalam puisi di atas, dia memilih panggilan kehormatan Nabi, Mustafa. Nabi adalah teladan manusia sempurna, dan dalam pemahaman itu pulalah Rumi menulis dalam puisinya sebagai berikut:
Aku adalah pelayan Quran sepanjang ku hidup. Dan aku adalah debu tanah di mana kaki Muhammad menapak.
Hati dan Cinta
Berikut saat Rumi merujuk pada persahabatan Rasulullah SAW dan Abu Bakar untuk menggambarkan hubungan antara hati dan cinta:
Hati dan cinta telah menjadi sahabat, laiknya Ahmad dan Abu Bakar menjadi sahabat di gua itu. Nama dua sahabat ini berbeda, namun ruh mereka sama.
Dalam puisi lain, Rumi menggambarkan betapa cahaya Muhammad menyinari seluruh dunia: "Cahaya Muhammad terbagi jadi jutaan sinar melingkupi seluruh dunia. Nabi layaknya pencerah cahaya-cahaya itu. Saat cahaya itu tiba, segala hijab mereka yang tak percaya pun koyak, dan ribuan pendeta tertarik magnet Muhammad lari ke arahnya."
Rumi juga bicara tentang mereka yang tak beriman yang menurutnya tetap dalam cakupan cahaya Muhammad SAW.
Rumi pun membahas cinta Nabi dalam karya monumentalnya Mastnawi:
Andai bayangan wajah Muhammad terpantul ke sebuah dinding, jantung dinding itu akan berdetak hidup. Dinding itu, berkat pantulan wajah yang terahmati, akan merasakan kebahagiaan tak terkira hingga ia akan tertolong dari kemunafikan. Ia akan merasa malu karena bermuka dua, sedangkan (Muhammad) yang salih dan suci hanya memiliki satu wajah saja.
Masih banyak puisi-puisi Rumi yang mengungkapkan kecintaan dan kekaguman kepada Rasulullah SAW. Ia juga sering menyandingkan puja-puji kepada Nabi dengan uraiannya tentang Al-Quran, risalah yang dijanjikan Allah SWT akan terjaga sepanjang zaman—dan inilah aspek lain, di samping keagungan pribadi Rasulullah SAW yang menurut Rumi menjadi kekuatan Islam.
Kita harus pindah.
Kesempatan adalah teman kita.
Pengorbanan jiwa adalah tugas kita.
Dan pemimpin kafilah ini adalah Mustafa, Sang Nabi yang jadi kebanggaan alam semesta.
Mustafa, damai dan rahmat Allah baginya, sedemikian mulia hingga bulan pun tak berani menatap wajahnya dan bahkan terbelah.
Wangi angin musim semi berasal dari rambutnya yang dirahmati. Cahaya imajinasi kita datang dari keindahan dirinya, yang mengingatkan kita pada mentari pagi.
Dalam berbagai puisinya, Rumi menyebut Nabi sebagai Ahmad, Muhammad, atau dalam puisi di atas, dia memilih panggilan kehormatan Nabi, Mustafa. Nabi adalah teladan manusia sempurna, dan dalam pemahaman itu pulalah Rumi menulis dalam puisinya sebagai berikut:
Aku adalah pelayan Quran sepanjang ku hidup. Dan aku adalah debu tanah di mana kaki Muhammad menapak.
Hati dan Cinta
Berikut saat Rumi merujuk pada persahabatan Rasulullah SAW dan Abu Bakar untuk menggambarkan hubungan antara hati dan cinta:
Hati dan cinta telah menjadi sahabat, laiknya Ahmad dan Abu Bakar menjadi sahabat di gua itu. Nama dua sahabat ini berbeda, namun ruh mereka sama.
Dalam puisi lain, Rumi menggambarkan betapa cahaya Muhammad menyinari seluruh dunia: "Cahaya Muhammad terbagi jadi jutaan sinar melingkupi seluruh dunia. Nabi layaknya pencerah cahaya-cahaya itu. Saat cahaya itu tiba, segala hijab mereka yang tak percaya pun koyak, dan ribuan pendeta tertarik magnet Muhammad lari ke arahnya."
Rumi juga bicara tentang mereka yang tak beriman yang menurutnya tetap dalam cakupan cahaya Muhammad SAW.
Rumi pun membahas cinta Nabi dalam karya monumentalnya Mastnawi:
Andai bayangan wajah Muhammad terpantul ke sebuah dinding, jantung dinding itu akan berdetak hidup. Dinding itu, berkat pantulan wajah yang terahmati, akan merasakan kebahagiaan tak terkira hingga ia akan tertolong dari kemunafikan. Ia akan merasa malu karena bermuka dua, sedangkan (Muhammad) yang salih dan suci hanya memiliki satu wajah saja.
Masih banyak puisi-puisi Rumi yang mengungkapkan kecintaan dan kekaguman kepada Rasulullah SAW. Ia juga sering menyandingkan puja-puji kepada Nabi dengan uraiannya tentang Al-Quran, risalah yang dijanjikan Allah SWT akan terjaga sepanjang zaman—dan inilah aspek lain, di samping keagungan pribadi Rasulullah SAW yang menurut Rumi menjadi kekuatan Islam.
(mhy)