Apakah Sayyid Boleh Menikah dengan Wanita Non Syarifah?

Jum'at, 07 Oktober 2022 - 05:10 WIB
Sayyid Ahmad bin Segaf Baharun, putera kedua Habib Segaf Baharun ketika menikah dengan Syarifah Fatma Fatimah Addibaj binti Abdullah Al-Jufri, putri dari Habib Abdullah Ahmad Al-Jufri Maret 2022 lalu. Foto/dok Dalwa
Apakah Sayyid boleh menikah dengan wanita non Syarifah? Mari simak ulasannya berikut ini.

Sayyid atau Syarif adalah orang yang memiliki nasab mulia keturunan Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam (Ahlu Bait). Di Indonesia lebih populer dengan istilah Habib.

Bagi kalangan perempuan biasanya dipanggil Syarifah atau Sayyidah. Jadi, baik Sayyid dan Syarifah merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW.

Menurut penulis Tafsir Al-Manar, Syaikh Muhammad 'Abduh dalam menafsir Surat Al-An'am ayat 84 menjelaskan, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: "Semua anak Adam bernasab kepada orang tua lelaki (ayah mereka), kecuali anak-anak Fathimah (putri Rasulullah SAW). Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka".

Dari hadis di atas jelaslah bahwa putra-putri Sayyidah Fathimah Azzahra semuanya adalah anggota Ahlul Bait Rasulullah. Hal ini ditegaskan lagi oleh Hadis yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari bahwa Nabi Muhamamd SAW sambil menunjuk kepada dua cucunya, Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu 'anhuma, menyatakan: "Dua orang putraku ini adalah Imam-Imam, baik di saat mereka sedang duduk atau pun sedang berdiri."



Dari merekalah keturunan Nabi Muhammad SAW bertahan hingga saat ini. Untuk menyinambungkan kesucian itu, agar tidak ternodai dengan hal lain, maka Rasulullah SAW mengharamkan keluarga dan anak cucunya mengonsumsi harta harta zakat dan sedekah.

Maka para Sayyid dan Syarifah diwajibkan menikah di antara mereka agar melahirkan regenerasi yang bersih dan terjaga pula. Artinya, Sayyid hanya boleh menikah dengan Syarifah.

Inilah yang disebut dengan istilah kafa'ah atau pernikahan sekufu. Artinya, memiliki kesetaraan (keserasian) laki-laki dengan perempuan dalam nasab, pekerjaan, maupun ketakwaan.

Kafa'ah adalah kewajiban syariat yang diberlakukan untuk seluruh Syarifah di muka bumi tanpa terkecuali. Dalam Kitab Makarim al-Akhlaq terdapat hadits yang berbunyi:

إنما انا بشر مثلكم أتزوّج فيكم وأزوّجكم إلا فاطمة فإن تزويجها نزل من السّماء , ونظر رسول الله إلى أولاد علي وجعفر فقال بناتنا لبنينا وبنونا لبناتنا

Artinya: "Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa yang kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku kepada kalian, kecuali perkawinan anakku Fathimah. Sesungguhnya perkawinan Fathimah adalah perintah yang diturunkan dari langit (ditentukan oleh Allah)."

Kemudian Rasulullah SAW memandang anak-anak Sayyidian Ali dan anak-anak Sayydina Ja'far sembari berkata: "Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki-laki kami, dan anak-anak laki-laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami".

Menurut hadis di atas dipetik kesimpulan: Anak-anak perempuan kami (Syarifah) menikah dengan anak-anak laki kami (Sayyid/Syarif/Habib). Begitu pula sebaliknya anak-anak laki kami (Sayyid/Syarif/Habib) menikah dengan anak-anak perempuan kami (Syarifah).

Berdasarkan hadis ini jelaslah bahwa pelaksanaan kafa'ah dilakukan oleh keluarga Alawiyin didasari oleh perbuatan Rasulullah yang dicontohkannya dalam menikahkan putrinya Fathimah Azzahra radhiyallahu 'anha dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu.

Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyin (keluarga Habaib) menjaga anak putrinya untuk tetap menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai saat ini.

Pernikahan Sayyidah Fathimah dan Sayyidina Ali

Dalam berbagai kitab sejarah diceritakan bahwa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab ingin melamar Sayyidah Fathimah dengan harapan keduanya menjadi menantu Nabi. At-Thabary dalam kitabnya Dzakhairul Uqba mengetengahkan sebuah riwayat bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah meminang Sayyidah Fathimah. Rasulullah SAW kemudian berkata: "Allah belum menurunkan takdir-Nya." Demikian pula jawaban Rasulullah kepada Umar bin Khattab ketika meminang Sayyidah Fathimah.

Mereka mendengar Rasulullah SAW bersabda:

كلّ نسب وصهر ينقطع يوم القيامة إلا نسبي و صهري

Artinya: "Semua hubungan nasab dan shihr (kerabat sebab hubungan perkawinan) akan terputus pada hari Kiamat kecuali nasab dan shihr-ku."

Sebelum pernikahan putri Rasulullah SAW Fathimah dan Ali, Sayyiah Fathimah pernah dilamar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lamaran itu tidak diterima oleh Rasulullah dengan alasan Allah belum menurunkan wahyu-Nya untuk menikahkan Fathimah. Begitu pula dengan lamaran Umar bin Khattab tidak diterima Rasulullah dengan alasan yang sama.

Akan tetapi ketika Ali bin Abi Thalib melamar Fathimah kepada Rasulullah, saat itu juga Rasulullah SAW menerima lamaran Ali bin Abi Thalib sembari berkata: "Selamat wahai Ali, karena Allah telah menikahkanmu dengan putriku Fathimah".

Dalam pernikahan ini ada hikmah dan nilai-nilai yang disampaikan Allah kepada Rasul-Nya berupa hukum kafa'ah (sekufu) dalam perkawinan keluarga Rasulullah. Allah mensyariatkan pernikahan Imam Ali bin Abi Thalib dan Fathimah yang keduanya mempunyai hubungan darah dengan Rasulullah SAW dan mempunyai keutamaan yang tidak dimiliki oleh Abu Bakar dan Umar.

Mereka adalah Ahlul Bait dimana Allah telah menghilangkan dari segala macam kotoran dan membersihkan mereka dengan sesuci-sucinya.

Menurut Mazhab Syafii, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, seorang wanita keturunan Bani Hasyim, tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki dari selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinkannya dengan selain Bani Hasyim, maka mereka itu berdosa.

Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi) menjelaskan, "Dalam perkara kafa'ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak sekufu, apalagi perempuan itu seorang Syarifah maka yang bukan Sayyid tidak boleh menikahinya, sekalipun Syarifah itu dan walinya menyetujuinya."

Keutamaan Sayyidah Fathimah dan Sayyidina Ali

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Sayyidah Fathimah tidak akan menikah seandainya tidak ada Ali. Dan Ali tidak akan menikah seandainya tidak ada Fathimah."

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa sebelum Rasulullah SAW melakukan kewajibannya sebagai suami dengan Khadijah, beliau pergi ke Sidratul Muntaha untuk memakan buah surga sebagai bibit terbaik untuk melahirkan generasi.

Setelah melakukan kewajiban itu maka lahirlah Fathimah. Dan Fathimah adalah satu-satunya makhluk di dunia yang bahan penciptaannya bercampur antara sperma Nabi yang suci, sari buah surga, dan indung telur Khadijah yang mulia.

Hingga setelah itu Fathimah ditakdirkan oleh Allah menjadi manusia suci sebagaiman firman-Nya dalam Al-Qur'an:

وَقَرۡنَ فِىۡ بُيُوۡتِكُنَّ وَلَا تَبَـرَّجۡنَ تَبَرُّجَ الۡجَاهِلِيَّةِ الۡاُوۡلٰى وَاَقِمۡنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيۡنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعۡنَ اللّٰهَ وَرَسُوۡلَهٗ ؕ اِنَّمَا يُرِيۡدُ اللّٰهُ لِيُذۡهِبَ عَنۡكُمُ الرِّجۡسَ اَهۡلَ الۡبَيۡتِ وَيُطَهِّرَكُمۡ تَطۡهِيۡرًا

Artinya: "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (QS. Al-Ahzab ayat 33)

Tidak heran jika Sayyidah Fathimah tidak pernah haidh dan tidak pernah mengalami nifas sepanjang hayatnya.

Sementara Ali bin Abi Thalib dikenal dengan julukan Karramallahu Wajhah yang artinya Allah memuliakan wajahnya. Di antara keutamaan Sayyidina Ali bin Abi Thalib:

1. Beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun.

2. Tidak pernah melihat kemaluan orang lain (termasuk istrinya sendiri) maupun kemaluannya sendiri.

Inilah pernikahan sekufu (kafa'ah) dua sosok manusia mulia di muka bumi. Dari keduanyalah lahir keturunan Nabi Muhammad SAW yang saat ini kita kenal dengan julukan Sayyid, Syarif, Habib, Syarifah/Sayyidah (untuk perempuan).

Wallahu A'lam

(rhs)
Follow
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:  Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat isya' dan shalat subuh.  Sekiranya mereka mengetahui pahala yang ada pada keduanya, pasti mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak.

(HR. Sunan Ibnu Majah No. 789)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More