Apakah Syarifah Boleh Menikah dengan Laki-Laki Non Sayyid?
loading...
A
A
A
Apakah syarifah boleh menikah dengan laki-laki non sayyid? Abdurrahman Ba'alawi di dalam kitabnya "Bughyah al-Murtasyidin" berpendapat bahwa seorang keturunan dari Fatimatuz Zahra hanya dapat menikah dan dinikahi oleh kalangan mereka baik yang dekat maupun yang jauh.
Di dalam kitab ini tidak diperbolehkan adanya perkawinan seorang syarifah dengan laki-laki yang bukan sayyid, meski perempuannya ridha. Hal ini dikarenakan nasab yang mulia tidak bisa dibandingi dengan sembarangan.
Perkawinan seorang sayyid dan syarifah sangatlah bergantung dan berhubungan dengan kafaah karena hal ini bergantung pada nasab, seorang sayyid-syarifah ini adalah keturunan langsung dari Rasulullah SAW yang memiliki kemuliaan nasab. Maka dari itu syarifah harus menikah dengan seorang sayyid yang sekafaah dengannya.
Sayyid menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI adalah suatu gelar yang dipakai untuk sebagian laki-laki Arab sebagai gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW, melalui cucunya, dari Hasan bin Ali dan Husain bin Ali, yang merupakan anak dari anak perempuan Nabi Muhammad SAW, yaitu Fatimah Az-Zahra dan menantunya Ali bin Abi Thalib. Sedangkan yang perempuan disebut syarifah.
Di dalam sebuah perkawinan yaitu adanya suatu kafaah. Kafaah adalah kesepadanan atau kesetaran antara calon suami dan calon isteri, termasuk dari segi agama, keturunan, dan dari segi keilmuannya.
Hanya saja, syarat kafaah ini masih terdapat perbedaan di antara para ulama khususnya terkait kafaah nasab yaitu jika seorang syarifah menikah dengan laki-laki yang non sayyid.
Menurut Mazhab Maliki, perkawinan di antara seorang syarifah dengan non sayyid adalah sah. Mazhab Maliki membolehkan perkawinan ini karena di dalam Mazhab Maliki kafaah hanya dibagi menjadi dua yaitu: agama dan bebas dari aib yang ditentukan oleh perempuan.
Sedangkan menurut Mazhab Syafii tidaklah sah karena dianggap tidak sekufu dalam hal nasab, hal ini juga mengakibatkan putusnya nasab Baginda Rasulullah SAW. Jikapun diperbolehkan maka seorang syarifah harus mendapatkan ridha oleh seluruh walinya, baik itu wali yang terdekat maupun wali yang jauh.
Muhammad bin Abdurrahman dalam bukunya berjudul "Fiqih Empat Madzhab" mengatakan di dalam Mazhab Syafi'i kafaah ialah di antaranya, nasab, agama, kemerdekaan, dan khifah (profesi). Bani Hasyim hanya setara antara sesama mereka sendiri.
Kafaah adalah syarat bagi sahnya suatu perkawinan jika tidak ada kerelaan, namun bila ada kerelaan maka kafaah tidak dijadikan sebagai syarat, dan hal itu juga adalah hak seorang perempuan dan juga walinya bersama-sama.
Ibnu Hajar menyatakan dalam kitab Fathul Bari, yang seharusnya diunggulkan adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib dari keluarga Quraisy yang lain. Sedangkan di luar mereka antara satu sama yang lainnya sebanding.
Sebenarnya tidak begitu ketika Nabi SAW sendiri menikahkan dua putrinya kepada Utsman bin Affan dan menikahkan Zainab putri beliau yang lain kepada Abdul Ash bin Rabi. Kedua menantunya itu berasal dari bani Abdu Syams.
Ali ra menikahkan putrinya, Ummu Kultsum, kepada Umar yang berasal dari bani Adi. Keunggulan ilmu jauh lebih istimewa daripada kemuliaan semua garis keturunan, bahkan semua bentuk kemuliaan titik seorang ulama setara dengan garis keturunan ulama itu sendiri tidak terkenal.
Kasus di Hadramaut
Persoalan apakah syarifah boleh menikah dengan laki-laki non sayyid juga banyak dibahas di Hadramaut. Di sana, seorang syarifah tidak boleh dinikahkan kecuali oleh sayyid.
Argumen mereka juga sama, dalam rangka menjalankan sunnah tentang adanya kesetaraan (kafa'ah) antara kedua calon pengantin, baik itu dari segi agama seperti iffah (keterjagaan dari maksiat), atau hirfah (mata pencaharian), aib nikah, merdeka, maupun nasab.
Ulama Hadramaut sangat memelihara kafa'ah nasab. Lebih-lebih lagi mereka yang bernasab melantas kepada Rasulullah SAW, yang kerap dikenal sebagai ahlu bait Rasulullah SAW.
Mesti kita ketahui, kekangan ini hanya berlaku kepada syarifah yang kepingin menikah dengan non-sayyid. Namun, bila seorang sayyid hendak menikahi non-syarifah, maka akan terlepas dari belenggunya. Sebab, persoalan nasab akan menjalur kepada sang ayah, bukan kepada ibu (kecuali dalam beberapa masalah).
Di dalam kitab ini tidak diperbolehkan adanya perkawinan seorang syarifah dengan laki-laki yang bukan sayyid, meski perempuannya ridha. Hal ini dikarenakan nasab yang mulia tidak bisa dibandingi dengan sembarangan.
Perkawinan seorang sayyid dan syarifah sangatlah bergantung dan berhubungan dengan kafaah karena hal ini bergantung pada nasab, seorang sayyid-syarifah ini adalah keturunan langsung dari Rasulullah SAW yang memiliki kemuliaan nasab. Maka dari itu syarifah harus menikah dengan seorang sayyid yang sekafaah dengannya.
Sayyid menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI adalah suatu gelar yang dipakai untuk sebagian laki-laki Arab sebagai gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW, melalui cucunya, dari Hasan bin Ali dan Husain bin Ali, yang merupakan anak dari anak perempuan Nabi Muhammad SAW, yaitu Fatimah Az-Zahra dan menantunya Ali bin Abi Thalib. Sedangkan yang perempuan disebut syarifah.
Di dalam sebuah perkawinan yaitu adanya suatu kafaah. Kafaah adalah kesepadanan atau kesetaran antara calon suami dan calon isteri, termasuk dari segi agama, keturunan, dan dari segi keilmuannya.
Hanya saja, syarat kafaah ini masih terdapat perbedaan di antara para ulama khususnya terkait kafaah nasab yaitu jika seorang syarifah menikah dengan laki-laki yang non sayyid.
Menurut Mazhab Maliki, perkawinan di antara seorang syarifah dengan non sayyid adalah sah. Mazhab Maliki membolehkan perkawinan ini karena di dalam Mazhab Maliki kafaah hanya dibagi menjadi dua yaitu: agama dan bebas dari aib yang ditentukan oleh perempuan.
Sedangkan menurut Mazhab Syafii tidaklah sah karena dianggap tidak sekufu dalam hal nasab, hal ini juga mengakibatkan putusnya nasab Baginda Rasulullah SAW. Jikapun diperbolehkan maka seorang syarifah harus mendapatkan ridha oleh seluruh walinya, baik itu wali yang terdekat maupun wali yang jauh.
Muhammad bin Abdurrahman dalam bukunya berjudul "Fiqih Empat Madzhab" mengatakan di dalam Mazhab Syafi'i kafaah ialah di antaranya, nasab, agama, kemerdekaan, dan khifah (profesi). Bani Hasyim hanya setara antara sesama mereka sendiri.
Kafaah adalah syarat bagi sahnya suatu perkawinan jika tidak ada kerelaan, namun bila ada kerelaan maka kafaah tidak dijadikan sebagai syarat, dan hal itu juga adalah hak seorang perempuan dan juga walinya bersama-sama.
Ibnu Hajar menyatakan dalam kitab Fathul Bari, yang seharusnya diunggulkan adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib dari keluarga Quraisy yang lain. Sedangkan di luar mereka antara satu sama yang lainnya sebanding.
Sebenarnya tidak begitu ketika Nabi SAW sendiri menikahkan dua putrinya kepada Utsman bin Affan dan menikahkan Zainab putri beliau yang lain kepada Abdul Ash bin Rabi. Kedua menantunya itu berasal dari bani Abdu Syams.
Ali ra menikahkan putrinya, Ummu Kultsum, kepada Umar yang berasal dari bani Adi. Keunggulan ilmu jauh lebih istimewa daripada kemuliaan semua garis keturunan, bahkan semua bentuk kemuliaan titik seorang ulama setara dengan garis keturunan ulama itu sendiri tidak terkenal.
Kasus di Hadramaut
Persoalan apakah syarifah boleh menikah dengan laki-laki non sayyid juga banyak dibahas di Hadramaut. Di sana, seorang syarifah tidak boleh dinikahkan kecuali oleh sayyid.
Argumen mereka juga sama, dalam rangka menjalankan sunnah tentang adanya kesetaraan (kafa'ah) antara kedua calon pengantin, baik itu dari segi agama seperti iffah (keterjagaan dari maksiat), atau hirfah (mata pencaharian), aib nikah, merdeka, maupun nasab.
Ulama Hadramaut sangat memelihara kafa'ah nasab. Lebih-lebih lagi mereka yang bernasab melantas kepada Rasulullah SAW, yang kerap dikenal sebagai ahlu bait Rasulullah SAW.
Mesti kita ketahui, kekangan ini hanya berlaku kepada syarifah yang kepingin menikah dengan non-sayyid. Namun, bila seorang sayyid hendak menikahi non-syarifah, maka akan terlepas dari belenggunya. Sebab, persoalan nasab akan menjalur kepada sang ayah, bukan kepada ibu (kecuali dalam beberapa masalah).