Kisah Raden Fatah: Pendiri Kesultanan Islam Demak Kelahiran Palembang
Rabu, 19 Oktober 2022 - 11:32 WIB
Prabu Brawijaya tahu bahwa istrinya yag hamil telah sampai di Palembang dan melahirkan putra yang tampan, bercahaya seperti bintang, yang dinamai Raden Fatah, yang sangat suka kepada agama. Putri China itu lalu dinikahi oleh Arya Damar. Melahirkan seorang putra yang dinamai Raden Kusen.”
Raden Kusen
Naskah Klenteng Sam Po Kong di Semarang menyebutkan bahwa Jin Bun atau Raden Fatah wafat pada tahun 1518 dalam usia 63 tahun. Itu artinya, waktu kelahiran Raden Fatah, jatuh pada tahun 1455 atau 1456 Masehi.
Setelah Raden Fatah lahir, Arya Damar kemudian menikahi Sui Ban Cin. Dari pernikahan ini kemudian lahirlah seorang putra bernama Raden Kusen, atau bernama Kin San dalam naskah Klenteng Sam Po Kong Semarang.
Dengan demikian, bisa diasumsikan bahwa Raden Fatah sudah menjadi Muslim sejak bayi. Adapun madrasah pertamanya, tidak lain adalah ibunya sendiri. Selanjutnya, urusan pendidikan Raden Fatah sepenuhnya merujuk pada ayah tirinya, yaitu Arya Damar.
Raden Fatah tinggal dan dididik oleh Arya Damar sekitar 15 tahun, yaitu dari tahun 1456 sampai 1471. Dalam kurun waktu tersebut, Raden Fatah tidak hanya belajar ilmu agama, tapi juga ilmu pemerintahan kepada Arya Damar.
Raden Fatah mendapat didikan langsung dari sosok yang memiliki kedalaman ilmu agama di satu sisi, dan kemampuan memerintah di sisi lain. Bisa dimaklumi bila di kemudian hari, Raden Fatah terlihat demikian tangkas dalam memanjat struktur sosial dan politik di tengah masyarakat. Hingga akhirnya berhasil mendirikan sebuah kekuatan politik baru nan mandiri, yang dikenal sebagai Kesultanan Demak.
Tapi setelah sudah cukup dewasa, terjadi perdebatan sengit antara Raden Fatah dengan Arya Damar mengenai sebuah topik keilmuan, yang membuat Raden Fatah memutuskan pergi dari Palembang dan hijrah ke Pulau Jawa.
Agus Sunyoto mengutip salah satu babak cerita dalam Serat Kadaning Ringgit Purwa yang mengisahkan sebab kepergian Raden Fatah dari Palembang, sebagai berikut:
“Sudah dewasa keduanya (Raden Fatah dan Raden Kusen). Raden Fatah bertukar pandangan dengan sang kakak, Arya Damar, memperbincangkan ilmu (agama). Arya Damar memiliki dasar ilmu Buddha (Hindu-Buddha) dan Raden Fatah memiliki dasar ilmu Islam. Lalu pergilah Raden Fatah. Mengasingkan diri (uzlah) ke Gunung Sumirang, gunung di seberang sungai. Puasa mutih. Yang disantap hanya Yang Mahakuasa. Berhasrat untuk menegakkan agama yang mulia. Karena malu di hati telah disalahkan oleh Arya Damar dalam perbincangan ilmu.
Putra Arya Damar, Raden Kusen, enggan ikut ayahnya. Kemana pun Raden Fatah pergi, Raden Kusen selalu ikut. Ketika Raden Fatah pergi bertapa (Uzlah) di gunung, Raden Kusen menyusul. Raden Fatah meminta agar Raden Kusen pulang, karena perjalanan yang akan dilakukan sangat berat, akan pergi ke Jawa. Namun, Raden Kusen telah menyatakan tekad, hidup dan matinya akan diabdikan kepada Raden Fatah. Lalu mereka berdua pergi mengembara keluar dan masuk hutan, melangkah sepanjang tepian sungai, lupa makan dan lupa tidur, sampai mereka berdua berada di pinggir laut.”
Menolak Menggantikan Ayahnya.
Agus Sunyoto mengasumsikan bahwa perdebatan tersebut terkait dengan pokok-pokok ajaran agama Islam. Karena Raden Fatah merasakan ketidakpuasan mendapat pelajaran agama dari Arya Damar yang masih mengikuti nilai-nilai agama lama. Padahal, ketika itu, kebutuhan Raden Fatah akan pendalaman ilmu-ilmu keislaman terasa kian mendesak. Dia butuh pemecahannya.
Berbeda dengan yang dituturkan oleh Serat Kadaning Ringgit Purwa, menurut Babad Tanah Jawi, alasan kepergian Raden Fatah dan Raden Kusen dari Palembang, karena mereka tidak mau menggantikan posisi ayahnya sebagai Adipati Palembang.
Bisa jadi, alasan penolakan itu karena Raden Fatah masih ingin menimba banyak ilmu. Sebab sebagaimana dikatakan Agus Sunyoto, semakin dewasa, kebutuhan Raden Fatah akan ilmu kian bertambah. Dia butuh pemuasannya.
Maka pergilah Raden Fatah dari negeri Palembang ditemani oleh adik tirinya, Raden Kusen. Dalam pengembaraannya mencari ilmu, Raden Fatah dan Raden Kusen dikisahkan sampai ke pinggir laut dan berjumpa dengan seorang pelaut China yang membawa mereka berdua ke Jawa dengan kapalnya.
Menurut naskah Klenteng Sam Po Kong di Semarang, dalam perjalanannya, Raden Fatah sempat singgah dulu di Semarang dan sholat di dalam masjid. Dia meratap ketika melihat di dalam masjid ada patung Sam Po Kong.
Dia berdoa, mudah-mudahan kelak ketika dia mampu mendirikan masjid, tempat itu tidak akan berubah menjadi klenteng sepeninggalnya. Setelah dari Semarang, Raden Fatah dan Raden Kusen terus berjalan lagi, hingga tiba di Surabaya.
Raden Kusen
Naskah Klenteng Sam Po Kong di Semarang menyebutkan bahwa Jin Bun atau Raden Fatah wafat pada tahun 1518 dalam usia 63 tahun. Itu artinya, waktu kelahiran Raden Fatah, jatuh pada tahun 1455 atau 1456 Masehi.
Setelah Raden Fatah lahir, Arya Damar kemudian menikahi Sui Ban Cin. Dari pernikahan ini kemudian lahirlah seorang putra bernama Raden Kusen, atau bernama Kin San dalam naskah Klenteng Sam Po Kong Semarang.
Dengan demikian, bisa diasumsikan bahwa Raden Fatah sudah menjadi Muslim sejak bayi. Adapun madrasah pertamanya, tidak lain adalah ibunya sendiri. Selanjutnya, urusan pendidikan Raden Fatah sepenuhnya merujuk pada ayah tirinya, yaitu Arya Damar.
Raden Fatah tinggal dan dididik oleh Arya Damar sekitar 15 tahun, yaitu dari tahun 1456 sampai 1471. Dalam kurun waktu tersebut, Raden Fatah tidak hanya belajar ilmu agama, tapi juga ilmu pemerintahan kepada Arya Damar.
Raden Fatah mendapat didikan langsung dari sosok yang memiliki kedalaman ilmu agama di satu sisi, dan kemampuan memerintah di sisi lain. Bisa dimaklumi bila di kemudian hari, Raden Fatah terlihat demikian tangkas dalam memanjat struktur sosial dan politik di tengah masyarakat. Hingga akhirnya berhasil mendirikan sebuah kekuatan politik baru nan mandiri, yang dikenal sebagai Kesultanan Demak.
Tapi setelah sudah cukup dewasa, terjadi perdebatan sengit antara Raden Fatah dengan Arya Damar mengenai sebuah topik keilmuan, yang membuat Raden Fatah memutuskan pergi dari Palembang dan hijrah ke Pulau Jawa.
Agus Sunyoto mengutip salah satu babak cerita dalam Serat Kadaning Ringgit Purwa yang mengisahkan sebab kepergian Raden Fatah dari Palembang, sebagai berikut:
“Sudah dewasa keduanya (Raden Fatah dan Raden Kusen). Raden Fatah bertukar pandangan dengan sang kakak, Arya Damar, memperbincangkan ilmu (agama). Arya Damar memiliki dasar ilmu Buddha (Hindu-Buddha) dan Raden Fatah memiliki dasar ilmu Islam. Lalu pergilah Raden Fatah. Mengasingkan diri (uzlah) ke Gunung Sumirang, gunung di seberang sungai. Puasa mutih. Yang disantap hanya Yang Mahakuasa. Berhasrat untuk menegakkan agama yang mulia. Karena malu di hati telah disalahkan oleh Arya Damar dalam perbincangan ilmu.
Putra Arya Damar, Raden Kusen, enggan ikut ayahnya. Kemana pun Raden Fatah pergi, Raden Kusen selalu ikut. Ketika Raden Fatah pergi bertapa (Uzlah) di gunung, Raden Kusen menyusul. Raden Fatah meminta agar Raden Kusen pulang, karena perjalanan yang akan dilakukan sangat berat, akan pergi ke Jawa. Namun, Raden Kusen telah menyatakan tekad, hidup dan matinya akan diabdikan kepada Raden Fatah. Lalu mereka berdua pergi mengembara keluar dan masuk hutan, melangkah sepanjang tepian sungai, lupa makan dan lupa tidur, sampai mereka berdua berada di pinggir laut.”
Menolak Menggantikan Ayahnya.
Agus Sunyoto mengasumsikan bahwa perdebatan tersebut terkait dengan pokok-pokok ajaran agama Islam. Karena Raden Fatah merasakan ketidakpuasan mendapat pelajaran agama dari Arya Damar yang masih mengikuti nilai-nilai agama lama. Padahal, ketika itu, kebutuhan Raden Fatah akan pendalaman ilmu-ilmu keislaman terasa kian mendesak. Dia butuh pemecahannya.
Berbeda dengan yang dituturkan oleh Serat Kadaning Ringgit Purwa, menurut Babad Tanah Jawi, alasan kepergian Raden Fatah dan Raden Kusen dari Palembang, karena mereka tidak mau menggantikan posisi ayahnya sebagai Adipati Palembang.
Bisa jadi, alasan penolakan itu karena Raden Fatah masih ingin menimba banyak ilmu. Sebab sebagaimana dikatakan Agus Sunyoto, semakin dewasa, kebutuhan Raden Fatah akan ilmu kian bertambah. Dia butuh pemuasannya.
Maka pergilah Raden Fatah dari negeri Palembang ditemani oleh adik tirinya, Raden Kusen. Dalam pengembaraannya mencari ilmu, Raden Fatah dan Raden Kusen dikisahkan sampai ke pinggir laut dan berjumpa dengan seorang pelaut China yang membawa mereka berdua ke Jawa dengan kapalnya.
Menurut naskah Klenteng Sam Po Kong di Semarang, dalam perjalanannya, Raden Fatah sempat singgah dulu di Semarang dan sholat di dalam masjid. Dia meratap ketika melihat di dalam masjid ada patung Sam Po Kong.
Dia berdoa, mudah-mudahan kelak ketika dia mampu mendirikan masjid, tempat itu tidak akan berubah menjadi klenteng sepeninggalnya. Setelah dari Semarang, Raden Fatah dan Raden Kusen terus berjalan lagi, hingga tiba di Surabaya.