Kisah Raden Fatah: Pendiri Kesultanan Islam Demak Kelahiran Palembang
Rabu, 19 Oktober 2022 - 11:32 WIB
Di Surabaya, mereka berdua dihadapkan ke Sunan Ampel guna menyampaikan keinginan untuk berguru Agama Islam. Raden Fatah dan Raden Kusen kemudian diterima menjadi murid oleh Sunan Ampel. Bahkan, Raden Fatah kemudian dinikahkan dengan putri Sunan Ampel yang bernama Dewi Murthosimah dan Raden Kusen dinikahkan dengan cucu Sunan Ampel yang bernama Nyai Willis.
Glagah Wangi
Demikianlah, kabar putra dan cucu raja Majapahit asal Palembang yang berguru kepada Sunan Ampel itu tersiar sampai ibu kota dan dilaporkan pada Raja Majapahit.
Menerima laporan itu, Prabu Brawijaya kemudian mengundang Raden Kusen, cucunya ke Istana. Sewaktu datang memenuhi undangan ke Istana, di hadapan raja, Raden Kusen menyatakan keinginannya untuk mengabdi kepada raja, yang tidak lain adalah kakeknya.
Dia bersedia mempersembahkan jiwa dan raga untuk raja. Prabu Brawijaya berkenan dengan cucunya itu. Keinginan Raden Kusen untuk mengabdi pun diterima dengan sukacita. Lalu Prabu Brawijaya mengangkatnya menjadi seorang adipati, sang pancathanda di negeri Terung.
Setelah Raden Kusen menjadi adipati di Terung, Sunan Ampel memerintahkan Raden Fatah untuk membuka pedukuhan (desa) baru dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat di sekitar pedukuhan tersebut. Sunan Ampel memerintahkan Raden Fatah berjalan ke arah barat sampai Glagah Wangi dan membuka dukuh di situ.
Konon, daerah Glagahwangi ini dulunya adalah sebuah wilayah yang kosong. Lokasinya berada di dalam sebuah hutan yang dikenal sebagai Hutan Bintoro. Di hutan ini terdapat tanaman glagah yang berbau harum. Itulah mengapa daerah Bintoro dulu juga disebut sebagai kawasan Glagah Wangi.
Di tempat inilah Raden Fatah membangun basis dakwah pertamanya. Dalam waktu cepat, seruannya mendapat sambutan yang luas. Orang-orang banyak berdatangan dan berguru padanya.
Lembu Sora
Namun, di sana ada bupati yang berkuasa, dan menghalangi kegiatan dakwah menyebarkan agama Islam. Menurut Sedjarah Banten, sebagaimana dikutip Agus Sunyoto, karena merasa khawatir dengan progresifitas dakwah yang dilakukan oleh Raden Fatah, bupati yang bernama Lembu Sora itu mengadukan hal ini pada Prabu Brawijaya.
Tak lama kemudian Raden Fatah dipanggil oleh raja ke Istana. Tapi bukannya dihukum, Raden Fatah malah diangkat menjadi salah satu dari pejabat Tandha yang berada di bawah koordinasi Lembu Sora.
Besar kemungkinan, setelah diangkat menjadi pejabat negara ini, Raden Fatah pindah ke Demak. Di tempat itu, dakwahnya kian bersinar dan pendukungnya kian banyak.
Pada satu titik, eskalasi ketegangan antara Lembu Sora dengan Raden Fatah mencapai puncaknya, sehingga pecah perang di antara keduanya. Dalam perang tersebut, Lembu Sora terbunuh, dan tampuk pimpinan berhasil diambil oleh Raden Fatah.
Menurut Agus Sunyoto, kisah perebutan kekuasaan antara Raden Fatah dengan Lembu Sora inilah yang dikacaukan dengan cerita perebutan tahta Majapahit oleh Raden Fatah.
Padahal, peristiwa perselisihan antara Majapahit dengan Demak, terjadi di era pemerintahan Sultan Trenggana – yang ditandai serangan laskar-laskar Islam ke Majapahit di bawah pimpinan Sunan Ngundung dan dilanjutkan oleh Sunan Kudus – terjadi pada tahun 1447 dan 1449 Saka atau 1525 dan 1527 M, jauh setelah Raden Fatah mangkat.
Setelah Lembu Sora terbunuh dalam peperangan, Raden Fatah mengangkat putra Lembu Sora bernama Lembu Peteng sebagai anaknya. Kemudian, Raden Fatah menggabungkan kekuasaan Demak dan Bintoro menjadi satu, sehingga dikenal kemudian dengan nama Demak-Bintoro.
Menurut Babad Tanah Jawi, setelah berkuasa, Raden Fatah menggunakan gelar “Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.”
Glagah Wangi
Demikianlah, kabar putra dan cucu raja Majapahit asal Palembang yang berguru kepada Sunan Ampel itu tersiar sampai ibu kota dan dilaporkan pada Raja Majapahit.
Menerima laporan itu, Prabu Brawijaya kemudian mengundang Raden Kusen, cucunya ke Istana. Sewaktu datang memenuhi undangan ke Istana, di hadapan raja, Raden Kusen menyatakan keinginannya untuk mengabdi kepada raja, yang tidak lain adalah kakeknya.
Dia bersedia mempersembahkan jiwa dan raga untuk raja. Prabu Brawijaya berkenan dengan cucunya itu. Keinginan Raden Kusen untuk mengabdi pun diterima dengan sukacita. Lalu Prabu Brawijaya mengangkatnya menjadi seorang adipati, sang pancathanda di negeri Terung.
Setelah Raden Kusen menjadi adipati di Terung, Sunan Ampel memerintahkan Raden Fatah untuk membuka pedukuhan (desa) baru dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat di sekitar pedukuhan tersebut. Sunan Ampel memerintahkan Raden Fatah berjalan ke arah barat sampai Glagah Wangi dan membuka dukuh di situ.
Konon, daerah Glagahwangi ini dulunya adalah sebuah wilayah yang kosong. Lokasinya berada di dalam sebuah hutan yang dikenal sebagai Hutan Bintoro. Di hutan ini terdapat tanaman glagah yang berbau harum. Itulah mengapa daerah Bintoro dulu juga disebut sebagai kawasan Glagah Wangi.
Di tempat inilah Raden Fatah membangun basis dakwah pertamanya. Dalam waktu cepat, seruannya mendapat sambutan yang luas. Orang-orang banyak berdatangan dan berguru padanya.
Lembu Sora
Namun, di sana ada bupati yang berkuasa, dan menghalangi kegiatan dakwah menyebarkan agama Islam. Menurut Sedjarah Banten, sebagaimana dikutip Agus Sunyoto, karena merasa khawatir dengan progresifitas dakwah yang dilakukan oleh Raden Fatah, bupati yang bernama Lembu Sora itu mengadukan hal ini pada Prabu Brawijaya.
Tak lama kemudian Raden Fatah dipanggil oleh raja ke Istana. Tapi bukannya dihukum, Raden Fatah malah diangkat menjadi salah satu dari pejabat Tandha yang berada di bawah koordinasi Lembu Sora.
Besar kemungkinan, setelah diangkat menjadi pejabat negara ini, Raden Fatah pindah ke Demak. Di tempat itu, dakwahnya kian bersinar dan pendukungnya kian banyak.
Pada satu titik, eskalasi ketegangan antara Lembu Sora dengan Raden Fatah mencapai puncaknya, sehingga pecah perang di antara keduanya. Dalam perang tersebut, Lembu Sora terbunuh, dan tampuk pimpinan berhasil diambil oleh Raden Fatah.
Menurut Agus Sunyoto, kisah perebutan kekuasaan antara Raden Fatah dengan Lembu Sora inilah yang dikacaukan dengan cerita perebutan tahta Majapahit oleh Raden Fatah.
Padahal, peristiwa perselisihan antara Majapahit dengan Demak, terjadi di era pemerintahan Sultan Trenggana – yang ditandai serangan laskar-laskar Islam ke Majapahit di bawah pimpinan Sunan Ngundung dan dilanjutkan oleh Sunan Kudus – terjadi pada tahun 1447 dan 1449 Saka atau 1525 dan 1527 M, jauh setelah Raden Fatah mangkat.
Setelah Lembu Sora terbunuh dalam peperangan, Raden Fatah mengangkat putra Lembu Sora bernama Lembu Peteng sebagai anaknya. Kemudian, Raden Fatah menggabungkan kekuasaan Demak dan Bintoro menjadi satu, sehingga dikenal kemudian dengan nama Demak-Bintoro.
Menurut Babad Tanah Jawi, setelah berkuasa, Raden Fatah menggunakan gelar “Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.”
Lihat Juga :