Kisah Hikmah : Belajar Sabar dari Siti Hajar!
Minggu, 27 November 2022 - 11:02 WIB
Kehadiran Siti Hajar dalam kehidupan Nabi Ibrahim Alaihissalam, berkat istri pertamanya Sarah. Sarah yang namanya disebutkan ddi alam Al-Qur'an agar sejarah hidupnya menjadi teladan tertinggi bagi seluruh wanita di seluruh zaman dan tempat, panutan di semua sifat mulia yang menjadikannya kebahagiaan dalam taat kepada Allah sebagai simbol kehidupan rumah tangga.
Lantas, apa hubungannya dengan Siti Hajar ? Siti Hajar pada awalnya merupakan budak yang membantu Sarah, istri Nabi Ibrahim Alaihissalam. Ia didatangkan dari tanah Kan’an untuk menemani Nabi Ibrahim, dalam perjalanan panjang dari Mesir menuju Makkah. Pada saat itu, Sarah belum juga hamil sementara ia sudah semakin menua. Cintanya kepada suami membuatnya berpikir untuk bisa memberikan seorang anak laki-laki sebagai penerus perjuangan.
Karena alasan ini pula, Sarah meminta kepada Siti Hajar untuk menjadi madunya, menikah dengan suaminya. Ia ingin Siti Hajar bisa memberikan seorang putra kepada Nabi Ibrahim. Apalagi ia juga sering merasakan suaminya sangat rindu untuk memeluk seorang anak.
Dari berbagai sumber yang ada disebutkan bahwa Siti Hajar adalah wanita yang kulitnya berbulu, memakai celak, rambutnya keriting, cantik, berbahasa Arab dan berketurunan Arab. Hajar juga seorang wanita cerdas, kepribadiannya bening dan bersinar, serta sangat pemalu.
Namun, Sarah tetaplah seorang perempuan yang memendam cemburu. Dan, ketika Siti Hajar, madunya, melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail, Sarah pun diliputi rasa cemburu itu. Ia pun berjanji tidak akan mau tinggal dengan Hajar dan anaknya dalam satu atap.
Kemudian pada waktu itu datanglah perintah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Ibrahim agar membawa istri keduanya, Siti Hajar , dan bayinya, Ismail, ke tanah Makkah. Maka, mereka pun berangkat untuk menempuh perjalanan jauh. Ibrahim dan istrinya bergantian menggendong bayi yang baru lahir hingga tiba di tanah Makkah.
Pada waktu itu Makkah sangat tandus. Tak ada pohon, tidak ada air, dan sepi dari manusia. Saat itu mereka melihat ada bukit berwarna merah, di atasnya terdapat bekas rumah tua dari dahan-dahan kayu yang sudah mengering. Juga ada bekas kantong air penampung hujan. Di sanalah, seperti diriwayatkan dua sejarawan terkenal, al Thabari dan Ibnu al Atsir , Nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hajar dan bayinya Ismail.
Siti Hajar pun merengek sambil menangis agar suaminya tidak meninggalkan dia dan bayinya di tempat sepi dan menyeramkan itu. Namun, Nabi Ibrahim tak peduli. ‘’Kemana engkau akan pergi dan meninggalkan kami di padang pasir yang tidak ada manusia dan bahkan kehidupan ini? Apakah Allah yang memerintahkan kamu wahai suamiku?’’Siti Hajar bertanya kepada suaminya.
Tanpa menengok lagi kepada istrinya, Nabi Ibrahim pun menjawab singkat, ‘’Iya!’’
Tak ada lain yang bisa diperbuat Siti Hajar . Akhirnya ia pun berkata lirih penuh penyerahan diri kepada Allah Ta'ala, ‘’Kalau begitu, Tuhan pasti tidak akan membiarkan kami.’’
Siti Hajar tampaknya yakin betul dengan janji Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dalam diam, tanpa melihat lagi suaminya, ia pun menengadahkan wajahnya ke langit dan berdoa.
Sementara itu, dari kejauhan Nabi Ibrahim pun melakukan hal yang sama, menatap langit dengan mengangkat kedua tangannya dan berdoa, ‘’Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.’’ (QS Ibrahim: 37).
Menurut Muhammad Ali Sabouni dalam bukunya 'an Nubuwah wal Ambiya', sepeninggal Nabi Ibrahim, Siti Hajar hanya bisa pasrah. Ia merasa terhibur manakala melihat wajah bayinya yang manis dan memancarkan kasih sayang.
Pada awalnya ia tidak merasakan kesepian. Ia tidak menyadari kerasnya kehidupan di tengah lembah sunyi dan bukit bebatuan, hingga akhirnya ia kehabisan perbekalan hidup. Apalagi si kecil pun mulai kehausan dan kelaparan.Si ibu mulai panik. Air susunya pun sudah kering. Sedangkan si bayi terus menangis kelaparan dan kehausan.
Siti Hajar tampak bingung bagaimana mencari air. Dalam kebingungannya ia lari ke atas bukit dan melihat ke bawah. Ia melihat sebuah bukit lain, yang kemudian dikenal dengan Shafa, tampak dekat. Ia pun menuju bukit itu, barangkali melihat seseorang atau menemukan makanan dan minuman. Namun, ia tidak mendapatkan apa-apa.
Dari bukit Shafa, ia melihat bukit lain tampak dekat. Bukit itu kemudian dikenal Marwa. Ia pun berjalan menuju ke sana dan tidak mendapatkan bekas-bekas kehidupan. Ia berusaha bolak-balik di antara dua bukit itu hingga tujuh kali. Berusaha dalam bahasa Arab disebut sa’a. Dari kata inilah istilah sa’i diambil.
Setelah tujuh kali bolak-balik Shafa-Marwa, Siti Hajar pun kelelahan dan putus asa. Ia akhirnya ambruk di samping bayinya.Hatinya tercabik-cabik menunggu nasib. Ia berserah diri secara total. Beberapa waktu kemudian ia bangun. Ia kumpulkan sisa tenaganya untuk melihat bayinya yang mungkin sudah meninggal dunia. Namun, tidak. ‘’Aku tidak melihat isyarat kematian anakku,’’ katanya lirih.
Demikianlah, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus Malaikat Jibril, dan dengan kedua sayapnya menyentuh tanah, sehingga muncul mata air yang mengalirkan kehidupan. Siti Hajar pun bangkit dengan sepenuh tenaga dan lupa apa yang baru ia alami. Ia segera mengambil air itu dan meminumkannya kepada bayinya, Ismail.
Kepada mata air itu, ia mengatakan, ‘’Zumi, zumi!’’ Air dan mata air itu kemudian dikenal sebagai Zam Zam, yang memberi kehidupan di tengah padang pasir tandus dan bukit bebatuan. Makkah yang berkemajuan kini pun sebenarnya berawal dari kisah perempuan ini.
Tidak lama kemudian, datang kafilah dagang dalam perjalanan menuju Syam (Suriah). Mereka melihat seekor burung terbang di atas lembah itu. Seorang di antara mereka berkata, burung itu menandakan ada air di bawahnya. Lalu mereka mengutus seseorang untuk menyelidiki kemungkinan ada mata air. Orang itu pun kembali dengan kabar gembira.
Pada waktu itu, Siti Hajar dan anaknya tinggal di dekat air Zam Zam, . Mereka, kafilah dagang itu, lantas minta izin kepada Siti Hajar untuk bisa tinggal di sekitar sumur itu. Kata mereka kepada Hajar, ‘’Kalau Anda mengizinkan, kami ingin hidup bersama Anda. Kalau Anda tolak, kami akan pergi. Air ini adalah milikmu.’’
Hajar lalu mengizinkan mereka tinggal di sekitar Zam Zam, dan bersama-sama hidup dari air itu. Ismail tumbuh di tengah-tengah mereka di dekat Bait al Atiq (Rumah Tuhan/Ka’bah). Termasuk belajar bahasa Arab dan menunggang kuda. Dan, ketika Ismail sudah tumbuh menjadi pemuda, datanglah ayahnya, Nabi Ibrahim, menceritakan mimpinya.
‘’Maka tatkala anak itu (Ismail) sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu’. Ia (Ismail) menjawab, ’Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ (QS As Shaaffaat: 102).
Maka, terjadikah kisah yang mengharukan itu, yang kemudian menjadi dasar perintah korban kepada umat Islam setiap Idul Adha. Lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada Ibrahim dan Ismail untuk meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah (QS Al Baqarah: 127) dan mensucikannya untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud (QS Al Baqarah 125).
Siti Hajar meninggal dunia pada usia 90 tahun. Putranya, Nabi Ismail Allaihissalam, memakamkannya di samping Rumah Allah, Ka’bah. Itulah Hajar, istri Nabi Ibrahim Alalihissalam dan ibunda Nabi Ismail. Allah Azza wa Jalla menakdirkan Siti Hajar dikebumikan di tempat suci, di tanah suci yang tidak dikunjungi kecuali oleh jiwa-jiwa yang suci. Di tempat yang di dalamnya tidak ada ucapan yang tidak bermanfaat dan dosa. Di Tempat yang dipenuhi orang-orang yang thawaf, berdiri, ruku dan sujud. Di Tempat yang dibangun suami dan anaknya atas perintah Allah Ta'ala.
Sepanjang hari demi hari, tahun demi tahun dan sejarah demi sejarah, manusia ingat akan Hajar, kesabaran dan kesetiaannya.
Wallahu A'lam
Lantas, apa hubungannya dengan Siti Hajar ? Siti Hajar pada awalnya merupakan budak yang membantu Sarah, istri Nabi Ibrahim Alaihissalam. Ia didatangkan dari tanah Kan’an untuk menemani Nabi Ibrahim, dalam perjalanan panjang dari Mesir menuju Makkah. Pada saat itu, Sarah belum juga hamil sementara ia sudah semakin menua. Cintanya kepada suami membuatnya berpikir untuk bisa memberikan seorang anak laki-laki sebagai penerus perjuangan.
Karena alasan ini pula, Sarah meminta kepada Siti Hajar untuk menjadi madunya, menikah dengan suaminya. Ia ingin Siti Hajar bisa memberikan seorang putra kepada Nabi Ibrahim. Apalagi ia juga sering merasakan suaminya sangat rindu untuk memeluk seorang anak.
Dari berbagai sumber yang ada disebutkan bahwa Siti Hajar adalah wanita yang kulitnya berbulu, memakai celak, rambutnya keriting, cantik, berbahasa Arab dan berketurunan Arab. Hajar juga seorang wanita cerdas, kepribadiannya bening dan bersinar, serta sangat pemalu.
Namun, Sarah tetaplah seorang perempuan yang memendam cemburu. Dan, ketika Siti Hajar, madunya, melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail, Sarah pun diliputi rasa cemburu itu. Ia pun berjanji tidak akan mau tinggal dengan Hajar dan anaknya dalam satu atap.
Kemudian pada waktu itu datanglah perintah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Ibrahim agar membawa istri keduanya, Siti Hajar , dan bayinya, Ismail, ke tanah Makkah. Maka, mereka pun berangkat untuk menempuh perjalanan jauh. Ibrahim dan istrinya bergantian menggendong bayi yang baru lahir hingga tiba di tanah Makkah.
Pada waktu itu Makkah sangat tandus. Tak ada pohon, tidak ada air, dan sepi dari manusia. Saat itu mereka melihat ada bukit berwarna merah, di atasnya terdapat bekas rumah tua dari dahan-dahan kayu yang sudah mengering. Juga ada bekas kantong air penampung hujan. Di sanalah, seperti diriwayatkan dua sejarawan terkenal, al Thabari dan Ibnu al Atsir , Nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hajar dan bayinya Ismail.
Siti Hajar pun merengek sambil menangis agar suaminya tidak meninggalkan dia dan bayinya di tempat sepi dan menyeramkan itu. Namun, Nabi Ibrahim tak peduli. ‘’Kemana engkau akan pergi dan meninggalkan kami di padang pasir yang tidak ada manusia dan bahkan kehidupan ini? Apakah Allah yang memerintahkan kamu wahai suamiku?’’Siti Hajar bertanya kepada suaminya.
Tanpa menengok lagi kepada istrinya, Nabi Ibrahim pun menjawab singkat, ‘’Iya!’’
Tak ada lain yang bisa diperbuat Siti Hajar . Akhirnya ia pun berkata lirih penuh penyerahan diri kepada Allah Ta'ala, ‘’Kalau begitu, Tuhan pasti tidak akan membiarkan kami.’’
Siti Hajar tampaknya yakin betul dengan janji Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dalam diam, tanpa melihat lagi suaminya, ia pun menengadahkan wajahnya ke langit dan berdoa.
Sementara itu, dari kejauhan Nabi Ibrahim pun melakukan hal yang sama, menatap langit dengan mengangkat kedua tangannya dan berdoa, ‘’Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.’’ (QS Ibrahim: 37).
Menurut Muhammad Ali Sabouni dalam bukunya 'an Nubuwah wal Ambiya', sepeninggal Nabi Ibrahim, Siti Hajar hanya bisa pasrah. Ia merasa terhibur manakala melihat wajah bayinya yang manis dan memancarkan kasih sayang.
Pada awalnya ia tidak merasakan kesepian. Ia tidak menyadari kerasnya kehidupan di tengah lembah sunyi dan bukit bebatuan, hingga akhirnya ia kehabisan perbekalan hidup. Apalagi si kecil pun mulai kehausan dan kelaparan.Si ibu mulai panik. Air susunya pun sudah kering. Sedangkan si bayi terus menangis kelaparan dan kehausan.
Siti Hajar tampak bingung bagaimana mencari air. Dalam kebingungannya ia lari ke atas bukit dan melihat ke bawah. Ia melihat sebuah bukit lain, yang kemudian dikenal dengan Shafa, tampak dekat. Ia pun menuju bukit itu, barangkali melihat seseorang atau menemukan makanan dan minuman. Namun, ia tidak mendapatkan apa-apa.
Dari bukit Shafa, ia melihat bukit lain tampak dekat. Bukit itu kemudian dikenal Marwa. Ia pun berjalan menuju ke sana dan tidak mendapatkan bekas-bekas kehidupan. Ia berusaha bolak-balik di antara dua bukit itu hingga tujuh kali. Berusaha dalam bahasa Arab disebut sa’a. Dari kata inilah istilah sa’i diambil.
Setelah tujuh kali bolak-balik Shafa-Marwa, Siti Hajar pun kelelahan dan putus asa. Ia akhirnya ambruk di samping bayinya.Hatinya tercabik-cabik menunggu nasib. Ia berserah diri secara total. Beberapa waktu kemudian ia bangun. Ia kumpulkan sisa tenaganya untuk melihat bayinya yang mungkin sudah meninggal dunia. Namun, tidak. ‘’Aku tidak melihat isyarat kematian anakku,’’ katanya lirih.
Demikianlah, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus Malaikat Jibril, dan dengan kedua sayapnya menyentuh tanah, sehingga muncul mata air yang mengalirkan kehidupan. Siti Hajar pun bangkit dengan sepenuh tenaga dan lupa apa yang baru ia alami. Ia segera mengambil air itu dan meminumkannya kepada bayinya, Ismail.
Kepada mata air itu, ia mengatakan, ‘’Zumi, zumi!’’ Air dan mata air itu kemudian dikenal sebagai Zam Zam, yang memberi kehidupan di tengah padang pasir tandus dan bukit bebatuan. Makkah yang berkemajuan kini pun sebenarnya berawal dari kisah perempuan ini.
Tidak lama kemudian, datang kafilah dagang dalam perjalanan menuju Syam (Suriah). Mereka melihat seekor burung terbang di atas lembah itu. Seorang di antara mereka berkata, burung itu menandakan ada air di bawahnya. Lalu mereka mengutus seseorang untuk menyelidiki kemungkinan ada mata air. Orang itu pun kembali dengan kabar gembira.
Pada waktu itu, Siti Hajar dan anaknya tinggal di dekat air Zam Zam, . Mereka, kafilah dagang itu, lantas minta izin kepada Siti Hajar untuk bisa tinggal di sekitar sumur itu. Kata mereka kepada Hajar, ‘’Kalau Anda mengizinkan, kami ingin hidup bersama Anda. Kalau Anda tolak, kami akan pergi. Air ini adalah milikmu.’’
Hajar lalu mengizinkan mereka tinggal di sekitar Zam Zam, dan bersama-sama hidup dari air itu. Ismail tumbuh di tengah-tengah mereka di dekat Bait al Atiq (Rumah Tuhan/Ka’bah). Termasuk belajar bahasa Arab dan menunggang kuda. Dan, ketika Ismail sudah tumbuh menjadi pemuda, datanglah ayahnya, Nabi Ibrahim, menceritakan mimpinya.
‘’Maka tatkala anak itu (Ismail) sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu’. Ia (Ismail) menjawab, ’Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ (QS As Shaaffaat: 102).
Maka, terjadikah kisah yang mengharukan itu, yang kemudian menjadi dasar perintah korban kepada umat Islam setiap Idul Adha. Lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada Ibrahim dan Ismail untuk meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah (QS Al Baqarah: 127) dan mensucikannya untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud (QS Al Baqarah 125).
Siti Hajar meninggal dunia pada usia 90 tahun. Putranya, Nabi Ismail Allaihissalam, memakamkannya di samping Rumah Allah, Ka’bah. Itulah Hajar, istri Nabi Ibrahim Alalihissalam dan ibunda Nabi Ismail. Allah Azza wa Jalla menakdirkan Siti Hajar dikebumikan di tempat suci, di tanah suci yang tidak dikunjungi kecuali oleh jiwa-jiwa yang suci. Di tempat yang di dalamnya tidak ada ucapan yang tidak bermanfaat dan dosa. Di Tempat yang dipenuhi orang-orang yang thawaf, berdiri, ruku dan sujud. Di Tempat yang dibangun suami dan anaknya atas perintah Allah Ta'ala.
Sepanjang hari demi hari, tahun demi tahun dan sejarah demi sejarah, manusia ingat akan Hajar, kesabaran dan kesetiaannya.
Wallahu A'lam
(wid)