Kasus Beda Pendapat soal Fiqih yang Terjadi di Era Sahabat
Selasa, 29 November 2022 - 08:12 WIB
Beda pendapat soal fiqih sudah terjadi sejak zaman Sahabat Nabi SAW . Salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat itu adalah prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW . Sementara itu, setelah Rasulullah wafat, putuslah masa tasyi'.
Ada satu riwayat yang menyebutkan adanya beda pendapat tersebut. Ini terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab . Pada suatu ketika, seorang laki-laki datang menemui Umar bin Khattab: "Saya dalam keadaan junub dan tidak ada air." Maksud kedatangannya untuk menanyakan apakah ia harus sholat atau tidak.
Umar menjawab, "Jangan sholat sampai engkau mendapatkan air." Ammar bin Yasir berkata pada Umar bin Khattab: "Tidakkah Anda ingat. Dulu --engkau dan aku-- pernah berada dalam perjalanan. Kita dalam keadaan junub. Engkau tidak sholat, sedangkan aku berguling-guling di atas tanah. Aku sampaikan kejadian ini kepada Rasulullah SAW. Dan Nabi berkata, cukuplah bagi kamu berbuat demikian."
Mendengar demikian Umar menegur 'Ammar: "Ya Ammar, takutlah pada Allah", Kata Ammar, "Ya Amir al-Mu'minin, jika engkau inginkan, aku tidak akan menceritakan hadits ini selama engkau hidup."
Riwayat ini dihimpun berdasarkan hadits Bukhari, Muslim, al-Nasai, Ahmad Abu Dawud, Ibn Majah, Ibn Hajar al-Asqalani. Lihat: Fath al-Bari, 1:443 al-Maktabah al-Salafiyah.
"Yang dimaksud Ammar," kata Ibn Hajar dalam kitab Fath al-Bari, "Aku melihat memang lebih baik tidak meriwayatkan hadis ini ketimbang meriwayatkannya. Aku setuju denganmu, dan menahan diriku. Toh, aku sudah menyampaikannya, sehingga aku tidak bersalah."
Sejak itu, Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi. Umar tetap berpegang teguh pada pendapatnya -- orang junub, bila tidak ada air, tidak perlu sholat. "Wa hadza madzab masyhuran Umar," kata Ibn Hajar.
Semua sahabat menolak pendapat Umar, kecuali Abdullah bin Mas'ud. Al-Bukhari mencatat perdebatan Abdullah bin Mas'ud dengan Abu Musa al-Asy'ari tentang kasus ini pada hadis No. 247.
Abu Musa menentang pendapat Abdullah --sekaligus madzhab Umar-- dengan mengutip ayat ("jika kalian tak mendapatkan air hendaklah tayamum dengan tanah yang baik"). Menarik untuk dicatat bahwa kelak dengan merujuk ayat yang sama, mazhab Hanafi melanjutkan mazhab Umar.
Jalaluddin Rakhmat dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" mengatakan lebih menarik lagi untuk kita catat adalah beberapa pelajaran dari riwayat di atas.
Pertama, memang terjadi perbedaan paham di antara sahabat dalam masalah fiqhiyah. Kedua, lewat kekuasaan, Umar menghendaki pembakuan paham dan mengeliminasi pendapat yang berlainan. Ketiga, terlihat ada sikap hiperkritis dalam menerima atau menyampaikan riwayat. Dan keempat, perbedaan di antara para sahabat berpengaruh besar pada ikhtilaf kaum Muslim pada abad-abad berikutnya.
Contoh lain beda pendapat itu adalah tatkala Umar pernah melarang hajji tamattu', padahal al-Qur'an dan al-Sunnah sangat tegas menetapkannya. Ketika Utsman bin Affan juga melarangnya, Ali bin Abi Thalib secara demonstratif melakukannya di depan Utsman.
"Aku melarang manusia melakukan tamattu, dan engkau sendiri melakukannya," ujar Utsman bin Affan.
Ali menjawab: "Aku tak akan meninggalkan sunnah Rasulullah SAW hanya karena pendapat seseorang."
Kisah ini diriwatkan dalam Shahih al-Bukhari, 3:69; Sunan al-Nasa'i, 5:148; Sunan al-Baihaqi, 4:352 dan 5:22; lihat juga Shahih Muslim, 1:349.
Setelah perdebatan ini, menurut riwayat lain dari Abdullah bin Zubair, Utsman berkata: "Sesungguhnya laranganku itu hanya ra'yuku saja. Siapa yang mau boleh menjalankannya; siapa yang tak mau boleh meninggalkannya."
Contoh lainnya adalah hukuman dera bagi peminum khamr. Rasulullah SAW menderanya 40 kali. Abu Dawud 2:242; Shahih Muslim 2:52; Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra 8:318; Kanz al-Ummal 3:102.)
Umar bin Khattab --atas saran Abdal-Rahman bin Auf menderanya 80 kali. Ali bin Abi Thalib kembali menderanya 40 kali.
Selanjutnya, Rasulullah SAW menetapkan thalaq tiga dalam satu majlis itu dihitung satu. Hal ini diriwayatkan dalam Shahih Muslim 1:574; Musnad Ahmad 1:314; Sunan al-Baihaqi 7:336; al-hakim 2:196; al-Dar al-Mantsur 1:279. Namun Umar bin Khattab menetapkan thalaq tiga itu jatuh tiga sekaligus.
Contoh lainnya, Umar memutuskan hukuman rajam bagi orang gila yang berzina. Ali membebaskan hukum itu berdasarkan hadis Nabi SAW sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud 2:227; Ibn Majah 2:227, al-Hakim dalam al-Mubarak 2:59 dan 4:389; al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra 8:264; Taysir al-Wushul 2:5; Fath al-Bari 12:101; Umdat al-Qari 11:151; Irsayad al-Sari 10:9. Bukhari meriwayatkan hadits ini tetapi dengan tidak lengkap, pada Kitab Al-Muharibin.
Jalaluddin Rakhmat menjelaskan contoh-contoh kasus tersebut berkenaan dengan perbedaan antara ketetapan nash dengan ra'yu.
Ada satu riwayat yang menyebutkan adanya beda pendapat tersebut. Ini terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab . Pada suatu ketika, seorang laki-laki datang menemui Umar bin Khattab: "Saya dalam keadaan junub dan tidak ada air." Maksud kedatangannya untuk menanyakan apakah ia harus sholat atau tidak.
Umar menjawab, "Jangan sholat sampai engkau mendapatkan air." Ammar bin Yasir berkata pada Umar bin Khattab: "Tidakkah Anda ingat. Dulu --engkau dan aku-- pernah berada dalam perjalanan. Kita dalam keadaan junub. Engkau tidak sholat, sedangkan aku berguling-guling di atas tanah. Aku sampaikan kejadian ini kepada Rasulullah SAW. Dan Nabi berkata, cukuplah bagi kamu berbuat demikian."
Mendengar demikian Umar menegur 'Ammar: "Ya Ammar, takutlah pada Allah", Kata Ammar, "Ya Amir al-Mu'minin, jika engkau inginkan, aku tidak akan menceritakan hadits ini selama engkau hidup."
Riwayat ini dihimpun berdasarkan hadits Bukhari, Muslim, al-Nasai, Ahmad Abu Dawud, Ibn Majah, Ibn Hajar al-Asqalani. Lihat: Fath al-Bari, 1:443 al-Maktabah al-Salafiyah.
"Yang dimaksud Ammar," kata Ibn Hajar dalam kitab Fath al-Bari, "Aku melihat memang lebih baik tidak meriwayatkan hadis ini ketimbang meriwayatkannya. Aku setuju denganmu, dan menahan diriku. Toh, aku sudah menyampaikannya, sehingga aku tidak bersalah."
Sejak itu, Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi. Umar tetap berpegang teguh pada pendapatnya -- orang junub, bila tidak ada air, tidak perlu sholat. "Wa hadza madzab masyhuran Umar," kata Ibn Hajar.
Semua sahabat menolak pendapat Umar, kecuali Abdullah bin Mas'ud. Al-Bukhari mencatat perdebatan Abdullah bin Mas'ud dengan Abu Musa al-Asy'ari tentang kasus ini pada hadis No. 247.
Abu Musa menentang pendapat Abdullah --sekaligus madzhab Umar-- dengan mengutip ayat ("jika kalian tak mendapatkan air hendaklah tayamum dengan tanah yang baik"). Menarik untuk dicatat bahwa kelak dengan merujuk ayat yang sama, mazhab Hanafi melanjutkan mazhab Umar.
Jalaluddin Rakhmat dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" mengatakan lebih menarik lagi untuk kita catat adalah beberapa pelajaran dari riwayat di atas.
Pertama, memang terjadi perbedaan paham di antara sahabat dalam masalah fiqhiyah. Kedua, lewat kekuasaan, Umar menghendaki pembakuan paham dan mengeliminasi pendapat yang berlainan. Ketiga, terlihat ada sikap hiperkritis dalam menerima atau menyampaikan riwayat. Dan keempat, perbedaan di antara para sahabat berpengaruh besar pada ikhtilaf kaum Muslim pada abad-abad berikutnya.
Contoh lain beda pendapat itu adalah tatkala Umar pernah melarang hajji tamattu', padahal al-Qur'an dan al-Sunnah sangat tegas menetapkannya. Ketika Utsman bin Affan juga melarangnya, Ali bin Abi Thalib secara demonstratif melakukannya di depan Utsman.
"Aku melarang manusia melakukan tamattu, dan engkau sendiri melakukannya," ujar Utsman bin Affan.
Ali menjawab: "Aku tak akan meninggalkan sunnah Rasulullah SAW hanya karena pendapat seseorang."
Kisah ini diriwatkan dalam Shahih al-Bukhari, 3:69; Sunan al-Nasa'i, 5:148; Sunan al-Baihaqi, 4:352 dan 5:22; lihat juga Shahih Muslim, 1:349.
Setelah perdebatan ini, menurut riwayat lain dari Abdullah bin Zubair, Utsman berkata: "Sesungguhnya laranganku itu hanya ra'yuku saja. Siapa yang mau boleh menjalankannya; siapa yang tak mau boleh meninggalkannya."
Contoh lainnya adalah hukuman dera bagi peminum khamr. Rasulullah SAW menderanya 40 kali. Abu Dawud 2:242; Shahih Muslim 2:52; Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra 8:318; Kanz al-Ummal 3:102.)
Umar bin Khattab --atas saran Abdal-Rahman bin Auf menderanya 80 kali. Ali bin Abi Thalib kembali menderanya 40 kali.
Selanjutnya, Rasulullah SAW menetapkan thalaq tiga dalam satu majlis itu dihitung satu. Hal ini diriwayatkan dalam Shahih Muslim 1:574; Musnad Ahmad 1:314; Sunan al-Baihaqi 7:336; al-hakim 2:196; al-Dar al-Mantsur 1:279. Namun Umar bin Khattab menetapkan thalaq tiga itu jatuh tiga sekaligus.
Contoh lainnya, Umar memutuskan hukuman rajam bagi orang gila yang berzina. Ali membebaskan hukum itu berdasarkan hadis Nabi SAW sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud 2:227; Ibn Majah 2:227, al-Hakim dalam al-Mubarak 2:59 dan 4:389; al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra 8:264; Taysir al-Wushul 2:5; Fath al-Bari 12:101; Umdat al-Qari 11:151; Irsayad al-Sari 10:9. Bukhari meriwayatkan hadits ini tetapi dengan tidak lengkap, pada Kitab Al-Muharibin.
Jalaluddin Rakhmat menjelaskan contoh-contoh kasus tersebut berkenaan dengan perbedaan antara ketetapan nash dengan ra'yu.
(mhy)