Kisah Mualaf Amerika Idris Diaz Pergi Haji Dibiayai Orang Yahudi
Sabtu, 03 Desember 2022 - 19:06 WIB
Sebagaimana berjuta-juta jemaah haji sebelum kami, kelompok saya mengadakan perjalanan bersama melewati hari-hari dalam sebuah tenda dari kain terpal bergaris-garis hitam-puitih.
Kami duduk di atas permadani Timur Tengah yang terhampar di atas tanah. Selama hari itu, di padang Arafat, para jamaah berdoa, melagukan dan membaca Al-Quran mereka.
Di luar, suhu mendekati 110 derajat, dan orang-orang yang memberanikan diri keluar melindungi kepala mereka dengan payung berwarna putih. Di dalam tenda saya, para jamaah membagikan buah-buahan, keju dan kurma, dan menyisip air dari botol, yang persediaannya terbatas.
Saya merasakan semacam perasaan bersalah. Saya melihat orang-orang yang telah menabung seumur hidupnya dan benar-benar berjuang untuk pergi haji. Allah telah memberikan semua ini pada saya dengan begitu mudah. Saya merasa tidak berguna. Apa yang harus saya lakukan agar terbebas dari perasaan ini?
Salah satu pelajaran yang saya dapatkan adalah bahwa Tuhan bekerja dalam cara yang misterius. Ketika sarapan pagi, kami berdiskusi panjang lebar tentang politik. Beberapa orang di antaranya benar-benar anti-Yahudi.
Saya berkata, "Wah, orang yang membiayai perjalanan haji saya ini orang Yahudi; bagaimana mungkin saya bermasalah dengan orang Yahudi? Bukankah Al-Quran mengajarkan bahwa banyak orang baik juga agama-agama lain?"
Orang-orang itu sebenarnya lebih banyak mengetahui Islam daripada saya, tetapi saya pikir mereka menyadari bahwa saya benar. Itu merupakan pelajaran yang jelas bagi mereka tentang toleransi, dan itulah yang tersirat dalam haji.
Anda harus dapat berada di tempat yang benar pada saat yang tepat, mengambil arah yang tepat untuk sampai ke tempat tertentu. Itu sangat, sangat jelas, dan sering kali perinciannya sedikit berlawanan. Saya ingat ketika bersama dengan kelompok-kelompok orang yang berdebat sampai ke hal-hal yang rinci tentang bagaimana melaksanakan rukun haji yang berikutnya.
Saya berkata, "Saya di sini untuk melaksanakan ibadah haji saya. Saya datang ke sini dengan pikiran yang baik. Saya akan menuruti segala yang engkau katakan pada saya dengan jujur, dan saya berharap semoga Allah menerimanya, tetapi saya tidak akan duduk di sini dan berdebat tentang hal-hal kecil seperti ini."
Hal itu tidak mengubah apa pun bagi mereka. Mereka terus saja berdebat tentang masalah tersebut.
Bagi para jamaah, melempar jumrah di Mina mengandung arti penolakan setan dan pengukuhan kembali keimanan kepada Allah... ketika saya masuk ke dalam kerumunan orang yang telah berkumpul di dekat jumrah itu, saya berpikir tentang ayat-ayat dalam Al-Quran yang menggambarkan Hari Pembalasan sebagai peristiwa yang menyeramkan, saat di mana cakrawala akan diluluhlantakkan dan manusia akan tercebur ke dalam kengerian yang luar biasa.
Tampaknya dengan setiap batu yang mereka lemparkan, para jamaah di Mina berusaha uuntuuk menjaga jarak sejauh mungkin antara diri mereka dan kengerian Hari Pembalasan. Ketika saya bergerak menuju jumrah yang pertama, kerikil beterbangan tak beraturan. Bagian belakang kepala saya dan bagian samping wajah saya terkena lemyaran. Ekspresi orang-orang dalam kerumunan itu menggeser perasaan saya dari bahagia kepada kengerian, dan para wanita memegang erat anak-anak mereka, banyak di antaranya yang berteriak ketakutan.
Ketika saya kembali [ke Amerika], kedua orang tua saya telah meninggal. Haji benar-benar mengarahkan pikiran Anda ke kematian. Salah satu hal yang dikatakan kaum Sufi adalah bahwa Anda harus berpikir tentang kematian setiap saat dalam kehidupan Anda.
Saya berada di Masjid Agung di Makkah. Ka'bah berjarak sekitar 200 yard, dan saya sedang melakukan shalat. Ada sebuah hadis yang mengatakan ketika Anda sedang melaksanakan ibadah haji setiap shalat yang Anda lakukan akan memperbaiki seribu shalat yang ternoda. Jadi saya melakukannya dengan khusyu'. [Tertawa.]
Tempat itu begitu penuh sesak! Anda sulit sekali bergerak. Anda melakukan shalat di tempat yang hanya seluas tubuh Anda, berusaha untuk melakukan sujud di sela-sela mereka.
Suatu saat saya berdiri memandang Ka'bah. Sebuah perasaan tiba-tiba menyergap saya. Saya berkata kepada Allah, "Hidup ini milik-Mu! Ambillah. Ke mana pun Engkau menginginkannya, aku akan ikut. Aku milik-Mu! Datang dan bawalah aku pergi!"
Orang-orang mendesak saya dari berbagai arah, dan saya terdorong tak berdaya maju-mundur. Tak ada daya untuk melawan arus. Para jamaah sering kali diperingatkan untuk melupakan segala sesuatu yang mungkin terjatuh selama melakukan thawaf, karena untuk menunduk dalam kerumunan massa itu berisiko tinggi, bisa terinjak-injak. Ketika saya berjalan mengelilingi Ka'bah tanpa alas kaki, saya banyak menjumpai sandal, tas atau barang-barang lain milik para jamaah yang tercecer.
Ketika kembali, saya dihadapkan kepada editor yang lebih senior. Dia seorang Kristen. Dia sangat peka terhadap proyek itu, dan benar-benar membantu saya menuangkan pengalaman tersebut ke atas kertas. Dia berbicara pada saya melalui artikel tersebut.
Kami duduk di atas permadani Timur Tengah yang terhampar di atas tanah. Selama hari itu, di padang Arafat, para jamaah berdoa, melagukan dan membaca Al-Quran mereka.
Di luar, suhu mendekati 110 derajat, dan orang-orang yang memberanikan diri keluar melindungi kepala mereka dengan payung berwarna putih. Di dalam tenda saya, para jamaah membagikan buah-buahan, keju dan kurma, dan menyisip air dari botol, yang persediaannya terbatas.
Saya merasakan semacam perasaan bersalah. Saya melihat orang-orang yang telah menabung seumur hidupnya dan benar-benar berjuang untuk pergi haji. Allah telah memberikan semua ini pada saya dengan begitu mudah. Saya merasa tidak berguna. Apa yang harus saya lakukan agar terbebas dari perasaan ini?
Salah satu pelajaran yang saya dapatkan adalah bahwa Tuhan bekerja dalam cara yang misterius. Ketika sarapan pagi, kami berdiskusi panjang lebar tentang politik. Beberapa orang di antaranya benar-benar anti-Yahudi.
Saya berkata, "Wah, orang yang membiayai perjalanan haji saya ini orang Yahudi; bagaimana mungkin saya bermasalah dengan orang Yahudi? Bukankah Al-Quran mengajarkan bahwa banyak orang baik juga agama-agama lain?"
Orang-orang itu sebenarnya lebih banyak mengetahui Islam daripada saya, tetapi saya pikir mereka menyadari bahwa saya benar. Itu merupakan pelajaran yang jelas bagi mereka tentang toleransi, dan itulah yang tersirat dalam haji.
Anda harus dapat berada di tempat yang benar pada saat yang tepat, mengambil arah yang tepat untuk sampai ke tempat tertentu. Itu sangat, sangat jelas, dan sering kali perinciannya sedikit berlawanan. Saya ingat ketika bersama dengan kelompok-kelompok orang yang berdebat sampai ke hal-hal yang rinci tentang bagaimana melaksanakan rukun haji yang berikutnya.
Saya berkata, "Saya di sini untuk melaksanakan ibadah haji saya. Saya datang ke sini dengan pikiran yang baik. Saya akan menuruti segala yang engkau katakan pada saya dengan jujur, dan saya berharap semoga Allah menerimanya, tetapi saya tidak akan duduk di sini dan berdebat tentang hal-hal kecil seperti ini."
Hal itu tidak mengubah apa pun bagi mereka. Mereka terus saja berdebat tentang masalah tersebut.
Bagi para jamaah, melempar jumrah di Mina mengandung arti penolakan setan dan pengukuhan kembali keimanan kepada Allah... ketika saya masuk ke dalam kerumunan orang yang telah berkumpul di dekat jumrah itu, saya berpikir tentang ayat-ayat dalam Al-Quran yang menggambarkan Hari Pembalasan sebagai peristiwa yang menyeramkan, saat di mana cakrawala akan diluluhlantakkan dan manusia akan tercebur ke dalam kengerian yang luar biasa.
Tampaknya dengan setiap batu yang mereka lemparkan, para jamaah di Mina berusaha uuntuuk menjaga jarak sejauh mungkin antara diri mereka dan kengerian Hari Pembalasan. Ketika saya bergerak menuju jumrah yang pertama, kerikil beterbangan tak beraturan. Bagian belakang kepala saya dan bagian samping wajah saya terkena lemyaran. Ekspresi orang-orang dalam kerumunan itu menggeser perasaan saya dari bahagia kepada kengerian, dan para wanita memegang erat anak-anak mereka, banyak di antaranya yang berteriak ketakutan.
Ketika saya kembali [ke Amerika], kedua orang tua saya telah meninggal. Haji benar-benar mengarahkan pikiran Anda ke kematian. Salah satu hal yang dikatakan kaum Sufi adalah bahwa Anda harus berpikir tentang kematian setiap saat dalam kehidupan Anda.
Saya berada di Masjid Agung di Makkah. Ka'bah berjarak sekitar 200 yard, dan saya sedang melakukan shalat. Ada sebuah hadis yang mengatakan ketika Anda sedang melaksanakan ibadah haji setiap shalat yang Anda lakukan akan memperbaiki seribu shalat yang ternoda. Jadi saya melakukannya dengan khusyu'. [Tertawa.]
Tempat itu begitu penuh sesak! Anda sulit sekali bergerak. Anda melakukan shalat di tempat yang hanya seluas tubuh Anda, berusaha untuk melakukan sujud di sela-sela mereka.
Suatu saat saya berdiri memandang Ka'bah. Sebuah perasaan tiba-tiba menyergap saya. Saya berkata kepada Allah, "Hidup ini milik-Mu! Ambillah. Ke mana pun Engkau menginginkannya, aku akan ikut. Aku milik-Mu! Datang dan bawalah aku pergi!"
Orang-orang mendesak saya dari berbagai arah, dan saya terdorong tak berdaya maju-mundur. Tak ada daya untuk melawan arus. Para jamaah sering kali diperingatkan untuk melupakan segala sesuatu yang mungkin terjatuh selama melakukan thawaf, karena untuk menunduk dalam kerumunan massa itu berisiko tinggi, bisa terinjak-injak. Ketika saya berjalan mengelilingi Ka'bah tanpa alas kaki, saya banyak menjumpai sandal, tas atau barang-barang lain milik para jamaah yang tercecer.
Ketika kembali, saya dihadapkan kepada editor yang lebih senior. Dia seorang Kristen. Dia sangat peka terhadap proyek itu, dan benar-benar membantu saya menuangkan pengalaman tersebut ke atas kertas. Dia berbicara pada saya melalui artikel tersebut.