Mualaf Yahudi Muhammad Asad Bicara tentang Pentingnya Hadis
Kamis, 08 Desember 2022 - 16:29 WIB
Mualaf Yahudi , Muhammad Asad yang sebelum masuk Islam bernama Leopold Weiss (23 Juli 1900 – 20 Februari 1992), mengingatkan pentingnya kembali kepada al-Quran dan Hadis . Menurutnya, slogan mari kembali kepada al-Quran, tetapi tidak mengikuti sunnah menunjukkan ketidaktahuan kita tentang Islam.
"Orang-orang yang berkata demikian menyerupai orang yang hendak masuk ke satu istana tetapi tidak hendak menggunakan kunci yang asli, satu-satunya kunci yang cocok untuk membuka pintu itu" ujarnya dalam bukunya berjudul "Islam at the Crossroads" yang diterjemahkan M. Hashem menjadi "Islam di Simpang Jalan" (YAPI, Surabaya, 1967).
Sekadar mengingatkan Muhammad Asad adalah seorang cendekiawan muslim, mantan Duta Besar Pakistan untuk Perserikatan Bangsa Bangsa, dan penulis beberapa buku tentang Islam termasuk salah satu tafsir Al Qur'an modern yakni The Message of the Qur'an.
Muhammad Asad terlahir sebagai Leopold Weiss pada tahun 1900 di kota Lemberg, saat itu bagian dari Kekaisaran Austria-Hongaria (sekarang bernama Lviv dan terletak di Ukraina) dalam lingkungan keluarga Yahudi. Keluarganya secara turun-temurun adalah rabbi (pemuka agama Yahudi) kecuali ayahnya yang menjadi seorang pengacara.
Pendidikan agama yang ia enyam selama masa kecil hingga mudanya menjadikan ia familiar dengan bahasa Aram, Kitab Perjanjian Lama serta teks-teks maupun tafsir dari Talmud, Mishna, Gemara dan Targum.
Dalam bukunya itu, Muhammad Asad mengingatkan hadis Nabi SAW adalah catatan turun-temurun tentang ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Nabi yang dilaporkan dan disalurkan oleh sahabat-sahabat beliau dan dikumpulkan dengan kritis dalam abad-abad pertama Islam.
"Banyak orang Muslimin modern berpaham bahwa mereka akan sedia mengikuti Sunnah, tetapi mereka berpendapat bahwa mereka tidak dapat bersandar pada tubuh Hadis di mana Sunnah itu terletak. Telah menjadi mode dalam zaman kita untuk secara prinsip menolak keaslian Hadits dan oleh karena itu menolak seluruh struktur Sunnah," katanya.
Orang sering berpikir bahwa lawan-lawan pikiran orthodoks akan sanggup mengemukakan argumen-argumen yang sesungguhnya meyakinkan yang akan mengukuhkan, sekali untuk selamanya, tentang pendapat bahwa hadis-hadis yang dikatakan berasal dari Nabi tidak dapat dijadikan sandaran.
"Tetapi tidaklah demikian halnya," kata Muhammad Asad. "Walau telah dipergunakan segala jalan untuk menantang keaslian Hadis sebagai satu badan, oleh kritikus-kritikus modern dari Timur dan dari Barat, tetapi mereka tidak mampu menopang kritik mereka yang bersifat temperamental melulu dengan hasil penelitian ilmiah."
Malah lebih sulit berbuat demikian karena penyusun-penyusun kumpulan Hadis dahulu, terutama Imam Bukhari dan Imam Muslim, telah melakukan segala apa yang mungkin dapat dilakukan manusia untuk menempatkan keaslian setiap Hadis pada ujian yang paling keras --ujian yang jauh lebih keras dari yang biasa dilakukan ahli-ahli sejarah Barat terhadap suatu dokumen historik.
Cabang sejarah dari penegetahuan ini berhasil dalam menegakkan satu rantai tak terputus dari riwayat hidup mendetail dari pribadi-pribadi yang pernah disebut oleh perawi-perawi Hadis.
Kehidupan orang-orang laki-laki dan perempuan telah diselidiki dengan sempurna dari segala segi pandangan, dan hanya orang-orang yang telah diterima sebagai orang-orang yang terpercaya, yang jalan hidup mereka dan cara mereka menyalurkan Hadits, sempurna memenuhi standar yang ditentukan oleh muhadditsuun terkenal dan dipercayai sebagai paling tepat yang dapat dipikirkan.
Oleh karena itu apabila sekarang seseorang hendak menyangkal akan keaslian satu Hadis tertentu atau keseluruhan sistemnya, maka tugas untuk membuktikan ketidaktepatannya jatuh pada orang itu sendiri.
Secara ilmiah sama sekali tidak dibenarkan untuk menyangkal kebenaran suatu sumber historik, kecuali apabila ia mampu membuktikan bahwa sumber itu bercela.
Apabila tidak ada argumen yang dapat diterima, yaitu apabila tidak dapat diperoleh argumen ilmiah untuk menentang sumber itu sendiri atau terhadap salah satu atau lebih dari musnad-musnadnya, dan apabila sebaliknya tidak ada laporan bertentangan tentang hal itu, maka kita harus menerima kebenaran Hadis itu.
Bayangkan umpamanya apabila orang berbicara tentang peperangan-peperangan Mahmud dan Ghasna di India lalu anda bangkit dan berkata: "Saya tidak percaya bahwa Mahmud pernah datang ke India. Itu dongengan tanpa dasar sejarah!"
Apa yang akan terjadi dalam hal seperti itu? Seseorang yang mengenal sejarah segera akan berusaha memperbaiki kekeliruan anda dan akan mengutip catatan-catatan sejarah yang didasarkan pada laporan-laporan orang yang hidup di zaman itu tentang sultan yang termasyhur itu, sebagai bukti definitif dari fakta bahwa Mahmud pernah di India.
Dalam hal ini anda harus menerima bukti itu --atau anda akan dipandang sebagai orang sakit yang tanpa alasan yang terang menolak fakta-fakta sejarah yang kuat. Kalau demikian halnya maka orang akan bertanya-diri: mengapa kritikus-kritikus modern ini tidak mengemukakan pemikiran jujur yang logis yang sama seperti itu pada masalah Hadis?
Dasar pertama akan palsunya Hadis berarti telah terjadi kebohongan yang disengaja pada pihak sumber pertama, yaitu yang bersangkutan dengan para sahabat, atau penyalur-penyalur kemudian. Tentang para sahabat, kemungkinan semacam itu dapat dikecualikan secara apriori.
Hanya diperlukan tinjauan psikologik ke dalam masalah ini untuk menyingkirkan anggapan-anggapan semacam itu ke dalam wilayah khayal melulu.
Kesan cemerlang yang telah dipancarkan pribadi Nabi pada orang-orang laki-laki dan perempuan di sekitarnya adalah satu fakta menonjol dari sejarah ummat manusia; lagi pula hal itu terdokumentasi dengan baik sekali oleh sejarah.
Dapatkah diterima bahwa orang-orang yang siap sedia mengorbankan diri mereka dan segala yang mereka miliki apabila dikehendaki Rasulullah akan memainkan tipu daya dengan kata-kata beliau?
Nabi telah berkata: "Barangsiapa dengan sengaja berbohong tentang saya akan tersedialah tempatnya di neraka". (Shahih Bukhari, Sunan Abi Da'ud, Jami' at-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi, Musnad Ibn Hambal).
Ini diketahui para sahabat; secara mendalam mereka percaya akan kata-kata Nabi yang mereka pandang sebagai juru bicara dari Allah SWT; dan mungkinkah dari segi pandangan psikologi bahwa mereka akan mengabaikan perintah yang sangat tegas ini?
Dalam proses peradilan pidana, pertanyaan pertama yang menantang hakim adalah cui bono --demi keuntungan siapa-- kejahatan itu mungkin dilakukan?
Prinsip hukum ini dapat dipergunakan juga bagi masalah Hadis. Kecuali hadis-hadis yang langsung berhubungan dengan tuntutan-tuntutan politik dari berbagai partai dalam abad pertama sesudah wafatnya Nabi, tidak akan ada alasan untuk "mengambil keuntungan" bagi seseorang individu untuk mengatakan bahwa kata-kata Nabi itu palsu.
Justru karena pertimbangan kemungkinan kalau-kalau Hadis diada-adakan untuk sesuatu tujuan individual maka kedua sarjana yang paling berwenang tentang Hadis, Bukhari dan Muslim, dengan sangat keras telah mengesampingkan segala hadis-hadis yang berhubungan dengan politik kepartaian dari kumpulan-kumpulan hadis mereka. Yang tertinggal adalah di luar prasangka akan memberikan keuntungan peribadi pada siapapun.
Ada satu argumen di mana keaslian Hadis dapat ditantang. Dapat dimengerti bahwa baik sahabat yang mendengarnya dari Nabi sendiri atau seseorang dari perawi-perawi kemudian --sementara ia benar secara subyektif-- telah melakukan sesuatu kekeliruan karena salah pengertian tentang kata-kata Nabi itu, atau suatu kekeliruan ingatan, atau sesuatu sebab psikologik lain.
Tetapi bukti internal, yaitu bukti-bukti psikologik, berbicara menentang setiap kemungkinan besar dari kekeliruan semacam itu, sekurang-kurangnya pada pihak para sahabat.
Bagi orang-orang yang hidup dengan Nabi, setiap ucapan dan tindakan beliau sangat berarti sekali, bukan saja karena mereka sangat tertarik pada kepribadian beliau yang berpengaruh atas diri mereka, tetapi juga pada kepercayaan mereka bahwa adalah kehendak Allah maka mereka harus mengatur hidup mereka, bahkan dalam detail-detailnya yang kecil, sesuai dengan petunjuk dan teladan Nabi.
Oleh karena itu tidak dapat mereka menangkap ucapan beliau secara sepintas lalu, tetapi berusaha memeliharanya dalam ingatan mereka bahkan dengan mengorbankan kesenangan-kesenangan pribadi sendiri.
Diriwayatkan bahwa para sahabat yang secara langsung berhubungan dengan Nabi membuat kelompok-kelompok di antara sesama mereka, masing-masing terdiri dari dua orang, satu daripadanya harus selalu dalam lingkungan Nabi sementara yang seorang sibuk mencari nafkah atau urusan-urusan lain; dan apa saja yang mereka dengar atau yang mereka lihat dari guru mereka itu mereka sampaikan pada sesamanya: demikian cemas mereka kalau-kalau sesuatu ucapan atau perbuatan Nabi akan luput dari perhatian mereka.
Tidaklah boleh jadi bahwa dengan sikap semacam itu mereka akan lalai menjaga kata-kata dari sesuatu Hadis. Dan kalau mungkin bagi ratusan sahabat itu untuk memelihara seisi al-Qur'an hingga pada detail-detail kecil ejaan dalam ingatan mereka, maka pastilah mungkin pula bagi mereka dan pengikut-pengikut mereka yang langsung untuk menyimpan ucapan Nabi dalam ingatan mereka tanpa menambahkan atau mengurangi sesuatu.
Lagi pula ahli-ahli Hadis hanya mengakui keaslian sempurna pada hadis-hadis yang dilaporkan dalam bentuk yang sama melalui rangkaian perawi-perawi yang berbeda-beda dan tidak saling bergantung.
Ini belum pula semua. Untuk dinyatakan shahih (sehat), suatu hadis harus disepakati pada setiap tingkat penyaluran oleh bukti yang tidak bergantung paling kurang dari dua penyalur, dan mungkin lebih, sehingga pada setiap tingkatan laporan itu tidak akan bersandar pada asal dari satu orang saja.
Tuntutan tentang pengesahan ini demikian tepat sehingga --katakanlah-- satu hadis yang dilaporkan melalui tiga "generasi" penyalur-penyalur hadis antara sahabat yang bersangkutan dan penyusun terakhir, sesungguhnya adalah dua puluh orang penyalur atau lebih, terbagi-bagi sekitar tiga "generasi" yang tercakup di dalamnya.
Dengan segala inipun, tidak juga ada orang Muslim pernah percaya bahwa hadis-hadis Nabi dapat beroleh status seperti al-Qur'an atau bahkan beroleh status keaslian yang tak tergugat.
Tidak pernah terhenti penelitian kritis tentang Hadis. Kenyataan bahwa ada terdapat banyak hadis palsu tidak lepas dari perhatian muhadditsuun, seperti yang dikira dengan dhaifnya oleh kritikus-kritikus Barat.
Sebaliknya ilmu pengetahuan kritis tentang Hadis dimulai oleh kepastian membedakan antara yang asli dan yang tidak asli.
Imam Bukhari dan Imam Muslim sendiri, belum lagi ahli-ahli hadis yang lebih kecil, adalah hasil langsung dari sikap kritis ini. Oleh karena itu maka adanya hadis-hadis palsu sekali-kali tidak membuktikan apa-apa dalam menolak sistem hadis pada keseluruhannya --tidak lebih dari satu dongengan seribu satu malam dapat dipandang sebagai satu argumen menentang status laporan sejarah pada zaman itu.
Hingga kini tidak ada satupun kritikus yang telah sanggup membuktikan secara sistematik bahwa tubuh Hadis yang dipandang asli menurut ukuran pengujian dari ahli-ahli hadits yang paling terkenal sebagai tidak tepat.
Penolakan terhadap hadis-hadis otentik, baik sebagai keseluruhan maupun sebagian-sebagian sejauh itu hanyalah masalah temperamen melulu, dan telah gagal menegakkan diri sebagai hasil usaha penelitian yang tidak berprasangka. Tetapi motif dari sikap oposisi semacam itu diantara kebanyakan kaum Muslimin di zaman kita dapat dilihat jejaknya dengan mudah.
Motifnya terletak pada ketidakmampuan mereka membawa cara-cara hidup dan cara-cara berpikir kita sekarang yang terbelakang, menurut semangat Islam yang sebenarnya seperti terpantul dari Sunnah Rasul.
Untuk membenarkan kekurangan-kekurangan mereka sendiri dan kekurangan alam sekitar mereka, kritikus-kritikus palsu tentang Hadis itu berusaha membuang perlunya mengikuti Sunnah; karena apabila ini dilakukan, mereka akan sanggup menafsirkan ajaran-ajaran al-Quran sesuka hati mereka, atas garis "rasionalisme" yang dangkal --yaitu masing-masing sesuai dengan kecenderungan dan palingan pikirannya. Dan dengan cara ini kedudukan Islam yang khas sebagai aturan moral dan aturan praktik, sebagai aturan individual dan aturan sosial, akan hancur berantakan.
Sikap Aneh
Dalam masa-masa ini, ketika pengaruh peradaban, Barat makin lama makin terasa di negeri-negeri Islam, satu motif lagi bertambah pada sikap aneh dari yang disebut kaum "intelektual" Muslimin dalam hal ini. Tidak mungkin hidup menurut Sunnah Rasul dan mengikuti mode hidup Barat pada saat yang sama sekaligus.
Tetapi generasi kaum Muslimin sekarang telah siap sedia memuja apa saja yang dari Barat, memuja peradaban asing itu karena asingnya, karena kuat dan cemerlang secara material.
Westernisasi ini adalah sebab yang paling kuat maka hadis-hadis Nabi kita, dan bersamaan dengan itu struktur Sunnah, telah menjadi demikian tidak populer sekarang.
Begitu terang Sunnah bertentangan dengan ide-ide fundamental yang mendasari peradaban Barat itu sehingga mereka yang terpukau pada ide-ide beradaban Barat itu tidak melihat jalan keluar dari jerat itu kecuali menggambarkan Sunnah sebagai satu aspek Islam yang tidak mengena dan oleh karena itu tidak mengikat --karena Sunnah "berdasar pada tradisi-tradisi yang tidak dapat disandari."
Sesudah itu menjadi lebih mudah untuk mengesampingkan ajaran-ajaran al-Qur'an dalam cara demikian rupa sehingga ajaran-ajaran itu tampak sesuai dengan semangat peradaban Barat.
"Orang-orang yang berkata demikian menyerupai orang yang hendak masuk ke satu istana tetapi tidak hendak menggunakan kunci yang asli, satu-satunya kunci yang cocok untuk membuka pintu itu" ujarnya dalam bukunya berjudul "Islam at the Crossroads" yang diterjemahkan M. Hashem menjadi "Islam di Simpang Jalan" (YAPI, Surabaya, 1967).
Sekadar mengingatkan Muhammad Asad adalah seorang cendekiawan muslim, mantan Duta Besar Pakistan untuk Perserikatan Bangsa Bangsa, dan penulis beberapa buku tentang Islam termasuk salah satu tafsir Al Qur'an modern yakni The Message of the Qur'an.
Muhammad Asad terlahir sebagai Leopold Weiss pada tahun 1900 di kota Lemberg, saat itu bagian dari Kekaisaran Austria-Hongaria (sekarang bernama Lviv dan terletak di Ukraina) dalam lingkungan keluarga Yahudi. Keluarganya secara turun-temurun adalah rabbi (pemuka agama Yahudi) kecuali ayahnya yang menjadi seorang pengacara.
Pendidikan agama yang ia enyam selama masa kecil hingga mudanya menjadikan ia familiar dengan bahasa Aram, Kitab Perjanjian Lama serta teks-teks maupun tafsir dari Talmud, Mishna, Gemara dan Targum.
Baca Juga
Dalam bukunya itu, Muhammad Asad mengingatkan hadis Nabi SAW adalah catatan turun-temurun tentang ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Nabi yang dilaporkan dan disalurkan oleh sahabat-sahabat beliau dan dikumpulkan dengan kritis dalam abad-abad pertama Islam.
"Banyak orang Muslimin modern berpaham bahwa mereka akan sedia mengikuti Sunnah, tetapi mereka berpendapat bahwa mereka tidak dapat bersandar pada tubuh Hadis di mana Sunnah itu terletak. Telah menjadi mode dalam zaman kita untuk secara prinsip menolak keaslian Hadits dan oleh karena itu menolak seluruh struktur Sunnah," katanya.
Orang sering berpikir bahwa lawan-lawan pikiran orthodoks akan sanggup mengemukakan argumen-argumen yang sesungguhnya meyakinkan yang akan mengukuhkan, sekali untuk selamanya, tentang pendapat bahwa hadis-hadis yang dikatakan berasal dari Nabi tidak dapat dijadikan sandaran.
"Tetapi tidaklah demikian halnya," kata Muhammad Asad. "Walau telah dipergunakan segala jalan untuk menantang keaslian Hadis sebagai satu badan, oleh kritikus-kritikus modern dari Timur dan dari Barat, tetapi mereka tidak mampu menopang kritik mereka yang bersifat temperamental melulu dengan hasil penelitian ilmiah."
Malah lebih sulit berbuat demikian karena penyusun-penyusun kumpulan Hadis dahulu, terutama Imam Bukhari dan Imam Muslim, telah melakukan segala apa yang mungkin dapat dilakukan manusia untuk menempatkan keaslian setiap Hadis pada ujian yang paling keras --ujian yang jauh lebih keras dari yang biasa dilakukan ahli-ahli sejarah Barat terhadap suatu dokumen historik.
Cabang sejarah dari penegetahuan ini berhasil dalam menegakkan satu rantai tak terputus dari riwayat hidup mendetail dari pribadi-pribadi yang pernah disebut oleh perawi-perawi Hadis.
Kehidupan orang-orang laki-laki dan perempuan telah diselidiki dengan sempurna dari segala segi pandangan, dan hanya orang-orang yang telah diterima sebagai orang-orang yang terpercaya, yang jalan hidup mereka dan cara mereka menyalurkan Hadits, sempurna memenuhi standar yang ditentukan oleh muhadditsuun terkenal dan dipercayai sebagai paling tepat yang dapat dipikirkan.
Oleh karena itu apabila sekarang seseorang hendak menyangkal akan keaslian satu Hadis tertentu atau keseluruhan sistemnya, maka tugas untuk membuktikan ketidaktepatannya jatuh pada orang itu sendiri.
Secara ilmiah sama sekali tidak dibenarkan untuk menyangkal kebenaran suatu sumber historik, kecuali apabila ia mampu membuktikan bahwa sumber itu bercela.
Apabila tidak ada argumen yang dapat diterima, yaitu apabila tidak dapat diperoleh argumen ilmiah untuk menentang sumber itu sendiri atau terhadap salah satu atau lebih dari musnad-musnadnya, dan apabila sebaliknya tidak ada laporan bertentangan tentang hal itu, maka kita harus menerima kebenaran Hadis itu.
Bayangkan umpamanya apabila orang berbicara tentang peperangan-peperangan Mahmud dan Ghasna di India lalu anda bangkit dan berkata: "Saya tidak percaya bahwa Mahmud pernah datang ke India. Itu dongengan tanpa dasar sejarah!"
Apa yang akan terjadi dalam hal seperti itu? Seseorang yang mengenal sejarah segera akan berusaha memperbaiki kekeliruan anda dan akan mengutip catatan-catatan sejarah yang didasarkan pada laporan-laporan orang yang hidup di zaman itu tentang sultan yang termasyhur itu, sebagai bukti definitif dari fakta bahwa Mahmud pernah di India.
Dalam hal ini anda harus menerima bukti itu --atau anda akan dipandang sebagai orang sakit yang tanpa alasan yang terang menolak fakta-fakta sejarah yang kuat. Kalau demikian halnya maka orang akan bertanya-diri: mengapa kritikus-kritikus modern ini tidak mengemukakan pemikiran jujur yang logis yang sama seperti itu pada masalah Hadis?
Dasar pertama akan palsunya Hadis berarti telah terjadi kebohongan yang disengaja pada pihak sumber pertama, yaitu yang bersangkutan dengan para sahabat, atau penyalur-penyalur kemudian. Tentang para sahabat, kemungkinan semacam itu dapat dikecualikan secara apriori.
Hanya diperlukan tinjauan psikologik ke dalam masalah ini untuk menyingkirkan anggapan-anggapan semacam itu ke dalam wilayah khayal melulu.
Kesan cemerlang yang telah dipancarkan pribadi Nabi pada orang-orang laki-laki dan perempuan di sekitarnya adalah satu fakta menonjol dari sejarah ummat manusia; lagi pula hal itu terdokumentasi dengan baik sekali oleh sejarah.
Dapatkah diterima bahwa orang-orang yang siap sedia mengorbankan diri mereka dan segala yang mereka miliki apabila dikehendaki Rasulullah akan memainkan tipu daya dengan kata-kata beliau?
Nabi telah berkata: "Barangsiapa dengan sengaja berbohong tentang saya akan tersedialah tempatnya di neraka". (Shahih Bukhari, Sunan Abi Da'ud, Jami' at-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi, Musnad Ibn Hambal).
Ini diketahui para sahabat; secara mendalam mereka percaya akan kata-kata Nabi yang mereka pandang sebagai juru bicara dari Allah SWT; dan mungkinkah dari segi pandangan psikologi bahwa mereka akan mengabaikan perintah yang sangat tegas ini?
Dalam proses peradilan pidana, pertanyaan pertama yang menantang hakim adalah cui bono --demi keuntungan siapa-- kejahatan itu mungkin dilakukan?
Prinsip hukum ini dapat dipergunakan juga bagi masalah Hadis. Kecuali hadis-hadis yang langsung berhubungan dengan tuntutan-tuntutan politik dari berbagai partai dalam abad pertama sesudah wafatnya Nabi, tidak akan ada alasan untuk "mengambil keuntungan" bagi seseorang individu untuk mengatakan bahwa kata-kata Nabi itu palsu.
Justru karena pertimbangan kemungkinan kalau-kalau Hadis diada-adakan untuk sesuatu tujuan individual maka kedua sarjana yang paling berwenang tentang Hadis, Bukhari dan Muslim, dengan sangat keras telah mengesampingkan segala hadis-hadis yang berhubungan dengan politik kepartaian dari kumpulan-kumpulan hadis mereka. Yang tertinggal adalah di luar prasangka akan memberikan keuntungan peribadi pada siapapun.
Ada satu argumen di mana keaslian Hadis dapat ditantang. Dapat dimengerti bahwa baik sahabat yang mendengarnya dari Nabi sendiri atau seseorang dari perawi-perawi kemudian --sementara ia benar secara subyektif-- telah melakukan sesuatu kekeliruan karena salah pengertian tentang kata-kata Nabi itu, atau suatu kekeliruan ingatan, atau sesuatu sebab psikologik lain.
Tetapi bukti internal, yaitu bukti-bukti psikologik, berbicara menentang setiap kemungkinan besar dari kekeliruan semacam itu, sekurang-kurangnya pada pihak para sahabat.
Bagi orang-orang yang hidup dengan Nabi, setiap ucapan dan tindakan beliau sangat berarti sekali, bukan saja karena mereka sangat tertarik pada kepribadian beliau yang berpengaruh atas diri mereka, tetapi juga pada kepercayaan mereka bahwa adalah kehendak Allah maka mereka harus mengatur hidup mereka, bahkan dalam detail-detailnya yang kecil, sesuai dengan petunjuk dan teladan Nabi.
Oleh karena itu tidak dapat mereka menangkap ucapan beliau secara sepintas lalu, tetapi berusaha memeliharanya dalam ingatan mereka bahkan dengan mengorbankan kesenangan-kesenangan pribadi sendiri.
Diriwayatkan bahwa para sahabat yang secara langsung berhubungan dengan Nabi membuat kelompok-kelompok di antara sesama mereka, masing-masing terdiri dari dua orang, satu daripadanya harus selalu dalam lingkungan Nabi sementara yang seorang sibuk mencari nafkah atau urusan-urusan lain; dan apa saja yang mereka dengar atau yang mereka lihat dari guru mereka itu mereka sampaikan pada sesamanya: demikian cemas mereka kalau-kalau sesuatu ucapan atau perbuatan Nabi akan luput dari perhatian mereka.
Tidaklah boleh jadi bahwa dengan sikap semacam itu mereka akan lalai menjaga kata-kata dari sesuatu Hadis. Dan kalau mungkin bagi ratusan sahabat itu untuk memelihara seisi al-Qur'an hingga pada detail-detail kecil ejaan dalam ingatan mereka, maka pastilah mungkin pula bagi mereka dan pengikut-pengikut mereka yang langsung untuk menyimpan ucapan Nabi dalam ingatan mereka tanpa menambahkan atau mengurangi sesuatu.
Lagi pula ahli-ahli Hadis hanya mengakui keaslian sempurna pada hadis-hadis yang dilaporkan dalam bentuk yang sama melalui rangkaian perawi-perawi yang berbeda-beda dan tidak saling bergantung.
Ini belum pula semua. Untuk dinyatakan shahih (sehat), suatu hadis harus disepakati pada setiap tingkat penyaluran oleh bukti yang tidak bergantung paling kurang dari dua penyalur, dan mungkin lebih, sehingga pada setiap tingkatan laporan itu tidak akan bersandar pada asal dari satu orang saja.
Tuntutan tentang pengesahan ini demikian tepat sehingga --katakanlah-- satu hadis yang dilaporkan melalui tiga "generasi" penyalur-penyalur hadis antara sahabat yang bersangkutan dan penyusun terakhir, sesungguhnya adalah dua puluh orang penyalur atau lebih, terbagi-bagi sekitar tiga "generasi" yang tercakup di dalamnya.
Dengan segala inipun, tidak juga ada orang Muslim pernah percaya bahwa hadis-hadis Nabi dapat beroleh status seperti al-Qur'an atau bahkan beroleh status keaslian yang tak tergugat.
Tidak pernah terhenti penelitian kritis tentang Hadis. Kenyataan bahwa ada terdapat banyak hadis palsu tidak lepas dari perhatian muhadditsuun, seperti yang dikira dengan dhaifnya oleh kritikus-kritikus Barat.
Sebaliknya ilmu pengetahuan kritis tentang Hadis dimulai oleh kepastian membedakan antara yang asli dan yang tidak asli.
Imam Bukhari dan Imam Muslim sendiri, belum lagi ahli-ahli hadis yang lebih kecil, adalah hasil langsung dari sikap kritis ini. Oleh karena itu maka adanya hadis-hadis palsu sekali-kali tidak membuktikan apa-apa dalam menolak sistem hadis pada keseluruhannya --tidak lebih dari satu dongengan seribu satu malam dapat dipandang sebagai satu argumen menentang status laporan sejarah pada zaman itu.
Hingga kini tidak ada satupun kritikus yang telah sanggup membuktikan secara sistematik bahwa tubuh Hadis yang dipandang asli menurut ukuran pengujian dari ahli-ahli hadits yang paling terkenal sebagai tidak tepat.
Penolakan terhadap hadis-hadis otentik, baik sebagai keseluruhan maupun sebagian-sebagian sejauh itu hanyalah masalah temperamen melulu, dan telah gagal menegakkan diri sebagai hasil usaha penelitian yang tidak berprasangka. Tetapi motif dari sikap oposisi semacam itu diantara kebanyakan kaum Muslimin di zaman kita dapat dilihat jejaknya dengan mudah.
Motifnya terletak pada ketidakmampuan mereka membawa cara-cara hidup dan cara-cara berpikir kita sekarang yang terbelakang, menurut semangat Islam yang sebenarnya seperti terpantul dari Sunnah Rasul.
Untuk membenarkan kekurangan-kekurangan mereka sendiri dan kekurangan alam sekitar mereka, kritikus-kritikus palsu tentang Hadis itu berusaha membuang perlunya mengikuti Sunnah; karena apabila ini dilakukan, mereka akan sanggup menafsirkan ajaran-ajaran al-Quran sesuka hati mereka, atas garis "rasionalisme" yang dangkal --yaitu masing-masing sesuai dengan kecenderungan dan palingan pikirannya. Dan dengan cara ini kedudukan Islam yang khas sebagai aturan moral dan aturan praktik, sebagai aturan individual dan aturan sosial, akan hancur berantakan.
Sikap Aneh
Dalam masa-masa ini, ketika pengaruh peradaban, Barat makin lama makin terasa di negeri-negeri Islam, satu motif lagi bertambah pada sikap aneh dari yang disebut kaum "intelektual" Muslimin dalam hal ini. Tidak mungkin hidup menurut Sunnah Rasul dan mengikuti mode hidup Barat pada saat yang sama sekaligus.
Tetapi generasi kaum Muslimin sekarang telah siap sedia memuja apa saja yang dari Barat, memuja peradaban asing itu karena asingnya, karena kuat dan cemerlang secara material.
Westernisasi ini adalah sebab yang paling kuat maka hadis-hadis Nabi kita, dan bersamaan dengan itu struktur Sunnah, telah menjadi demikian tidak populer sekarang.
Begitu terang Sunnah bertentangan dengan ide-ide fundamental yang mendasari peradaban Barat itu sehingga mereka yang terpukau pada ide-ide beradaban Barat itu tidak melihat jalan keluar dari jerat itu kecuali menggambarkan Sunnah sebagai satu aspek Islam yang tidak mengena dan oleh karena itu tidak mengikat --karena Sunnah "berdasar pada tradisi-tradisi yang tidak dapat disandari."
Sesudah itu menjadi lebih mudah untuk mengesampingkan ajaran-ajaran al-Qur'an dalam cara demikian rupa sehingga ajaran-ajaran itu tampak sesuai dengan semangat peradaban Barat.
(mhy)