Siapakah Nafisah binti Al Hasan, Muslimah yang Menyolatkan Jenazah Imam Syafi'i?
Rabu, 14 Desember 2022 - 17:01 WIB
Nafisah memiliki gelar yang disematkan padanya sebagai "Nafisah Al-Ilmi". Gelar ini diberikan karena keilmuan, kecerdasan, pengetahuannya dalam melakukan istinbath (pengungkapan hukum-hukum fikih), dan kepiawaiannya dalam mengambil manfaat ilmu.
Beliau adalah cucu cicit Rasulullah Shallalhu 'alaihi wa Sallam, seorang wanita yang ahli ibadah, zuhud, taat pada Allah, serta mudah dikabulkan do’a-do’anya. Tekun dalam beribadah hingga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan padanya banyak kemuliaan. Beliau adalah wanita shalehah putri dari Al-Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Kecerdasan Nafisah binti al Hasan nampak semenjak masih ia kanak-kanak. Dalam kitab Abnaa' An-Nabi wa Ahfaduhu yang ditulis Syaikh abdul Mun'im Al Hasyimi, diriwayatkan bahwa Nafisah yang mulai bisa membaca dan menulis umur tujuh tahun sudah mampu menghafal Al-Qur'an secara sempurna pada usia yang relatif muda belia, sekitar 8 atau 9 tahun. Orang-orang banyak mendatangi Nafisah untuk mendengarkan fatwa-fatwanya tentang Sirah An-Nabawi (sejarah Nabi Muhammad Shallalahu 'Alaihi wa Sallam). Sebab itulah, beliau layak mendapat gelar "Nafisah Al Ilmi".
Nafisah lahir di Mekah Almukaramah tahun 145 Hijriah, tepatnya hari Rabu 11 Rabiul Awwal pada tahun 145 Hiriah. Tentu saja Nafisah membawa banyak ilmu di kepala dan di qolbunya, karena ia memperoleh pendidikan ilmu pertama dari keluarganya yang langsung keturunan Rasulullah Shallalahu 'Alihi wa Sallam. Beliau pergi ke Masjid Nabawi untuk menimba ilmu kepada para ulama dan syaikh di Madinah. Dan di Al-Madinah Al-Munawwarah ia didampingi ayah dan ibunya, Zainab putri dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Nafisah telah berhaji lebih dari 30 kali selama hidupnya.
Nafisah menikah dengan Ishaq Al-Mu’tamin, putra dari Ja’far Ash-Shadiq radhiyallahu ‘anhu di bulan Rajab 161 H. Dengan pernikahan tersebut, terkumpullah cahaya Al-Hasan dan Al-Husain karena kakek dari Nafisah adalah Al-Hasan sedangkan kakeknya Ishaq Al-Mu’tamin adalah Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma. Nafisah adalah wanita yang gemar berpuasa, beriktikaf (menetap di masjid), dan selalu taat kepada Allah Ta'ala.
Bagi Nafisah, akhirat selalu berada di hadapan matanya. Ilmunya tidak digunakan untuk mencari materi keduniaan. Beliau banyak melaksanakan shalat malam (tahajjud) dan membaca Al-Qur’an hingga ratusan kali. Zainab, keponakannya yang biasa membantu pekerjaan rumah Nafisah menceritakan tentang kondisi Nafisah, “Aku melayani bibiku Sayidah Nafisah selama 40 tahun. Aku tidak pernah melihatnya tidur di malam hari dan tidak melihatnya tak berpuasa kecuali pada hari ‘ied dan tasyriq. Hingga aku bertanya padanya, ‘Apakah kamu tidak mengasihani dirimu sendiri?’
Bibiku Nafisah menjawab, ‘Bagaimana aku mengasihani diriku, padahal di depanku ada jurang yang tidak bisa melewatinya kecuali orang-orang yang beruntung.' Zainab juga mengatakan, “Bibiku hafal Al-Qur’an dan menafsirkannya. Ia biasa membaca Al-Qur’an dan menangis.”
Dikisahkan bahwa 5 tahun sebelum Imam Asy-Syafi’i datang ke Kairo Mesir, Nafisah sudah berada di kota itu pada tanggal 26 Ramadhan 193 H. Penduduk Mesir menyambutnya dengan takbir dan tahlil. Mereka menyambutnya dan menimba ilmu darinya hingga waktunya menjadi penuh, hampir-hampir menghalanginya dari kebiasaan ibadah yang dilakukannya.
Hingga suatu hari, ia keluar menemui orang-orang, “Aku sebenarnya telah berkeinginan untuk tinggal di tempat kalian ini, namun aku adalah seorang wanita yang lemah. Orang-orang sangat banyak berdatangan ke tempatku, sehingga menyibukkan diriku dari dzikir-dzikir dan bekal akhiratku. Karena itu, kerinduanku untuk kembali ke kota Madinah menjadi bertambah.”
Manusia bersedih dan mencegahnya untuk pergi. Penduduk seluruh kota berkumpul meminta pada suaminya agar tetap tinggal di antara mereka. Sampai akhirnya pemimpin kota Kairo, As-Sari bin Al-Hakam bin Yusuf memberikan sebuah rumah yang luas kepada Nafisah, kemudian membatasi dua hari dalam sepekan untuk waktu berkunjung orang-orang pada Nafisah dalam rangka menuntut ilmu dan meminta nasihat. Untuk hari yang lain, ia gunakan untuk beribadah pada Allah. Nafisah menerima usulan pemimpin Mesir, ia pun ridha dan tetap tinggal di Mesir.
Ketika Imam Asy-Syafi’i tinggal di Mesir, ia menjalin hubungan yang kuat dengan Sayidah Nafisah. Dia biasa shalat tarawih di Masjid yang digunakan Nafisah shalat. Ketika pergi menemuinya, Imam Asy-Syafi’i meminta padanya do’a dan berwasiat agar Nafisah menyolatkan jenazahnya. Imam Asy-Syafi’i pun wafat pada 204 H dan Nafisah menyolatkannya untuk menunaikan wasiatnya.
Empat tahun berselang, 208 H, Nafisah menderita sakit yang semakin hari semakin bertambah berat, hingga mencapai puncaknya pada bulan Ramadhan. Ketika Nafisah beristirahat dan membaca dengan khusyu’ surat Al-An’am, lalu sampai pada firman Allah yaitu surat Al-An’am ayat 127, ia pun tak sadarkan diri. Zainab, keponakannya, memeluknya, ia mendengar Nafisah mengucapkan syahadat kemudian Nafisah wafat pada tahun itu juga .
Nafisah dikenal sebagai wanita yang pernyataan-pernyataannya penuh berkah. Di antara perkataan yang penuh berkah dari Nafisah adalah (1) "Kami keluarga Nabi Shallalahu 'Alaihi wa Sallam lebih berhak melakukan ibadah melebihi ibadah orang lain. Hal ini karena Al-Qur'an diturunkan kepada kakek kami Muhammad Shallalahu 'Alaihi wa Sallam. (2) Celakalah orang yang durhaka kepada Tuhannya, mengingkari perintah-Nya, lupa mengingat-Nya, dan mengikuti hawa nafsunya. (3) Ketaatan adalah inti keimanan, ibadah sebagai jawasadnya, zuhud sebagai pakaiannya, kejujuran sebagai hujjahnya, ikhlas sebagai kebahagiannya, dan memaafkan orang yangberbuat keburukan lebih baik dan lebih bagus bagi orang mukmin. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala Surat Al-Baqarah ayat 237 yang artinya, 'Dan pemberian maafmu itu lebih dekat kepada takwa.'
Wallahu A'alam.
Beliau adalah cucu cicit Rasulullah Shallalhu 'alaihi wa Sallam, seorang wanita yang ahli ibadah, zuhud, taat pada Allah, serta mudah dikabulkan do’a-do’anya. Tekun dalam beribadah hingga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan padanya banyak kemuliaan. Beliau adalah wanita shalehah putri dari Al-Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Kecerdasan Nafisah binti al Hasan nampak semenjak masih ia kanak-kanak. Dalam kitab Abnaa' An-Nabi wa Ahfaduhu yang ditulis Syaikh abdul Mun'im Al Hasyimi, diriwayatkan bahwa Nafisah yang mulai bisa membaca dan menulis umur tujuh tahun sudah mampu menghafal Al-Qur'an secara sempurna pada usia yang relatif muda belia, sekitar 8 atau 9 tahun. Orang-orang banyak mendatangi Nafisah untuk mendengarkan fatwa-fatwanya tentang Sirah An-Nabawi (sejarah Nabi Muhammad Shallalahu 'Alaihi wa Sallam). Sebab itulah, beliau layak mendapat gelar "Nafisah Al Ilmi".
Nafisah lahir di Mekah Almukaramah tahun 145 Hijriah, tepatnya hari Rabu 11 Rabiul Awwal pada tahun 145 Hiriah. Tentu saja Nafisah membawa banyak ilmu di kepala dan di qolbunya, karena ia memperoleh pendidikan ilmu pertama dari keluarganya yang langsung keturunan Rasulullah Shallalahu 'Alihi wa Sallam. Beliau pergi ke Masjid Nabawi untuk menimba ilmu kepada para ulama dan syaikh di Madinah. Dan di Al-Madinah Al-Munawwarah ia didampingi ayah dan ibunya, Zainab putri dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Nafisah telah berhaji lebih dari 30 kali selama hidupnya.
Nafisah menikah dengan Ishaq Al-Mu’tamin, putra dari Ja’far Ash-Shadiq radhiyallahu ‘anhu di bulan Rajab 161 H. Dengan pernikahan tersebut, terkumpullah cahaya Al-Hasan dan Al-Husain karena kakek dari Nafisah adalah Al-Hasan sedangkan kakeknya Ishaq Al-Mu’tamin adalah Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma. Nafisah adalah wanita yang gemar berpuasa, beriktikaf (menetap di masjid), dan selalu taat kepada Allah Ta'ala.
Bagi Nafisah, akhirat selalu berada di hadapan matanya. Ilmunya tidak digunakan untuk mencari materi keduniaan. Beliau banyak melaksanakan shalat malam (tahajjud) dan membaca Al-Qur’an hingga ratusan kali. Zainab, keponakannya yang biasa membantu pekerjaan rumah Nafisah menceritakan tentang kondisi Nafisah, “Aku melayani bibiku Sayidah Nafisah selama 40 tahun. Aku tidak pernah melihatnya tidur di malam hari dan tidak melihatnya tak berpuasa kecuali pada hari ‘ied dan tasyriq. Hingga aku bertanya padanya, ‘Apakah kamu tidak mengasihani dirimu sendiri?’
Bibiku Nafisah menjawab, ‘Bagaimana aku mengasihani diriku, padahal di depanku ada jurang yang tidak bisa melewatinya kecuali orang-orang yang beruntung.' Zainab juga mengatakan, “Bibiku hafal Al-Qur’an dan menafsirkannya. Ia biasa membaca Al-Qur’an dan menangis.”
Dikisahkan bahwa 5 tahun sebelum Imam Asy-Syafi’i datang ke Kairo Mesir, Nafisah sudah berada di kota itu pada tanggal 26 Ramadhan 193 H. Penduduk Mesir menyambutnya dengan takbir dan tahlil. Mereka menyambutnya dan menimba ilmu darinya hingga waktunya menjadi penuh, hampir-hampir menghalanginya dari kebiasaan ibadah yang dilakukannya.
Hingga suatu hari, ia keluar menemui orang-orang, “Aku sebenarnya telah berkeinginan untuk tinggal di tempat kalian ini, namun aku adalah seorang wanita yang lemah. Orang-orang sangat banyak berdatangan ke tempatku, sehingga menyibukkan diriku dari dzikir-dzikir dan bekal akhiratku. Karena itu, kerinduanku untuk kembali ke kota Madinah menjadi bertambah.”
Manusia bersedih dan mencegahnya untuk pergi. Penduduk seluruh kota berkumpul meminta pada suaminya agar tetap tinggal di antara mereka. Sampai akhirnya pemimpin kota Kairo, As-Sari bin Al-Hakam bin Yusuf memberikan sebuah rumah yang luas kepada Nafisah, kemudian membatasi dua hari dalam sepekan untuk waktu berkunjung orang-orang pada Nafisah dalam rangka menuntut ilmu dan meminta nasihat. Untuk hari yang lain, ia gunakan untuk beribadah pada Allah. Nafisah menerima usulan pemimpin Mesir, ia pun ridha dan tetap tinggal di Mesir.
Ketika Imam Asy-Syafi’i tinggal di Mesir, ia menjalin hubungan yang kuat dengan Sayidah Nafisah. Dia biasa shalat tarawih di Masjid yang digunakan Nafisah shalat. Ketika pergi menemuinya, Imam Asy-Syafi’i meminta padanya do’a dan berwasiat agar Nafisah menyolatkan jenazahnya. Imam Asy-Syafi’i pun wafat pada 204 H dan Nafisah menyolatkannya untuk menunaikan wasiatnya.
Empat tahun berselang, 208 H, Nafisah menderita sakit yang semakin hari semakin bertambah berat, hingga mencapai puncaknya pada bulan Ramadhan. Ketika Nafisah beristirahat dan membaca dengan khusyu’ surat Al-An’am, lalu sampai pada firman Allah yaitu surat Al-An’am ayat 127, ia pun tak sadarkan diri. Zainab, keponakannya, memeluknya, ia mendengar Nafisah mengucapkan syahadat kemudian Nafisah wafat pada tahun itu juga .
Nafisah dikenal sebagai wanita yang pernyataan-pernyataannya penuh berkah. Di antara perkataan yang penuh berkah dari Nafisah adalah (1) "Kami keluarga Nabi Shallalahu 'Alaihi wa Sallam lebih berhak melakukan ibadah melebihi ibadah orang lain. Hal ini karena Al-Qur'an diturunkan kepada kakek kami Muhammad Shallalahu 'Alaihi wa Sallam. (2) Celakalah orang yang durhaka kepada Tuhannya, mengingkari perintah-Nya, lupa mengingat-Nya, dan mengikuti hawa nafsunya. (3) Ketaatan adalah inti keimanan, ibadah sebagai jawasadnya, zuhud sebagai pakaiannya, kejujuran sebagai hujjahnya, ikhlas sebagai kebahagiannya, dan memaafkan orang yangberbuat keburukan lebih baik dan lebih bagus bagi orang mukmin. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala Surat Al-Baqarah ayat 237 yang artinya, 'Dan pemberian maafmu itu lebih dekat kepada takwa.'
Wallahu A'alam.
(wid)