Cak Nur: Keislaman Formal Saja Tidak Akan Membawa Keselamatan di Dunia

Rabu, 01 Februari 2023 - 05:15 WIB
loading...
Cak Nur: Keislaman Formal...
Nurcholish Madjid. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Cendekiawan Islam, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939-2005) atau populer dipanggil Cak Nur , mengatakan keislaman yang formal saja tidak akan membawa keselamatan di dunia. Sebaliknya, meskipun suatu masyarakat adalah kafir namun menegakkan keadilan di dunia ini, maka masyarakat itu akan tegak, didukung Allah.

Menurut Cak Nur dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah", keadilan yang dalam bahasa Kitab Suci dinyatakan dalam kata-kata 'adl, qisth, wasth (semuanya memiliki makna dasar "tengah" atau "jujur") adalah wujud lain hukum keseimbangan (mizan) yang telah ditetapkan Allah untuk seluruh jagad raya.

"Sesungguhnya, dari sudut pandangan kosmologi al-Qur'an, keadilan adalah hukum primer seluruh jagad raya," ujar Cak Nur.



Menurutnya, maka keadilan adalah aturan kosmis (cosmic order), yang pelanggaran terhadapnya dapat dilukiskan secara metaforik sebagai mengganggu atau mengguncangkan tatanan jagad raya. Inilah yang antara lain dapat kita ambil pengertiannya dari firman Allah:

وَالسَّمَاۤءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَۙ
اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ
وَاَقِيْمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيْزَانَ

Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, dan Dia tetapkan (hukum) keseimbangan. Hendaknya kamu tidak melanggar (hukum) keseimbangan itu. Dan tegakkanlah olehmu semua akan neraca dengan jujur, dan jangan kamu bertindak merugikan (hukum) keseimbangan.[ QS al-Rahman/55 :7-9]

Menurut Cak Nur, beberapa tafsir dan terjemah konvensional menerangkan, yang dimaksud dengan mizan dalam firman itu ialah neraca yang dikenal. "Tentu saja tidak terlalu salah. Tapi dalam kaitannya dengan penciptaan Allah akan jagad raya, yang dalam firman ini dilambangkan sebagai penciptaan langit yang 'ditinggikan' oleh-Nya, maka lebih tepat memandang perkataan mizan ini, dalam makna kosmologisnya, yaitu seluruh jagad raya ini berjalan mengikuti hukum keseimbangan," katanya.

"Bahkan neraca yang kita kenal dan tampak bekerja secara 'sederhana' itu pun adalah suatu gejala kosmis, karena keseimbangan dalam sebuah neraca adalah kelanjutan dari hukum keseimbangan yang lebih lua (yang menguasai seluruh alam), misalnya, melalui hukum gravitasi," lanjutnya.



Menurut Cak Nur, dari sudut pandangan inilah kita memahami mengapa banyak para ulama, dalam hal ini khususnya Ibn Taimiyah, sedemikian tegas dan jauh berpegang pada prinsip keadilan itu sebagai ideatum tatanan sosial manusia yang akan menjamin kekokohan dan kelangsungannya.

Sedemikian rupa jauhnya pandangan Ibn Taimiyah dalam risalahnya, al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar, sehingga ia menguatkan pandangan bahwa "Sesungguhnya Allah akan menegakkan negeri yang adil meskipun kafir, dan tidak akan menegakkan negeri yang zalim meskipun Islam", dan "Dunia akan bertahan bersama keadilan dan kekafiran, dan tidak akan bertahan lama bersama kezaliman dan Islam".

Cak Nur mengatakan dengan pernyataannya yang tidak biasa itu, Ibnu Taimiyah hanya bermaksud agar ummat Islam tidak taken for granted dalam hal keislaman. Keislaman yang formal saja tidak akan membawa keselamatan di dunia ini, khususnya dalam arti sosial, jika tidak disertai keadilan.

Sebaliknya, meskipun suatu masyarakat adalah kafir namun menegakkan keadilan di dunia ini, maka masyarakat itu akan tegak, didukung Allah. Sebab, sama dengan yang telah dijelaskan di atas, keadilan adalah "tatanan segala sesuatu" (nidham-u kull-i syay), yakni, suatu cosmic order yang menjadi hukum Tuhan, atau Sunnatullah yang tidak tergantung kepada keinginan seseorang (obyektif) dan berlaku universal, di segala tempat dan masa, sehingga tidak akan berubah (immutable).

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1624 seconds (0.1#10.140)