Al-Fitnat Al-Kubra: Lahirnya Golongan Khawarij, Syiah dan Sunnah
loading...
A
A
A
Korban yang paling tragis dari ekstremisme mereka ialah Ali sendiri, seorang tokoh yang pernah mereka unggulkan dengan penuh antusiasme, namun akhirnya mereka habisi dalam suatu pembunuhan politik.
Karena kegiatan mereka yang selalu merongrong tatanan mapan, mereka kemudian lebih dikenal sebagai kaum Khawarij (pemberontak). Mereka juga dinamakan kaum al-Haruriyyun, nisbat kepada oase al-Harura dekat Kufah, tempat mereka berpangkalan. Mereka ini kemudian mengalami penghancuran diri sendiri (self annihilation) justru karena watak mereka yang sangat akstrem.
"Akibatnya ialah bahwa mereka hampir-hampir praktis tidak tertahan untuk menyaksikan zaman modern sekarang ini," ujar Cak Nur.
Menurut Cak Nur, tetapi sebenarnya hanya secara fisik mereka boleh dikata terhapus dari sejarah. Sedangkan secara doktrinal, justru banyak sekali paham-paham keagamaan yang kini berkembang dan mapan di kalangan kaum Muslimin dapat ditelusuri kembali sebagai asal dari problematika kaum Khawarij.
Bahkan ada tanda-tanda bahwa problematika kaum Khawarij itu, sebagaimana dahulu muncul dalam sistem kalam kaum Mu'tazilah, kini menunjukkan daya tarik dan vitalitasnya di kalangan sebagian kaum Muslim "liberal", dalam arti lebih banyak menunjukkan sikap kritis dan mungkin ingin lepas dari kukungan tatanan mapan sosial-keagamaan yang ada.
Tahun Persatuan
Perkembangan lebih lanjut masyarakat Islam setelah terbunuhuya Ali oleh kaum Khawarij ialah pengakuan dan dukungan hampir universal masyarakat kepada kekuasaan Mu'awiyah di Damaskus, sekurang-kurangnya secara de facto. Terutama pada tahun 41 Hijriyah, ummat Islam di bawah Mu'awiyah dapat dikatakan kembali kepada keutuhannya yang semula, dan orang dengan penuh harapan menyebut tahun itu sebagai "Tahun Persatuan" (Amal-Jama'ah).
Al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Bek dalam Tarikh al-Tasri al-Islami mengatakan kala itu hampir semua kelompok Islam mengakui kekuasaan de facto Mu'awiyah, maka tahun 41 Hijri disebut "Tahun Persatuan" ('Am al Jama'ah).
Dengan modal persatuan itu Mu'awiyah dapat melanjutkan program-program ekspansi militer dan politik yang sempat tertunda beberapa lama oleh adanya fitnah.
Mu'awiyah ternyata menunjukkan kecakapan memerintah yang mengesankan, sehingga para ahli sejarah ada yang mengatakan sebagai Khalifah Islam yang kedua terbesar, yakni, sesudah Umar Ibn al-Khattab.
Hanya saja, setelah Mu'awiyah meninggal, keadaan kembali kepada kekacauannya yang semula. Dengan maksud untuk tidak mengambil risiko yang dapat mengganggu "keseimbangan rawan" (delicate balance) susunan masyarakat Islam yang ada dan yang diperoleh dengan banyak pengorbanan itu, sudah sejak semula dalam kekhalifahannya Mu'awiyah meminta agar masyarakat menyetujui untuk mengangkat Yazid, anak sendiri, sebagai penggantinya.
Sebagian besar masyarakat Islam menyetujui ide itu, dan Yazid pun dinyatakan sebagai Khalifah. Tetapi kekhalifahan Yazid yang memang tidak banyak memenuhi gambaran ideal seorang penguasa Muslim itu segera mengundang munculnya kembali pertentangan-pertentangan laten.
Fitnah Kedua
Tantangan terhadap Yazid mula-mula datang dari para pendukung Ali yang memang nampak selalu siap menggunakan setiap kesempatan. Sesungguhnya mereka berharap, sepeninggal Ali, agar Hasan, anaknya, mempertahankan klaim kekhalifahan, menghadapi Mu'awiyah di Damaskus. Tetapi Hasan mengecewakan mereka dengan sikapnya yang lebih senang turun dari klaim itu dan hidup hampir menyendiri secara damai di Madinah.
Maka harapan para pendukung Ali kini ditujukan kepada Husain, saudara Hasan, yang mereka undang untuk memberontak di Kufah, Irak. Tetapi, sebelum tentera Syria datang menyerbu, banyak kalangan penduduk Kufah sendiri yang menarik dukungannya kepada Husain, setelah berhasil dibujuk oleh gubernur Syria.
Husain dengan kekuatan tenteranya yang kecil menolak untuk menyerah, dan mereka ini terkucilkan di padang pasir Karbala, dekat Kufah. Tentera Yazid menghancurkan mereka, dan Husain, putera Ali dan Fathimah, cucu Nabi, terbunuh secara amat kejam dan tragis.
Terbunuhnya Husain, seperti terbunuhnya Utsman sebelumnya, merupakan peristiwa terpenting dalam fitnah kedua, yang mempunyai dampak amat luas dan mendalam pada sistem sosial-keagamaan Islam sampai sekarang.
Adalah sejak peristiwa Karabala itu para pendukung setia Ali dan keturunannya dikenal dengan sebutan kaum Syi'ah (yang sebetulnya lengkapnya ialah syi'ah Ali. "Partai Ali").
Karena kegiatan mereka yang selalu merongrong tatanan mapan, mereka kemudian lebih dikenal sebagai kaum Khawarij (pemberontak). Mereka juga dinamakan kaum al-Haruriyyun, nisbat kepada oase al-Harura dekat Kufah, tempat mereka berpangkalan. Mereka ini kemudian mengalami penghancuran diri sendiri (self annihilation) justru karena watak mereka yang sangat akstrem.
"Akibatnya ialah bahwa mereka hampir-hampir praktis tidak tertahan untuk menyaksikan zaman modern sekarang ini," ujar Cak Nur.
Menurut Cak Nur, tetapi sebenarnya hanya secara fisik mereka boleh dikata terhapus dari sejarah. Sedangkan secara doktrinal, justru banyak sekali paham-paham keagamaan yang kini berkembang dan mapan di kalangan kaum Muslimin dapat ditelusuri kembali sebagai asal dari problematika kaum Khawarij.
Bahkan ada tanda-tanda bahwa problematika kaum Khawarij itu, sebagaimana dahulu muncul dalam sistem kalam kaum Mu'tazilah, kini menunjukkan daya tarik dan vitalitasnya di kalangan sebagian kaum Muslim "liberal", dalam arti lebih banyak menunjukkan sikap kritis dan mungkin ingin lepas dari kukungan tatanan mapan sosial-keagamaan yang ada.
Tahun Persatuan
Perkembangan lebih lanjut masyarakat Islam setelah terbunuhuya Ali oleh kaum Khawarij ialah pengakuan dan dukungan hampir universal masyarakat kepada kekuasaan Mu'awiyah di Damaskus, sekurang-kurangnya secara de facto. Terutama pada tahun 41 Hijriyah, ummat Islam di bawah Mu'awiyah dapat dikatakan kembali kepada keutuhannya yang semula, dan orang dengan penuh harapan menyebut tahun itu sebagai "Tahun Persatuan" (Amal-Jama'ah).
Al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Bek dalam Tarikh al-Tasri al-Islami mengatakan kala itu hampir semua kelompok Islam mengakui kekuasaan de facto Mu'awiyah, maka tahun 41 Hijri disebut "Tahun Persatuan" ('Am al Jama'ah).
Dengan modal persatuan itu Mu'awiyah dapat melanjutkan program-program ekspansi militer dan politik yang sempat tertunda beberapa lama oleh adanya fitnah.
Mu'awiyah ternyata menunjukkan kecakapan memerintah yang mengesankan, sehingga para ahli sejarah ada yang mengatakan sebagai Khalifah Islam yang kedua terbesar, yakni, sesudah Umar Ibn al-Khattab.
Hanya saja, setelah Mu'awiyah meninggal, keadaan kembali kepada kekacauannya yang semula. Dengan maksud untuk tidak mengambil risiko yang dapat mengganggu "keseimbangan rawan" (delicate balance) susunan masyarakat Islam yang ada dan yang diperoleh dengan banyak pengorbanan itu, sudah sejak semula dalam kekhalifahannya Mu'awiyah meminta agar masyarakat menyetujui untuk mengangkat Yazid, anak sendiri, sebagai penggantinya.
Sebagian besar masyarakat Islam menyetujui ide itu, dan Yazid pun dinyatakan sebagai Khalifah. Tetapi kekhalifahan Yazid yang memang tidak banyak memenuhi gambaran ideal seorang penguasa Muslim itu segera mengundang munculnya kembali pertentangan-pertentangan laten.
Fitnah Kedua
Tantangan terhadap Yazid mula-mula datang dari para pendukung Ali yang memang nampak selalu siap menggunakan setiap kesempatan. Sesungguhnya mereka berharap, sepeninggal Ali, agar Hasan, anaknya, mempertahankan klaim kekhalifahan, menghadapi Mu'awiyah di Damaskus. Tetapi Hasan mengecewakan mereka dengan sikapnya yang lebih senang turun dari klaim itu dan hidup hampir menyendiri secara damai di Madinah.
Maka harapan para pendukung Ali kini ditujukan kepada Husain, saudara Hasan, yang mereka undang untuk memberontak di Kufah, Irak. Tetapi, sebelum tentera Syria datang menyerbu, banyak kalangan penduduk Kufah sendiri yang menarik dukungannya kepada Husain, setelah berhasil dibujuk oleh gubernur Syria.
Husain dengan kekuatan tenteranya yang kecil menolak untuk menyerah, dan mereka ini terkucilkan di padang pasir Karbala, dekat Kufah. Tentera Yazid menghancurkan mereka, dan Husain, putera Ali dan Fathimah, cucu Nabi, terbunuh secara amat kejam dan tragis.
Terbunuhnya Husain, seperti terbunuhnya Utsman sebelumnya, merupakan peristiwa terpenting dalam fitnah kedua, yang mempunyai dampak amat luas dan mendalam pada sistem sosial-keagamaan Islam sampai sekarang.
Adalah sejak peristiwa Karabala itu para pendukung setia Ali dan keturunannya dikenal dengan sebutan kaum Syi'ah (yang sebetulnya lengkapnya ialah syi'ah Ali. "Partai Ali").