Al-Fitnat Al-Kubra: Lahirnya Golongan Khawarij, Syiah dan Sunnah
loading...
A
A
A
Tragedi pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan adalah permulaan, dan hanyalah salah satu, dari deretan fitnah yang amat besar pengaruhnya kepada terjadinya skisme dalam Islam. Menurut sementara ahli sejarah Islam, setelah Utsman terbunuh, maka diangkatlah Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah, menggantikan Utsman.
Ali bin Abi Thalib adalah kemenakan dan menantu Nabi, serta pelopor mula pertama dalam Islam. Beliau telah tumbuh sejak zaman Nabi sendiri sebagai seorang pahlawan, ahli perang (warrior) yang tangkas, dengan sikap hidup yang penuh kesalehan dan hikmah (wisdom) yang luas dan mendalam.
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939-2005) atau populer dipanggil Cak Nur , menuturkan bagi banyak pihak di Madinah, meskipun tidak disepakati oleh semua orang, ketokohan Ali membuatnya paling tepat sebagai pengganti (khalifah) Nabi , tidak hanya sekarang sesudah Utsman, tapi sejak wafat Nabi sendiri.
Ali sebenarnya adalah tokoh yang amat tepat menghadapi situasi kritis itu. Tetapi ketokohannya itu menjadi problem karena kenyataan bahwa sejak semula ia, dibawa oleh sikapnya yang saleh dan populis, menunjukkan simpati kepada para pemrotes kebijaksanaan Utsman, meskipun jelas mustahil mendukung pembunuhannya.
Dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" Cak Nur mengatakan suasana curiga kepada Ali dari banyak pihak menjadi tak terhindarkan.
Kecurigaan itu mewujudkan diri dalam reaksi-reaksi tidak setuju kepada pengangkatan Ali sebagai khalifah, tidak saja dari kalangan yang secara langsung mempunyai hubungan darah dengan Utsman, Khalifah terbunuh, yaitu kalangan kaum Umawi (Umawi, anak cucu Umayyah ibn 'Abd Syams, ayah dari pada kakek Mu'awiyah ) tetapi juga dari tokoh-tokoh seperti A'isyah, puteri Abu Bakar dan isteri Nabi yang sangat dicintainya, juga al-Zubair ibn al-Awwam , seorang anggota keluarga Abu Bakar .
Sedangkan dari kalangan kaum Umawi, seperti dapat diduga, tuntutan untuk pengusutan pembunuhan Utsman sangat keras, dipelopori oleh politikus dan gubernur yang cakap, Mu'awiyah (anak Abu Sufyan, musuh utama Nabi sampai penaklukan Mekkah), dan dibantu oleh 'Amr ibn al-'Ash , gubernur dan komandan militer yang menaklukkan Mesir.
Berbagai reaksi kurang menguntungkan terhadap Ali itu tidak saja membuat situasi masyarakat Islam yang masih muda dilanda suasana tak menentu dan sedikit chaotik. Reaksi-reaksi itu segera menyeret masyarakat Islam ke dalam kancah peperangan sesama mereka, dengan korban jiwa yang tidak sedikit.
Ali yang seorang ahli perang (warrior) yang cakap dan berani agaknya dengan mudah mengalahkan Aisyah dan al-Zubayr di pertempuran dekat Basrah yang kemudian dikenal sebagai "Peristiwa Onta" (karena A'isyah memimpin pasukan dengan menunggang onta, dan onta itu terbunuh dalam pertempuran).
"Tetapi peristiwa itu sendiri menimbulkan luka sosial-keagamaan pada ummat Islam yang sampai sekarang belum seluruhnya tersembuhkan," ujar Cak Nur.
Menurutnya, yang lebih parah, dengan akibat yang amat jauh dalam bidang sosial-keagamaan, ialah permusuhan antara Ali dan Mu'awiyah. Juga disebabkan oleh kecakapan militernya, Ali agaknya akan akhirnya memenangkan pertempurannya melawan Mu'awiyah.
Akan tetapi mungkin sebagai gabungan antara kesalehan yang lebih mementingkan perdamaian dan sikap meremehkan kepintaran, jika tidak bisa disebut kelicikan, diplomatik Mu'awiyah dan para pendukungnya, Ali secara iktikad baik dan "polos" menerima usul arbitrasi di Shiffin. Akibatnya ialah bahwa ia justru kehilangan dukungan dari para sponsornya yang gigih dan militan, yang sejak semula menginginkan penyelesaian militer terhadap Mu'awiyah.
Mereka ini kemudian membentuk kelompok ketiga, dan menamakan diri mereka kaum al-Syurat, yakni, "orang-orang yang menjual diri (kepada Allah)", dengan secara total menyerahkan dan mengorbankan diri untuk agama yang benar.
Sebutan ini merujuk kepada firman Allah, "Dan di antara manusia ada yang 'menjual' dirinya demi memperoleh ridla Allah. Dan Allah itu Maha Penyantun kepada para hamba-Nya." [ QS al-Baqarah 2 :207]
Menurut Cak Nur, sebutan al-Syurat itu sekaligus memberi gambaran tentang hakikat dan sifat gerakan mereka, yaitu gerakan dengan semangat sendirinya mereka berkembang menjadi kelompok dengan tingkat ekstremisme yang amat tinggi, yang kemudian secara tak terhindarkan membawa mereka kepada situasi mudah sekali terpecah-belah dan saling bermusuhan, untuk akhirnya melenyapkan diri mereka sendiri.
Egalitarianisme radikal kelompok ini membawa mereka kepada konsep-konsep sosial politik yang sesungguhnya lebih dekat kepada cita-cita Islam seperti diletakkan oleh Nabi dan merupakan kelanjutan cita-cita universal dalam tradisi bangsa-bangsa Irano-Semitik sejak ratusan tahun, dan yang dengan kuat sekali mewarnai pandangan-pandangan hidup di daerah Bulan Sabit Subur.
Cak Nur mengatakan tetapi karena dibawakan dengan militansi yang hampir tak terkendalikan, maka konsep-konsep itu yang antara lain melahirkan doktrin hijrah, yaitu semua orang harus menyingkir dari tatanan mapan dan bergabung dengan mereka demi iman yang benar telah menjerumuskan masyarakat Islam kepada suasana "semua lawan semua," tanpa ada pihak yang benar-benar diuntungkan.
Korban yang paling tragis dari ekstremisme mereka ialah Ali sendiri, seorang tokoh yang pernah mereka unggulkan dengan penuh antusiasme, namun akhirnya mereka habisi dalam suatu pembunuhan politik.
Karena kegiatan mereka yang selalu merongrong tatanan mapan, mereka kemudian lebih dikenal sebagai kaum Khawarij (pemberontak). Mereka juga dinamakan kaum al-Haruriyyun, nisbat kepada oase al-Harura dekat Kufah, tempat mereka berpangkalan. Mereka ini kemudian mengalami penghancuran diri sendiri (self annihilation) justru karena watak mereka yang sangat akstrem.
"Akibatnya ialah bahwa mereka hampir-hampir praktis tidak tertahan untuk menyaksikan zaman modern sekarang ini," ujar Cak Nur.
Menurut Cak Nur, tetapi sebenarnya hanya secara fisik mereka boleh dikata terhapus dari sejarah. Sedangkan secara doktrinal, justru banyak sekali paham-paham keagamaan yang kini berkembang dan mapan di kalangan kaum Muslimin dapat ditelusuri kembali sebagai asal dari problematika kaum Khawarij.
Bahkan ada tanda-tanda bahwa problematika kaum Khawarij itu, sebagaimana dahulu muncul dalam sistem kalam kaum Mu'tazilah, kini menunjukkan daya tarik dan vitalitasnya di kalangan sebagian kaum Muslim "liberal", dalam arti lebih banyak menunjukkan sikap kritis dan mungkin ingin lepas dari kukungan tatanan mapan sosial-keagamaan yang ada.
Tahun Persatuan
Perkembangan lebih lanjut masyarakat Islam setelah terbunuhuya Ali oleh kaum Khawarij ialah pengakuan dan dukungan hampir universal masyarakat kepada kekuasaan Mu'awiyah di Damaskus, sekurang-kurangnya secara de facto. Terutama pada tahun 41 Hijriyah, ummat Islam di bawah Mu'awiyah dapat dikatakan kembali kepada keutuhannya yang semula, dan orang dengan penuh harapan menyebut tahun itu sebagai "Tahun Persatuan" (Amal-Jama'ah).
Al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Bek dalam Tarikh al-Tasri al-Islami mengatakan kala itu hampir semua kelompok Islam mengakui kekuasaan de facto Mu'awiyah, maka tahun 41 Hijri disebut "Tahun Persatuan" ('Am al Jama'ah).
Dengan modal persatuan itu Mu'awiyah dapat melanjutkan program-program ekspansi militer dan politik yang sempat tertunda beberapa lama oleh adanya fitnah.
Mu'awiyah ternyata menunjukkan kecakapan memerintah yang mengesankan, sehingga para ahli sejarah ada yang mengatakan sebagai Khalifah Islam yang kedua terbesar, yakni, sesudah Umar Ibn al-Khattab.
Hanya saja, setelah Mu'awiyah meninggal, keadaan kembali kepada kekacauannya yang semula. Dengan maksud untuk tidak mengambil risiko yang dapat mengganggu "keseimbangan rawan" (delicate balance) susunan masyarakat Islam yang ada dan yang diperoleh dengan banyak pengorbanan itu, sudah sejak semula dalam kekhalifahannya Mu'awiyah meminta agar masyarakat menyetujui untuk mengangkat Yazid, anak sendiri, sebagai penggantinya.
Sebagian besar masyarakat Islam menyetujui ide itu, dan Yazid pun dinyatakan sebagai Khalifah. Tetapi kekhalifahan Yazid yang memang tidak banyak memenuhi gambaran ideal seorang penguasa Muslim itu segera mengundang munculnya kembali pertentangan-pertentangan laten.
Fitnah Kedua
Tantangan terhadap Yazid mula-mula datang dari para pendukung Ali yang memang nampak selalu siap menggunakan setiap kesempatan. Sesungguhnya mereka berharap, sepeninggal Ali, agar Hasan, anaknya, mempertahankan klaim kekhalifahan, menghadapi Mu'awiyah di Damaskus. Tetapi Hasan mengecewakan mereka dengan sikapnya yang lebih senang turun dari klaim itu dan hidup hampir menyendiri secara damai di Madinah.
Maka harapan para pendukung Ali kini ditujukan kepada Husain, saudara Hasan, yang mereka undang untuk memberontak di Kufah, Irak. Tetapi, sebelum tentera Syria datang menyerbu, banyak kalangan penduduk Kufah sendiri yang menarik dukungannya kepada Husain, setelah berhasil dibujuk oleh gubernur Syria.
Husain dengan kekuatan tenteranya yang kecil menolak untuk menyerah, dan mereka ini terkucilkan di padang pasir Karbala, dekat Kufah. Tentera Yazid menghancurkan mereka, dan Husain, putera Ali dan Fathimah, cucu Nabi, terbunuh secara amat kejam dan tragis.
Terbunuhnya Husain, seperti terbunuhnya Utsman sebelumnya, merupakan peristiwa terpenting dalam fitnah kedua, yang mempunyai dampak amat luas dan mendalam pada sistem sosial-keagamaan Islam sampai sekarang.
Adalah sejak peristiwa Karabala itu para pendukung setia Ali dan keturunannya dikenal dengan sebutan kaum Syi'ah (yang sebetulnya lengkapnya ialah syi'ah Ali. "Partai Ali").
Dengan menggunakan sentimen umum terhadap kematian tragis Husain, kaum Syi'ah perlahan-lahan mengkonsolidasikan diri dan mengembangkan pandangan-pandangan sosial-politik keagamaan yang kelak menjadi dasar sistem doktrinal Syi'isme.
Abdullah Ibnu al-Zubair
Yazid tidak hanya menghadapi tantangan dari kaum Syi'ah. Di Mekkah bangkit Abdullah ibn al-Zubair (ibn al-Awwam) yang ayahnya dahulu pernah menentang Ali bersama A'isyah dan kalah kini bangkit menentang Yazid dengan cukup efektif.
Yazid tidak bisa mengatasinya, dan setelah penguasa Damaskus ini meninggal sesudah menjabat sebagai khalifah selama sekitar tiga tahun saja, Abdullah oleh sebagian besar umat diakui sebagai khalifah yang sah, dengan Mekkah sebagai ibukota.
Tetapi Abdullah tidak menikmati kekuasaan yang mantap. Di luar kota Mekkah sendiri, meliputi sebagian besar pedalaman Jazirah Arabia, khususnya di daerah pedesaan atau badawah, kekuasaan berada di tangan kaum Khawarij yang seperti selama ini melancarkan perang "hit and run" terhadap Abdullah ibn al-Zubair.
Sebenarnya kaum Khawarij ini hampir berhasil menghidupkan beberapa nilai yang diajarkan oleh Nabi, khususnya paham persamaan umat manusia. Egalitarianisme mereka telah membuat mereka termasuk yang pertama dalam sejarah Islam yang tidak membeda bedakan antara Muslim Arab dan Muslim bukan-Arab. Dan politik mereka yang menerapkan prinsip nonintervensi terhadap kelompok-kelompok bukan-Muslim, dengan membiarkan mereka dalam otonomi penuh mengurus kepentingan mereka sendiri, telah membuat kaum Khawarij cukup favorable di mata kaum non-muslim.
Hanya saja, kaum Khawarij gagal memperoleh dukungan dari kalangan Muslim yang lebih terorganisir di kota-kota. Kebiasaan mereka untuk melakukan gerilya dalam kelompok-kelompok penyerang yang disusun seperti sistem kabilah sebelum Islam (masa Jahiliyah) telah mengundang antipati orang-orang kota.
Ini membuat kekuasaan kaum Khawarij, meskipun selama fitnah kedua ini menguasai teritorial yang paling luas, tidak pernah efektif.
Apalagi, setelah secara singkat menjadi pendukung Abdullah ibn al-Zubair pada saat permulaan penampilan khalifah Mekkah itu, kaum Khawarij terpecah menjadi dua, yang berbasiskan Iran, yang dikenal sehagai kaum Azariqah, menganggap siapa saja yang tidak bergabung dengan mereka sebagai murtad, dengan akibat hukum bunuh yang mereka laksanakan secara konsekuen.
Mereka ini akhirnya dikalahkan oleh tentara Ibn al-Zubair yang berpangkalan di Basrah, Irak.
Selain menghadapi kaum Khawarij, Ibn al-Zubair masih harus menyelesaikan masalah Syi'ah. Setelah mengalami kekalahan yang tragis oleh Yazid di padang Karbala, kaum Syi'ah sekali lagi mencoba memobilisasi diri dan menemukan figur sentral mereka pada putera Ali yang lain, yaitu Ibn al-Hanafiyyah.
Pemberontakan kaum Syi'ah ini dipimpin oleh Mukhtar ibn Abi Ubaid. Kaum Syi'ah, sama halnya dengan kaum Khawarij, juga ingin menegakkan prinsip persamaan manusia, namun dengan cara-cara yang lebih moderat.
Mereka dengan tegas mengambil sikap yang menyamakan status antara orang-orang Muslim bukan-Arab dengan Muslim Arab. Tetapi egalitarianisme mereka ini justru membuat marah orang-orang Muslim Arab Kufah, yang kemudian berpaling melawan mereka.
Tantangan orang Kufah ini mempermudah pemberontakan kaum Syi'ah untuk dipatahkan oleh Ibn al-Zubair dengan menggunakan kekuatan tentara dari Basrah yang saat itu telah bebas dari tugas menghadapi kaum Khawarij.
Keberhasilan Ibn al-Zubayr mematahkan kaum Khawarij dan Syi'ah tidak berarti bahwa mereka benar-benar bebas dari oposisi. Kaum Khawarij dan Syi'ah itu tetap merupakan ancaman yang laten.
Sementara itu, di utara, di Syria, kekuatan-kekuatan oposisi kelanjutan kaum Umawi berhasil mengkonsolidasi diri. Kaum Umawi yang berkoalisi dengan kaum Banu Kalb (sandaran utama kekuatan Arab Syria bagi kaum Umawi sejak masa Mu'awiyah) mengangkat Marwan ibn al-Hakam, sepupu Mu'awiyah, sebagai Khalifah.
Adalah Marwan ini yang dahulu bertindak sebagai penasihat utama Khalifah Utsman ibn Affan dan didakwa sebagai dalang pembunuhan pemimpin delegasi Mesir yang datang ke Madinah untuk mengadukan perkara mereka, dan yang kemudian membangkitkan amarah mereka dengan akibat pembunuhan khalifah.
Dengan cepat kekuatan kaum Umawi di Syria sebagai salah satu kontestan untuk kekhalifahan tumbuh dan berkembang, sehingga Mesir pun tidak lama jatuh ke tangan Marwan dan anaknya, Abd al-Malik.
Setelah menyusul Irak, Irak juga jatuh ke tangan kaum Umawi, yang berarti hilangnya basis dukungan bagi Ibn al-Zubair di Mekkah. Kota-kota garnizun di bawah kepemimpinan kaum Umawi yang tegar kini lebih efektif dalam melawan gerilya kaum Khawarij dari pedalaman dibanding keadaan mereka di bawah kepemimpinan Ibn al-Zubair yang lunak.
Hingga akhirnya kaum Umawi berhasil merebut Mekkah sendiri. Ka'bah
sempat hancur dan harus dibangun kembali karena pertempuran memperebutkan kota suci itu, dan di situ Khalifah Abdullah ibn al-Zubair (ibn al-Awwam) terbunuh.
Umar bin Abdul Aziz
Para ahli mengatakan bahwa gerakan perorangan untuk mencatat hadis telah terjadi sejak masa sangat awal sejarah Islam, rupanya malah sejak masa nabi sendiri. Tapi sejarah mencatat bahwa dorongan paling kuat ke arah sana itu dimulai oleh Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (ibn Marwan) yang dikenal sebagai Umar II (memerintah 717-720) karena mengingatkan orang kepada Khalifah Umar ibn al-Khaththab.
Umar II sebenarnya hanya melanjutkan kecenderungan yang sudah ada pada kaum Marwani atau Umawi, khususnya sejak kekhalifahan Abd al-Malik ibn Marwan. Dorongan yang amat kuat untuk menyudahi berbagai fitnah yang telah meninggalkan kesan-kesan penuh trauma itu telah mengharuskan kaum Marwani atau Umawi untuk menunjukkan sikap-sikap yang lebih akomodatif dan kompromistis.
Dalam rangka ini, tindakan terpenting ialah mengakui Ali sebagai khalifah yang sah, pada urutan keempat. Menurut Cak Nur, artinya, Utsman, anggota-anggota klan mereka, tetap lebih unggul daripada Ali, namun Ali lebih unggul daripada Mu'awiyah, juga anggota klan mereka tapi menjadi musuh Ali.
Dengan begitu kaum Marwani atau Umawi meletakkan landasan dialog intern Islam yang meliputi semua, yang di situ setiap kelompok memperoleh kehormatannya, sedikit atau pun banyak.
Tradisi ini berkembang dan tumbuh kuat, dan menjadi dasar paham yang kini merupakan anutan terbesar kaum Muslim di dunia, yaitu paham yang menggabungkan antara ideologi Jama'ah (persatuan dan kesatuan) dan ideologi Sunnah (paham yang memandang otoritas masa lalu dan tradisi yang sah sebagai bahan rujukan), maka disebut Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah, biasa disingkat dengan Ahl al-Sunnah, lebih singkat lagi, golongan Sunni.
Ali bin Abi Thalib adalah kemenakan dan menantu Nabi, serta pelopor mula pertama dalam Islam. Beliau telah tumbuh sejak zaman Nabi sendiri sebagai seorang pahlawan, ahli perang (warrior) yang tangkas, dengan sikap hidup yang penuh kesalehan dan hikmah (wisdom) yang luas dan mendalam.
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939-2005) atau populer dipanggil Cak Nur , menuturkan bagi banyak pihak di Madinah, meskipun tidak disepakati oleh semua orang, ketokohan Ali membuatnya paling tepat sebagai pengganti (khalifah) Nabi , tidak hanya sekarang sesudah Utsman, tapi sejak wafat Nabi sendiri.
Ali sebenarnya adalah tokoh yang amat tepat menghadapi situasi kritis itu. Tetapi ketokohannya itu menjadi problem karena kenyataan bahwa sejak semula ia, dibawa oleh sikapnya yang saleh dan populis, menunjukkan simpati kepada para pemrotes kebijaksanaan Utsman, meskipun jelas mustahil mendukung pembunuhannya.
Dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" Cak Nur mengatakan suasana curiga kepada Ali dari banyak pihak menjadi tak terhindarkan.
Kecurigaan itu mewujudkan diri dalam reaksi-reaksi tidak setuju kepada pengangkatan Ali sebagai khalifah, tidak saja dari kalangan yang secara langsung mempunyai hubungan darah dengan Utsman, Khalifah terbunuh, yaitu kalangan kaum Umawi (Umawi, anak cucu Umayyah ibn 'Abd Syams, ayah dari pada kakek Mu'awiyah ) tetapi juga dari tokoh-tokoh seperti A'isyah, puteri Abu Bakar dan isteri Nabi yang sangat dicintainya, juga al-Zubair ibn al-Awwam , seorang anggota keluarga Abu Bakar .
Sedangkan dari kalangan kaum Umawi, seperti dapat diduga, tuntutan untuk pengusutan pembunuhan Utsman sangat keras, dipelopori oleh politikus dan gubernur yang cakap, Mu'awiyah (anak Abu Sufyan, musuh utama Nabi sampai penaklukan Mekkah), dan dibantu oleh 'Amr ibn al-'Ash , gubernur dan komandan militer yang menaklukkan Mesir.
Berbagai reaksi kurang menguntungkan terhadap Ali itu tidak saja membuat situasi masyarakat Islam yang masih muda dilanda suasana tak menentu dan sedikit chaotik. Reaksi-reaksi itu segera menyeret masyarakat Islam ke dalam kancah peperangan sesama mereka, dengan korban jiwa yang tidak sedikit.
Ali yang seorang ahli perang (warrior) yang cakap dan berani agaknya dengan mudah mengalahkan Aisyah dan al-Zubayr di pertempuran dekat Basrah yang kemudian dikenal sebagai "Peristiwa Onta" (karena A'isyah memimpin pasukan dengan menunggang onta, dan onta itu terbunuh dalam pertempuran).
"Tetapi peristiwa itu sendiri menimbulkan luka sosial-keagamaan pada ummat Islam yang sampai sekarang belum seluruhnya tersembuhkan," ujar Cak Nur.
Menurutnya, yang lebih parah, dengan akibat yang amat jauh dalam bidang sosial-keagamaan, ialah permusuhan antara Ali dan Mu'awiyah. Juga disebabkan oleh kecakapan militernya, Ali agaknya akan akhirnya memenangkan pertempurannya melawan Mu'awiyah.
Akan tetapi mungkin sebagai gabungan antara kesalehan yang lebih mementingkan perdamaian dan sikap meremehkan kepintaran, jika tidak bisa disebut kelicikan, diplomatik Mu'awiyah dan para pendukungnya, Ali secara iktikad baik dan "polos" menerima usul arbitrasi di Shiffin. Akibatnya ialah bahwa ia justru kehilangan dukungan dari para sponsornya yang gigih dan militan, yang sejak semula menginginkan penyelesaian militer terhadap Mu'awiyah.
Mereka ini kemudian membentuk kelompok ketiga, dan menamakan diri mereka kaum al-Syurat, yakni, "orang-orang yang menjual diri (kepada Allah)", dengan secara total menyerahkan dan mengorbankan diri untuk agama yang benar.
Sebutan ini merujuk kepada firman Allah, "Dan di antara manusia ada yang 'menjual' dirinya demi memperoleh ridla Allah. Dan Allah itu Maha Penyantun kepada para hamba-Nya." [ QS al-Baqarah 2 :207]
Menurut Cak Nur, sebutan al-Syurat itu sekaligus memberi gambaran tentang hakikat dan sifat gerakan mereka, yaitu gerakan dengan semangat sendirinya mereka berkembang menjadi kelompok dengan tingkat ekstremisme yang amat tinggi, yang kemudian secara tak terhindarkan membawa mereka kepada situasi mudah sekali terpecah-belah dan saling bermusuhan, untuk akhirnya melenyapkan diri mereka sendiri.
Egalitarianisme radikal kelompok ini membawa mereka kepada konsep-konsep sosial politik yang sesungguhnya lebih dekat kepada cita-cita Islam seperti diletakkan oleh Nabi dan merupakan kelanjutan cita-cita universal dalam tradisi bangsa-bangsa Irano-Semitik sejak ratusan tahun, dan yang dengan kuat sekali mewarnai pandangan-pandangan hidup di daerah Bulan Sabit Subur.
Cak Nur mengatakan tetapi karena dibawakan dengan militansi yang hampir tak terkendalikan, maka konsep-konsep itu yang antara lain melahirkan doktrin hijrah, yaitu semua orang harus menyingkir dari tatanan mapan dan bergabung dengan mereka demi iman yang benar telah menjerumuskan masyarakat Islam kepada suasana "semua lawan semua," tanpa ada pihak yang benar-benar diuntungkan.
Korban yang paling tragis dari ekstremisme mereka ialah Ali sendiri, seorang tokoh yang pernah mereka unggulkan dengan penuh antusiasme, namun akhirnya mereka habisi dalam suatu pembunuhan politik.
Karena kegiatan mereka yang selalu merongrong tatanan mapan, mereka kemudian lebih dikenal sebagai kaum Khawarij (pemberontak). Mereka juga dinamakan kaum al-Haruriyyun, nisbat kepada oase al-Harura dekat Kufah, tempat mereka berpangkalan. Mereka ini kemudian mengalami penghancuran diri sendiri (self annihilation) justru karena watak mereka yang sangat akstrem.
"Akibatnya ialah bahwa mereka hampir-hampir praktis tidak tertahan untuk menyaksikan zaman modern sekarang ini," ujar Cak Nur.
Menurut Cak Nur, tetapi sebenarnya hanya secara fisik mereka boleh dikata terhapus dari sejarah. Sedangkan secara doktrinal, justru banyak sekali paham-paham keagamaan yang kini berkembang dan mapan di kalangan kaum Muslimin dapat ditelusuri kembali sebagai asal dari problematika kaum Khawarij.
Bahkan ada tanda-tanda bahwa problematika kaum Khawarij itu, sebagaimana dahulu muncul dalam sistem kalam kaum Mu'tazilah, kini menunjukkan daya tarik dan vitalitasnya di kalangan sebagian kaum Muslim "liberal", dalam arti lebih banyak menunjukkan sikap kritis dan mungkin ingin lepas dari kukungan tatanan mapan sosial-keagamaan yang ada.
Tahun Persatuan
Perkembangan lebih lanjut masyarakat Islam setelah terbunuhuya Ali oleh kaum Khawarij ialah pengakuan dan dukungan hampir universal masyarakat kepada kekuasaan Mu'awiyah di Damaskus, sekurang-kurangnya secara de facto. Terutama pada tahun 41 Hijriyah, ummat Islam di bawah Mu'awiyah dapat dikatakan kembali kepada keutuhannya yang semula, dan orang dengan penuh harapan menyebut tahun itu sebagai "Tahun Persatuan" (Amal-Jama'ah).
Al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Bek dalam Tarikh al-Tasri al-Islami mengatakan kala itu hampir semua kelompok Islam mengakui kekuasaan de facto Mu'awiyah, maka tahun 41 Hijri disebut "Tahun Persatuan" ('Am al Jama'ah).
Dengan modal persatuan itu Mu'awiyah dapat melanjutkan program-program ekspansi militer dan politik yang sempat tertunda beberapa lama oleh adanya fitnah.
Mu'awiyah ternyata menunjukkan kecakapan memerintah yang mengesankan, sehingga para ahli sejarah ada yang mengatakan sebagai Khalifah Islam yang kedua terbesar, yakni, sesudah Umar Ibn al-Khattab.
Hanya saja, setelah Mu'awiyah meninggal, keadaan kembali kepada kekacauannya yang semula. Dengan maksud untuk tidak mengambil risiko yang dapat mengganggu "keseimbangan rawan" (delicate balance) susunan masyarakat Islam yang ada dan yang diperoleh dengan banyak pengorbanan itu, sudah sejak semula dalam kekhalifahannya Mu'awiyah meminta agar masyarakat menyetujui untuk mengangkat Yazid, anak sendiri, sebagai penggantinya.
Sebagian besar masyarakat Islam menyetujui ide itu, dan Yazid pun dinyatakan sebagai Khalifah. Tetapi kekhalifahan Yazid yang memang tidak banyak memenuhi gambaran ideal seorang penguasa Muslim itu segera mengundang munculnya kembali pertentangan-pertentangan laten.
Fitnah Kedua
Tantangan terhadap Yazid mula-mula datang dari para pendukung Ali yang memang nampak selalu siap menggunakan setiap kesempatan. Sesungguhnya mereka berharap, sepeninggal Ali, agar Hasan, anaknya, mempertahankan klaim kekhalifahan, menghadapi Mu'awiyah di Damaskus. Tetapi Hasan mengecewakan mereka dengan sikapnya yang lebih senang turun dari klaim itu dan hidup hampir menyendiri secara damai di Madinah.
Maka harapan para pendukung Ali kini ditujukan kepada Husain, saudara Hasan, yang mereka undang untuk memberontak di Kufah, Irak. Tetapi, sebelum tentera Syria datang menyerbu, banyak kalangan penduduk Kufah sendiri yang menarik dukungannya kepada Husain, setelah berhasil dibujuk oleh gubernur Syria.
Husain dengan kekuatan tenteranya yang kecil menolak untuk menyerah, dan mereka ini terkucilkan di padang pasir Karbala, dekat Kufah. Tentera Yazid menghancurkan mereka, dan Husain, putera Ali dan Fathimah, cucu Nabi, terbunuh secara amat kejam dan tragis.
Terbunuhnya Husain, seperti terbunuhnya Utsman sebelumnya, merupakan peristiwa terpenting dalam fitnah kedua, yang mempunyai dampak amat luas dan mendalam pada sistem sosial-keagamaan Islam sampai sekarang.
Adalah sejak peristiwa Karabala itu para pendukung setia Ali dan keturunannya dikenal dengan sebutan kaum Syi'ah (yang sebetulnya lengkapnya ialah syi'ah Ali. "Partai Ali").
Dengan menggunakan sentimen umum terhadap kematian tragis Husain, kaum Syi'ah perlahan-lahan mengkonsolidasikan diri dan mengembangkan pandangan-pandangan sosial-politik keagamaan yang kelak menjadi dasar sistem doktrinal Syi'isme.
Abdullah Ibnu al-Zubair
Yazid tidak hanya menghadapi tantangan dari kaum Syi'ah. Di Mekkah bangkit Abdullah ibn al-Zubair (ibn al-Awwam) yang ayahnya dahulu pernah menentang Ali bersama A'isyah dan kalah kini bangkit menentang Yazid dengan cukup efektif.
Yazid tidak bisa mengatasinya, dan setelah penguasa Damaskus ini meninggal sesudah menjabat sebagai khalifah selama sekitar tiga tahun saja, Abdullah oleh sebagian besar umat diakui sebagai khalifah yang sah, dengan Mekkah sebagai ibukota.
Tetapi Abdullah tidak menikmati kekuasaan yang mantap. Di luar kota Mekkah sendiri, meliputi sebagian besar pedalaman Jazirah Arabia, khususnya di daerah pedesaan atau badawah, kekuasaan berada di tangan kaum Khawarij yang seperti selama ini melancarkan perang "hit and run" terhadap Abdullah ibn al-Zubair.
Sebenarnya kaum Khawarij ini hampir berhasil menghidupkan beberapa nilai yang diajarkan oleh Nabi, khususnya paham persamaan umat manusia. Egalitarianisme mereka telah membuat mereka termasuk yang pertama dalam sejarah Islam yang tidak membeda bedakan antara Muslim Arab dan Muslim bukan-Arab. Dan politik mereka yang menerapkan prinsip nonintervensi terhadap kelompok-kelompok bukan-Muslim, dengan membiarkan mereka dalam otonomi penuh mengurus kepentingan mereka sendiri, telah membuat kaum Khawarij cukup favorable di mata kaum non-muslim.
Hanya saja, kaum Khawarij gagal memperoleh dukungan dari kalangan Muslim yang lebih terorganisir di kota-kota. Kebiasaan mereka untuk melakukan gerilya dalam kelompok-kelompok penyerang yang disusun seperti sistem kabilah sebelum Islam (masa Jahiliyah) telah mengundang antipati orang-orang kota.
Ini membuat kekuasaan kaum Khawarij, meskipun selama fitnah kedua ini menguasai teritorial yang paling luas, tidak pernah efektif.
Apalagi, setelah secara singkat menjadi pendukung Abdullah ibn al-Zubair pada saat permulaan penampilan khalifah Mekkah itu, kaum Khawarij terpecah menjadi dua, yang berbasiskan Iran, yang dikenal sehagai kaum Azariqah, menganggap siapa saja yang tidak bergabung dengan mereka sebagai murtad, dengan akibat hukum bunuh yang mereka laksanakan secara konsekuen.
Mereka ini akhirnya dikalahkan oleh tentara Ibn al-Zubair yang berpangkalan di Basrah, Irak.
Selain menghadapi kaum Khawarij, Ibn al-Zubair masih harus menyelesaikan masalah Syi'ah. Setelah mengalami kekalahan yang tragis oleh Yazid di padang Karbala, kaum Syi'ah sekali lagi mencoba memobilisasi diri dan menemukan figur sentral mereka pada putera Ali yang lain, yaitu Ibn al-Hanafiyyah.
Pemberontakan kaum Syi'ah ini dipimpin oleh Mukhtar ibn Abi Ubaid. Kaum Syi'ah, sama halnya dengan kaum Khawarij, juga ingin menegakkan prinsip persamaan manusia, namun dengan cara-cara yang lebih moderat.
Mereka dengan tegas mengambil sikap yang menyamakan status antara orang-orang Muslim bukan-Arab dengan Muslim Arab. Tetapi egalitarianisme mereka ini justru membuat marah orang-orang Muslim Arab Kufah, yang kemudian berpaling melawan mereka.
Tantangan orang Kufah ini mempermudah pemberontakan kaum Syi'ah untuk dipatahkan oleh Ibn al-Zubair dengan menggunakan kekuatan tentara dari Basrah yang saat itu telah bebas dari tugas menghadapi kaum Khawarij.
Keberhasilan Ibn al-Zubayr mematahkan kaum Khawarij dan Syi'ah tidak berarti bahwa mereka benar-benar bebas dari oposisi. Kaum Khawarij dan Syi'ah itu tetap merupakan ancaman yang laten.
Sementara itu, di utara, di Syria, kekuatan-kekuatan oposisi kelanjutan kaum Umawi berhasil mengkonsolidasi diri. Kaum Umawi yang berkoalisi dengan kaum Banu Kalb (sandaran utama kekuatan Arab Syria bagi kaum Umawi sejak masa Mu'awiyah) mengangkat Marwan ibn al-Hakam, sepupu Mu'awiyah, sebagai Khalifah.
Adalah Marwan ini yang dahulu bertindak sebagai penasihat utama Khalifah Utsman ibn Affan dan didakwa sebagai dalang pembunuhan pemimpin delegasi Mesir yang datang ke Madinah untuk mengadukan perkara mereka, dan yang kemudian membangkitkan amarah mereka dengan akibat pembunuhan khalifah.
Dengan cepat kekuatan kaum Umawi di Syria sebagai salah satu kontestan untuk kekhalifahan tumbuh dan berkembang, sehingga Mesir pun tidak lama jatuh ke tangan Marwan dan anaknya, Abd al-Malik.
Setelah menyusul Irak, Irak juga jatuh ke tangan kaum Umawi, yang berarti hilangnya basis dukungan bagi Ibn al-Zubair di Mekkah. Kota-kota garnizun di bawah kepemimpinan kaum Umawi yang tegar kini lebih efektif dalam melawan gerilya kaum Khawarij dari pedalaman dibanding keadaan mereka di bawah kepemimpinan Ibn al-Zubair yang lunak.
Hingga akhirnya kaum Umawi berhasil merebut Mekkah sendiri. Ka'bah
sempat hancur dan harus dibangun kembali karena pertempuran memperebutkan kota suci itu, dan di situ Khalifah Abdullah ibn al-Zubair (ibn al-Awwam) terbunuh.
Umar bin Abdul Aziz
Para ahli mengatakan bahwa gerakan perorangan untuk mencatat hadis telah terjadi sejak masa sangat awal sejarah Islam, rupanya malah sejak masa nabi sendiri. Tapi sejarah mencatat bahwa dorongan paling kuat ke arah sana itu dimulai oleh Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (ibn Marwan) yang dikenal sebagai Umar II (memerintah 717-720) karena mengingatkan orang kepada Khalifah Umar ibn al-Khaththab.
Umar II sebenarnya hanya melanjutkan kecenderungan yang sudah ada pada kaum Marwani atau Umawi, khususnya sejak kekhalifahan Abd al-Malik ibn Marwan. Dorongan yang amat kuat untuk menyudahi berbagai fitnah yang telah meninggalkan kesan-kesan penuh trauma itu telah mengharuskan kaum Marwani atau Umawi untuk menunjukkan sikap-sikap yang lebih akomodatif dan kompromistis.
Dalam rangka ini, tindakan terpenting ialah mengakui Ali sebagai khalifah yang sah, pada urutan keempat. Menurut Cak Nur, artinya, Utsman, anggota-anggota klan mereka, tetap lebih unggul daripada Ali, namun Ali lebih unggul daripada Mu'awiyah, juga anggota klan mereka tapi menjadi musuh Ali.
Dengan begitu kaum Marwani atau Umawi meletakkan landasan dialog intern Islam yang meliputi semua, yang di situ setiap kelompok memperoleh kehormatannya, sedikit atau pun banyak.
Tradisi ini berkembang dan tumbuh kuat, dan menjadi dasar paham yang kini merupakan anutan terbesar kaum Muslim di dunia, yaitu paham yang menggabungkan antara ideologi Jama'ah (persatuan dan kesatuan) dan ideologi Sunnah (paham yang memandang otoritas masa lalu dan tradisi yang sah sebagai bahan rujukan), maka disebut Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah, biasa disingkat dengan Ahl al-Sunnah, lebih singkat lagi, golongan Sunni.
(mhy)