Kisah Pembangkangan Muawiyah kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib
loading...
A
A
A
KEHIDUPAN kenegaraan dan tata kemasyarakatan yang ditinggalkan Khalifah Utsman bin Affan r.a. memang berada dalam situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan Ali bin Abi Thalib r.a. sebagai Khalifah .
Sejak sebelum dibai'at Khalifah Ali bin Abi Thalib sudah membayangkan adanya kesulitan-kesulitan besar yang bakal dihadapi. Berbagai macam problema sosial, politik dan ekonomi ternyata muncul dalam waktu yang bersamaan.
Langkah pertama untuk membenahi keadaan yang serba tak mantap, tentu saja memulihkan ketertiban, khususnya di ibukota, Madinah.
H.M.H. Al Hamid Al Husaini dalam bukunya berjudul " Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. " memaparkan ribuan kaum pemberontak yang bertebaran di ibukota berhasil diimbau dan dijinakkan sampai mereka berhasil dipulihkan kembali ke dalam kehidupan normal.
Bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak ada kemungkinan untuk bertindak terhadap ribuan kaum pemberontak yang telah mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman r.a. Bertindak terhadap mereka, berarti menyulut api perang saudara.
Bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. memang tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Daripada bermusuhan dengan kaum muslimin yang menuntut terlaksananya kebenaran dan keadilan, lebih baik berhadap-hadapan dengan tokoh-tokoh Bani Umayyah, betapa pun besarnya risiko yang akan dipikul.
Dan ternyata, tidak bertindaknya Khalifah Ali bin Abi Thalib terhadap kaum mulimin yang memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a., dijadikan alasan dan dalih oleh lawan-lawan politiknya untuk menggerakan kekuatan oposisi dan perlawanan. Kemungkinan itu pun telah diperhitungkan oleh
Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Ada lagi tindakan dan langkah Khalifah Ali bin Abi Thalib yang sangat menjengkelkan lawan-lawan politiknya. Yaitu tindakan menertibkan aparatur pemerintahan. Penguasa-penguasa daerah yang selama 6 tahun terakhir masa pemerintahan Khalifah Utsman r.a. terbukti telah menyalah-gunakan wewenang untuk kepentingan pribadi dan golongan, digeser seorang demi seorang.
Banyak pejabat tinggi yang tidak dipakai lagi. Di antara mereka ialah Marwan bin Al Hakam, seorang pembantu Khalifah Utsman r.a. yang sangat dominan kekuasaannya, yang kemudian lari meninggalkan Madinah. Juga Abdullah bin Abi Sarah digeser dari kedudukkannya sebagai penguasa daerah Mesir.
Pembangkang
Khalifah Ali bin Abi Thalib juga berniat mengganti penguasa daerah Syam yang berpengaruh itu, Muawiyah bin Abi Sufyan .
Sebelum bertindak melaksanakan penertiban, Khalifah Ali bin Abi Thalib telah mengadakan pertukaran pendapat dengan para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar . Ia yakin, bahwa hanya dengan aparatur yang bersih dan sepenuhnya mengabdi kepentingan agama dan ummat saja, pemerintahnya akan dapat berjalan dengan lancar dan kebenaran serta keadilan dapat ditegakkan.
Tetapi memecat Muawiyah bin Abi Sufyan tidaklah mudah. Ia dalam waktu relatif panjang menjadi seorang penguasa di daerah Syam. Ia bukan hanya membangkang, bahkan menentang kekhalifahan Ali r.a. secara terang-terangan.
Sejak mendengar Ali bin Abi Thalib terbai'at sebagai Amirul Mukminin, Muawiyah telah memasang kuda-kuda untuk menjegal kepemimpinan Ali. Apa yang disiapkan oleh Muawiyah bukannya tidak dimengerti oleh Amirul Mukminin, dan justru itulah motivasinya hendak menggeser Muawiyah.
Banyak sahabat Ali bin Abi Thalib yang menyampaikan kekhawatiran bila Khalifah Ali bin Abi Thalib melaksanakan niatnya. Mereka menasehatkan agar Ali bin Abi Thalib tidak cepat-cepat mengambil tindakan terhadap Muawiyah.
Mereka mengatakan: "Kami yakin Muawiyah tidak akan tinggal diam bila dia disingkirkan dari kedudukannya. Sebaliknya, ada kemungkinan ia merasa cukup puas jika sementara dibiarkan memegang jabatan itu."
Tetapi Khalifah Ali bin Abi Thalib sebagai seorang pemimpin yang selalu bersikap prinsipal, tak mau mundur sejengkal pun. Ia menegaskan pendiriannya: "Aku tidak dapat lagi memakai Muawiyah, sekalipun hanya untuk dua hari! Aku tidak akan mempergunakannya dalam tugas apa pun juga," ucapnya.
"Bahkan ia tidak akan kuperbolehkan menghadiri peristiwa upacara penting. Ia juga tidak akan mendapat kedudukan dalam pasukan muslimin!"
Pendirian Ali bin Abi Thalib sudah tidak dapat ditawar lagi, Keputusan diambil: mengganti Muawiyah dengan Sahl bin Hunaif, seorang dari kaum Anshar.
Tindakan yang diambil Khalifah Ali bin Abi Thalib ini mengawali pertentangan terbuka dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada waktu Sahl bin Hunaif tiba di Damsyik, Muawiyah secara terang-terangan menolaknya. Malahan ia berani memerintahkan agar Sahl cepat kembali ke Madinah. Peristiwa ini membuat para sahabat Ali bin Abi Thalib bertambah khawatir.
Penolakan dan pembangkangan Muawiyah ternyata sama sekali tidak menggetarkan pikiran Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia berpegang teguh pada firman Allah yang menegaskan, bahwa tiap muslim wajib taat kepada Waliyyul Amri (pemegang kekuasaan) selama Waliyyul Amri tidak berlaku durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib, perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya adalah di atas segala-galanya.
Untuk melaksanakan dan membela perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya ia tidak menghitung untung rugi. Di saat banyak sekali orang yang merasa gelisah, ia tetap tenang menghadapi pembangkangan Muawiyah. Ia mengirim utusan ke Damsyik, membawa surat perintah, agar seterimanya surat itu, Muawiyah datang ke Madinah untuk menyatakan bai'atnya kepada Amirul Mukminin. (Bersambung)
Sejak sebelum dibai'at Khalifah Ali bin Abi Thalib sudah membayangkan adanya kesulitan-kesulitan besar yang bakal dihadapi. Berbagai macam problema sosial, politik dan ekonomi ternyata muncul dalam waktu yang bersamaan.
Langkah pertama untuk membenahi keadaan yang serba tak mantap, tentu saja memulihkan ketertiban, khususnya di ibukota, Madinah.
H.M.H. Al Hamid Al Husaini dalam bukunya berjudul " Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. " memaparkan ribuan kaum pemberontak yang bertebaran di ibukota berhasil diimbau dan dijinakkan sampai mereka berhasil dipulihkan kembali ke dalam kehidupan normal.
Bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak ada kemungkinan untuk bertindak terhadap ribuan kaum pemberontak yang telah mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman r.a. Bertindak terhadap mereka, berarti menyulut api perang saudara.
Bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. memang tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Daripada bermusuhan dengan kaum muslimin yang menuntut terlaksananya kebenaran dan keadilan, lebih baik berhadap-hadapan dengan tokoh-tokoh Bani Umayyah, betapa pun besarnya risiko yang akan dipikul.
Dan ternyata, tidak bertindaknya Khalifah Ali bin Abi Thalib terhadap kaum mulimin yang memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a., dijadikan alasan dan dalih oleh lawan-lawan politiknya untuk menggerakan kekuatan oposisi dan perlawanan. Kemungkinan itu pun telah diperhitungkan oleh
Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Ada lagi tindakan dan langkah Khalifah Ali bin Abi Thalib yang sangat menjengkelkan lawan-lawan politiknya. Yaitu tindakan menertibkan aparatur pemerintahan. Penguasa-penguasa daerah yang selama 6 tahun terakhir masa pemerintahan Khalifah Utsman r.a. terbukti telah menyalah-gunakan wewenang untuk kepentingan pribadi dan golongan, digeser seorang demi seorang.
Banyak pejabat tinggi yang tidak dipakai lagi. Di antara mereka ialah Marwan bin Al Hakam, seorang pembantu Khalifah Utsman r.a. yang sangat dominan kekuasaannya, yang kemudian lari meninggalkan Madinah. Juga Abdullah bin Abi Sarah digeser dari kedudukkannya sebagai penguasa daerah Mesir.
Pembangkang
Khalifah Ali bin Abi Thalib juga berniat mengganti penguasa daerah Syam yang berpengaruh itu, Muawiyah bin Abi Sufyan .
Sebelum bertindak melaksanakan penertiban, Khalifah Ali bin Abi Thalib telah mengadakan pertukaran pendapat dengan para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar . Ia yakin, bahwa hanya dengan aparatur yang bersih dan sepenuhnya mengabdi kepentingan agama dan ummat saja, pemerintahnya akan dapat berjalan dengan lancar dan kebenaran serta keadilan dapat ditegakkan.
Tetapi memecat Muawiyah bin Abi Sufyan tidaklah mudah. Ia dalam waktu relatif panjang menjadi seorang penguasa di daerah Syam. Ia bukan hanya membangkang, bahkan menentang kekhalifahan Ali r.a. secara terang-terangan.
Sejak mendengar Ali bin Abi Thalib terbai'at sebagai Amirul Mukminin, Muawiyah telah memasang kuda-kuda untuk menjegal kepemimpinan Ali. Apa yang disiapkan oleh Muawiyah bukannya tidak dimengerti oleh Amirul Mukminin, dan justru itulah motivasinya hendak menggeser Muawiyah.
Banyak sahabat Ali bin Abi Thalib yang menyampaikan kekhawatiran bila Khalifah Ali bin Abi Thalib melaksanakan niatnya. Mereka menasehatkan agar Ali bin Abi Thalib tidak cepat-cepat mengambil tindakan terhadap Muawiyah.
Mereka mengatakan: "Kami yakin Muawiyah tidak akan tinggal diam bila dia disingkirkan dari kedudukannya. Sebaliknya, ada kemungkinan ia merasa cukup puas jika sementara dibiarkan memegang jabatan itu."
Tetapi Khalifah Ali bin Abi Thalib sebagai seorang pemimpin yang selalu bersikap prinsipal, tak mau mundur sejengkal pun. Ia menegaskan pendiriannya: "Aku tidak dapat lagi memakai Muawiyah, sekalipun hanya untuk dua hari! Aku tidak akan mempergunakannya dalam tugas apa pun juga," ucapnya.
"Bahkan ia tidak akan kuperbolehkan menghadiri peristiwa upacara penting. Ia juga tidak akan mendapat kedudukan dalam pasukan muslimin!"
Pendirian Ali bin Abi Thalib sudah tidak dapat ditawar lagi, Keputusan diambil: mengganti Muawiyah dengan Sahl bin Hunaif, seorang dari kaum Anshar.
Tindakan yang diambil Khalifah Ali bin Abi Thalib ini mengawali pertentangan terbuka dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada waktu Sahl bin Hunaif tiba di Damsyik, Muawiyah secara terang-terangan menolaknya. Malahan ia berani memerintahkan agar Sahl cepat kembali ke Madinah. Peristiwa ini membuat para sahabat Ali bin Abi Thalib bertambah khawatir.
Penolakan dan pembangkangan Muawiyah ternyata sama sekali tidak menggetarkan pikiran Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia berpegang teguh pada firman Allah yang menegaskan, bahwa tiap muslim wajib taat kepada Waliyyul Amri (pemegang kekuasaan) selama Waliyyul Amri tidak berlaku durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib, perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya adalah di atas segala-galanya.
Untuk melaksanakan dan membela perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya ia tidak menghitung untung rugi. Di saat banyak sekali orang yang merasa gelisah, ia tetap tenang menghadapi pembangkangan Muawiyah. Ia mengirim utusan ke Damsyik, membawa surat perintah, agar seterimanya surat itu, Muawiyah datang ke Madinah untuk menyatakan bai'atnya kepada Amirul Mukminin. (Bersambung)
(mhy)