Begini Cara Syaikh Ahmad Al-Kurani Mendidik Sultan Muhammad Al-Fatih
loading...
A
A
A
Salah seorang ulama yang menjadi guru Sultan Muhammad al-Fatih adalah Syaikh Ahmad al-Kurani . Beliau mendidik sang penakluk Konstantinopel ini tatkala masih anak-anak. Ayah Muhammad Al Fatih, Sultan Murad II membekali Syaikh Ahmad al Kurani dengan sebilah kayu untuk digunakan jika diperlukan.
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam bukunya berjudul "Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah", menceritakan pada pertemuan pertama, Al-Kurani mengajar Muhammad al-Fatih dengan membawa sebilah kayu tersebut. “Ini pemberian Sultan untuk memukulmu jika kamu tidak disiplin saat belajar,” ujar Syaikh al-Kurani.
Mendengar itu, Muhammad al Fatih malah tertawa. Seketika itu juga Syaikh Kurani memukul Muhammad dengan keras. Muhammad al-Fatih pun terkejut bukan kepalang. Dia tidak menyangka guru barunya benar-benar memukulnya.
Sejak saat itu Muhammad Al Fatih mengalami perubahan yang sangat signifikan. Dia menjadi anak yang patuh dan hormat terhadap gurunya dan mulai belajar dengan serius.
Di tangan Syaikh Kurani inilah awal perubahan sikap Muhammad Al Fatih terjadi. Muhammad tumbuh menjadi pemuda yang keras kemauannya dan serius dalam mewujudkan keinginannya.
Saat penaklukan Konstantinopel dua guru yang mendampingi Sultan al-Fatih. Mereka adalah Syaikh Kurani bersama Syaikh Aaq Syamsuddin. Beliau pula yang menulis surat pemberitahuan penaklukan Konstantinopel kepada penguasa-pengusaha negeri Islam.
Penyesalan Sultan
Terkait Syaikh al-Kurani pernah terjadi satu peristiwa yang membuat Sultam marah. Buku-buku sejarah mengungkapkan bahwa suatu ketika Sultan Muhammad Al-Fatih mengutus salah seorang pelayannya dengan membawa sesuatu yang bergambar kepada Syaikh Ahmad Al-Kurani. Saat itu Syaikh menjadi hakim militer. Syaikh mendapatkan apa yang dibawa oleh pelayan itu bertentangan dengan syariat, maka gambar itu pun dia sobek.
Peristiwa penyobekan kertas bergambar itu sangat memukul perasaan Sultan Muhammad Al-Fatih. Dia marah besar atas perbuatan Syaikh tersebut. Saking marahnya, Sultan memecat Syaikh Kurani dari kedudukannya. Maka terjadilah konflik antara Sultan dengan gurunya itu.
Al-Kurani segera berangkat ke Mesir. Di Mesir dia diterima dengan penghormatan tinggi oleh Sultan Mesir Qaytabay. Syaikh tinggal bersamanya beberapa waktu lamanya.
Tak lama kemudian, Sultan Muhammad Al-Fatih menyesali apa yang dia lakukan. Dia pun menulis surat kepada Sultan Qaytabay dan memintanya untuk memulangkan Syaikh Al-Kurani kepadanya. Sultan Qaytabay menceritakan isi surat Sultan Muhammad Al-Fatih kepada Syaikh Al-Kurani. Kemudian Qaytabay berkata. “Janganlah kau kembali padanya, sebab aku menghormatimu lebih dari penghormatannya."
Syaikh Al Kurani menjawab, “Apa yang kau katakan adalah benar. Hanya saja antara aku dan dia, tumbuh rasa saling mencintai yang demikian mulia, layaknya cinta seorang anak kepada orangtuanya. Sedangkan apa yang terjadi antara kita adalah sesuatu yang lain. Dia tahu ini. Dia juga tahu bahwa saya suka padanya secara alami. Maka jika saya tidak datang padanya, dia akan tahu bahwa saya dilarang olehmu dan ini akan menimbulkan permusuhan antara engkau dan dia."
Sultan Qaytabay membenarkan apa yang dikatakan Syaikh. Maka dia pun memberikan uang dalam jumlah besar kepada Al Kurani dan mempersiapkan seluruh keperluan perjalanan. Dia juga mengirimkan hadiah kepada Sultan Muhammad Al-Fatih. Sesampainya di Konstantinopel, Sultan mengangkatnya sebagai hakim kemudian sebagai mufti. Sultan menyediakan semua keperluan Syaikh dan menghormatinya dengan penghormatan tinggi.
Imam Asy-Syaukani berkata, “Syaikh Al-Kurani berubah posisi dari seorang hakim menjadi seorang ahli fatwa. Banyak orang-orang besar datang menemuinya. Dia mensyarah buku Jam’ul Jawami’ dan memberi catatan penting terhadap Jalaluddin Al-Mahalli, seorang mufassir.
Dia menulis tafsir dan mensyarah buku Shahih Bukhari. Dia juga menulis kasidah dalam ilmu 'Arudh dalam 600 bait syair. Dia membangun sebuah masjid dan sekolah di Istambul yang diberi nama Daarul Hadits.
Dunia berada di bawah kekuasaannya dan dia membangun banyak tempat singgah. Ilmunya menyebar ke mana-mana dan diambil oleh banyak orang besar. Dia menunaikan ibadah Haji pada tahun 761 H. Dia tetap terhormat sampai wafatnya pada akhir tahun 792 H. Sultan dan bawahan-bawahannya menyalatkan jenazahnya.
Di antara pembukaan syairnya:
”Dia adalah matahari, hanya saja dia adalah singa pemberani
Dia adalah laut, hanya saja dia adalah raja di muka bumi.”
Penulis buku Asy-Syaqaiq An-Nu’maniyyah menulis biografinya dengan mengatakan: “Dia berbicara dengan Sultan dengan menyebut nama dan tidak membungkuk saat berhadapan dengannya. Dia tidak pernah mencium tangan Sultan. Dia hanya bersalaman biasa saja, dan tidak pernah datang menemui Sultan, kecuali ada seseorang yang diutus Sultan dan memintanya datang untuk menemuinya. Dia berkata pada Sultan, ‘Makananmu haram, pakaianmu haram, maka hendaklah engkau hati-hati’"
Pengarang buku ini menyebutkan jejak langkah Syaikh Al Kurani yang menunjukkan ia termasuk ulama yang mengamalkan ilmunya.
Tidak sekali pun Sultan mendengar seorang alim yang ditimpa kesulitan hidup atau kelaparan di tempatnya tinggal, kecuali dia akan datang kepadanya dan akan memberikan semua apa yang dia butuhkan.
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam bukunya berjudul "Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah", menceritakan pada pertemuan pertama, Al-Kurani mengajar Muhammad al-Fatih dengan membawa sebilah kayu tersebut. “Ini pemberian Sultan untuk memukulmu jika kamu tidak disiplin saat belajar,” ujar Syaikh al-Kurani.
Mendengar itu, Muhammad al Fatih malah tertawa. Seketika itu juga Syaikh Kurani memukul Muhammad dengan keras. Muhammad al-Fatih pun terkejut bukan kepalang. Dia tidak menyangka guru barunya benar-benar memukulnya.
Sejak saat itu Muhammad Al Fatih mengalami perubahan yang sangat signifikan. Dia menjadi anak yang patuh dan hormat terhadap gurunya dan mulai belajar dengan serius.
Di tangan Syaikh Kurani inilah awal perubahan sikap Muhammad Al Fatih terjadi. Muhammad tumbuh menjadi pemuda yang keras kemauannya dan serius dalam mewujudkan keinginannya.
Saat penaklukan Konstantinopel dua guru yang mendampingi Sultan al-Fatih. Mereka adalah Syaikh Kurani bersama Syaikh Aaq Syamsuddin. Beliau pula yang menulis surat pemberitahuan penaklukan Konstantinopel kepada penguasa-pengusaha negeri Islam.
Penyesalan Sultan
Terkait Syaikh al-Kurani pernah terjadi satu peristiwa yang membuat Sultam marah. Buku-buku sejarah mengungkapkan bahwa suatu ketika Sultan Muhammad Al-Fatih mengutus salah seorang pelayannya dengan membawa sesuatu yang bergambar kepada Syaikh Ahmad Al-Kurani. Saat itu Syaikh menjadi hakim militer. Syaikh mendapatkan apa yang dibawa oleh pelayan itu bertentangan dengan syariat, maka gambar itu pun dia sobek.
Peristiwa penyobekan kertas bergambar itu sangat memukul perasaan Sultan Muhammad Al-Fatih. Dia marah besar atas perbuatan Syaikh tersebut. Saking marahnya, Sultan memecat Syaikh Kurani dari kedudukannya. Maka terjadilah konflik antara Sultan dengan gurunya itu.
Al-Kurani segera berangkat ke Mesir. Di Mesir dia diterima dengan penghormatan tinggi oleh Sultan Mesir Qaytabay. Syaikh tinggal bersamanya beberapa waktu lamanya.
Tak lama kemudian, Sultan Muhammad Al-Fatih menyesali apa yang dia lakukan. Dia pun menulis surat kepada Sultan Qaytabay dan memintanya untuk memulangkan Syaikh Al-Kurani kepadanya. Sultan Qaytabay menceritakan isi surat Sultan Muhammad Al-Fatih kepada Syaikh Al-Kurani. Kemudian Qaytabay berkata. “Janganlah kau kembali padanya, sebab aku menghormatimu lebih dari penghormatannya."
Syaikh Al Kurani menjawab, “Apa yang kau katakan adalah benar. Hanya saja antara aku dan dia, tumbuh rasa saling mencintai yang demikian mulia, layaknya cinta seorang anak kepada orangtuanya. Sedangkan apa yang terjadi antara kita adalah sesuatu yang lain. Dia tahu ini. Dia juga tahu bahwa saya suka padanya secara alami. Maka jika saya tidak datang padanya, dia akan tahu bahwa saya dilarang olehmu dan ini akan menimbulkan permusuhan antara engkau dan dia."
Sultan Qaytabay membenarkan apa yang dikatakan Syaikh. Maka dia pun memberikan uang dalam jumlah besar kepada Al Kurani dan mempersiapkan seluruh keperluan perjalanan. Dia juga mengirimkan hadiah kepada Sultan Muhammad Al-Fatih. Sesampainya di Konstantinopel, Sultan mengangkatnya sebagai hakim kemudian sebagai mufti. Sultan menyediakan semua keperluan Syaikh dan menghormatinya dengan penghormatan tinggi.
Imam Asy-Syaukani berkata, “Syaikh Al-Kurani berubah posisi dari seorang hakim menjadi seorang ahli fatwa. Banyak orang-orang besar datang menemuinya. Dia mensyarah buku Jam’ul Jawami’ dan memberi catatan penting terhadap Jalaluddin Al-Mahalli, seorang mufassir.
Dia menulis tafsir dan mensyarah buku Shahih Bukhari. Dia juga menulis kasidah dalam ilmu 'Arudh dalam 600 bait syair. Dia membangun sebuah masjid dan sekolah di Istambul yang diberi nama Daarul Hadits.
Dunia berada di bawah kekuasaannya dan dia membangun banyak tempat singgah. Ilmunya menyebar ke mana-mana dan diambil oleh banyak orang besar. Dia menunaikan ibadah Haji pada tahun 761 H. Dia tetap terhormat sampai wafatnya pada akhir tahun 792 H. Sultan dan bawahan-bawahannya menyalatkan jenazahnya.
Di antara pembukaan syairnya:
”Dia adalah matahari, hanya saja dia adalah singa pemberani
Dia adalah laut, hanya saja dia adalah raja di muka bumi.”
Penulis buku Asy-Syaqaiq An-Nu’maniyyah menulis biografinya dengan mengatakan: “Dia berbicara dengan Sultan dengan menyebut nama dan tidak membungkuk saat berhadapan dengannya. Dia tidak pernah mencium tangan Sultan. Dia hanya bersalaman biasa saja, dan tidak pernah datang menemui Sultan, kecuali ada seseorang yang diutus Sultan dan memintanya datang untuk menemuinya. Dia berkata pada Sultan, ‘Makananmu haram, pakaianmu haram, maka hendaklah engkau hati-hati’"
Pengarang buku ini menyebutkan jejak langkah Syaikh Al Kurani yang menunjukkan ia termasuk ulama yang mengamalkan ilmunya.
Tidak sekali pun Sultan mendengar seorang alim yang ditimpa kesulitan hidup atau kelaparan di tempatnya tinggal, kecuali dia akan datang kepadanya dan akan memberikan semua apa yang dia butuhkan.
(mhy)