Ketika Surat Al-Maun Menjadi Pangkal Gerakan Kemanusiaan yang Besar dan Mendalam
loading...
A
A
A
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939 – 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengingatkan ketika Kiai Ahmad Dahlan mulai menapak jalan menuju cita-cita reformasi Islam di Indonesia, beliau memperkenalkan dan mempropagandakan sebuah surat pendek al-Qur'an dari Juz 'Amma, yaitu surat al-Ma'un (QS 107).
"Surat itu sendiri sudah merupakan bagian dari hafalan baku para santri, khususnya para imam sholat, dan termasuk yang sering dibaca dalam sholat itu," ujar Cak Nur, dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" saat membahas masalah simbol dan simbolisme dalam ekspresi keagamaan.
Tetapi, lanjut Cak Nur, sampai dengan tampilnya Kiai Dahlan dengan Muhammadiyahnya, kaum muslim Indonesia seperti tidak pernah tersentuh oleh makna dan semangat firman Allah itu, dan tidak pula menyadari betapa surat pendek itu dapat menjadi pangkal gerakan kemanusiaan yang besar dan mendalam seperti Muhammadiyah dengan amal-amal sosialnya.
Seperti kita ketahui, surat al-Ma'un itu terjemahnya, kurang lebih adalah:
Pernahkah engkau lihat (hai Muhammad), orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak berjuang untuk memberi makan orang miskin. Maka celakalah untuk orang-orang yang sholat, yaitu mereka yang akan sholat tetapi lalai, yaitu mereka yang suka pamrih kepada sesama, dan yang enggan memberi pertolongan. (QS al Ma'un/107:1-7)
Menganjurkan dengan Kuat
Menurut Cak Nur, perkataan 'yahudldlu' yang diterjemahkan dengan 'berjuang' di sini mempunyai asal arti "menganjurkan dengan kuat'.
A Hassan dalam "Al-Furqan" menerjemahkan perkataan itu dengan 'menggemarkan', Departemen Agama menerjemahkan dengan 'menganjurkan' sedangkan Mahmud Yunus dalam tafsir Qur'an Karim menggunakan perkataan 'menyuruh'.
Sedangkan Muhammad Asad, dalam "The Message of the Qur'an", menerjemahkannya dalam bahasa Inggris dengan 'feels no urge' (tidak merasakan adanya dorongan), karena baginya perkataan 'yahudldlu' mempunyai makna "mendorong diri sendiri" (sebelum mendorong orang lain).
"Jadi, perkataan 'yahudldlu' menunjuk pada adanya komitmen batin yang tinggi, yakni usaha mengangkat dan menolong nasib kaum miskin. Berarti bahwa indikasi ketulusan dan kesejatian dalam beragama ialah adanya komitmen sosial yang tinggi dan mendalam kepada orang bersangkutan," ujar Cak Nur.
Menurut Cak Nur, jelas sekali firman Allah itu menegaskan bahwa kepalsuan dapat terjadi dalam sikap keagamaan kita jika kita tidak memiliki komitmen batin kepada usaha-usaha, yang menurut istilah sekarang, menegaskan keadilan sosial.
Disebutkannya anak yatim dan orang miskin, adalah karena mereka merupakan kelompok-kelompok sosial yang paling memerlukan usaha bersama untuk memperbaiki nasib mereka. Anak yatim dan orang miskin mewakili seluruh anggota masyarakat yang tidak beruntung oleh berbagai sebab dan cara.
Penilaian diri kita sebagai pendusta agama atau beragama secara palsu karena tidak memiliki komitmen sosial yang makin diperburuk oleh tingkah laku lahiriah kita sendiri yang nampak seperti menjalankan ibadat formal, namun tidak menghayati dan tidak mewujud-nyatakan hikmahnya.
Menurut Cak Nur, dikatakan semakin diperburuk karena kepalsuan kita dalam beragama memperoleh bungkus kebajikan berupa amalan ibadat lahiriah, dan bungkus itu dengan sendirinya akan mempunyai dampak penipuan.
"Karena itulah Allah mengutuk orang yang menjalankan ibadat formal serupa itu namun ia lupa atau lalai akan ibadat mereka sendiri," jelas Cak Nur.
Artinya, kata Cak Nur lagi, sementara kita mungkin rajin menjalankan ibadat-ibadat formal seperti sholat, namun ibadat itu tidak mempengaruhi tingkah laku kita yang lebih mendalam, yang tingkah laku itu bakal membentuk budi pekerti luhur.
Ibn Taimiyah dalam "Minhaj al-Sunnah" menjelaskan yang diterjemahkan dengan 'lupa' atau 'lalai' dalam firman itu ialah kata-kata yang dalam bahasa aslinya (Arab) 'sahun'. Yang dimaksud dalam firman ini bukanlah mereka itu dikutuk Allah karena lupa mengerjakan sholat yang disebabkan, misalnya, terlalu sibuk bekerja. Sebab lupa dan alpa serupa itu justru dimaafkan oleh Allah, tidak dikutuk.
"Surat itu sendiri sudah merupakan bagian dari hafalan baku para santri, khususnya para imam sholat, dan termasuk yang sering dibaca dalam sholat itu," ujar Cak Nur, dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" saat membahas masalah simbol dan simbolisme dalam ekspresi keagamaan.
Tetapi, lanjut Cak Nur, sampai dengan tampilnya Kiai Dahlan dengan Muhammadiyahnya, kaum muslim Indonesia seperti tidak pernah tersentuh oleh makna dan semangat firman Allah itu, dan tidak pula menyadari betapa surat pendek itu dapat menjadi pangkal gerakan kemanusiaan yang besar dan mendalam seperti Muhammadiyah dengan amal-amal sosialnya.
Seperti kita ketahui, surat al-Ma'un itu terjemahnya, kurang lebih adalah:
Pernahkah engkau lihat (hai Muhammad), orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak berjuang untuk memberi makan orang miskin. Maka celakalah untuk orang-orang yang sholat, yaitu mereka yang akan sholat tetapi lalai, yaitu mereka yang suka pamrih kepada sesama, dan yang enggan memberi pertolongan. (QS al Ma'un/107:1-7)
Menganjurkan dengan Kuat
Menurut Cak Nur, perkataan 'yahudldlu' yang diterjemahkan dengan 'berjuang' di sini mempunyai asal arti "menganjurkan dengan kuat'.
A Hassan dalam "Al-Furqan" menerjemahkan perkataan itu dengan 'menggemarkan', Departemen Agama menerjemahkan dengan 'menganjurkan' sedangkan Mahmud Yunus dalam tafsir Qur'an Karim menggunakan perkataan 'menyuruh'.
Sedangkan Muhammad Asad, dalam "The Message of the Qur'an", menerjemahkannya dalam bahasa Inggris dengan 'feels no urge' (tidak merasakan adanya dorongan), karena baginya perkataan 'yahudldlu' mempunyai makna "mendorong diri sendiri" (sebelum mendorong orang lain).
"Jadi, perkataan 'yahudldlu' menunjuk pada adanya komitmen batin yang tinggi, yakni usaha mengangkat dan menolong nasib kaum miskin. Berarti bahwa indikasi ketulusan dan kesejatian dalam beragama ialah adanya komitmen sosial yang tinggi dan mendalam kepada orang bersangkutan," ujar Cak Nur.
Menurut Cak Nur, jelas sekali firman Allah itu menegaskan bahwa kepalsuan dapat terjadi dalam sikap keagamaan kita jika kita tidak memiliki komitmen batin kepada usaha-usaha, yang menurut istilah sekarang, menegaskan keadilan sosial.
Disebutkannya anak yatim dan orang miskin, adalah karena mereka merupakan kelompok-kelompok sosial yang paling memerlukan usaha bersama untuk memperbaiki nasib mereka. Anak yatim dan orang miskin mewakili seluruh anggota masyarakat yang tidak beruntung oleh berbagai sebab dan cara.
Penilaian diri kita sebagai pendusta agama atau beragama secara palsu karena tidak memiliki komitmen sosial yang makin diperburuk oleh tingkah laku lahiriah kita sendiri yang nampak seperti menjalankan ibadat formal, namun tidak menghayati dan tidak mewujud-nyatakan hikmahnya.
Menurut Cak Nur, dikatakan semakin diperburuk karena kepalsuan kita dalam beragama memperoleh bungkus kebajikan berupa amalan ibadat lahiriah, dan bungkus itu dengan sendirinya akan mempunyai dampak penipuan.
"Karena itulah Allah mengutuk orang yang menjalankan ibadat formal serupa itu namun ia lupa atau lalai akan ibadat mereka sendiri," jelas Cak Nur.
Artinya, kata Cak Nur lagi, sementara kita mungkin rajin menjalankan ibadat-ibadat formal seperti sholat, namun ibadat itu tidak mempengaruhi tingkah laku kita yang lebih mendalam, yang tingkah laku itu bakal membentuk budi pekerti luhur.
Ibn Taimiyah dalam "Minhaj al-Sunnah" menjelaskan yang diterjemahkan dengan 'lupa' atau 'lalai' dalam firman itu ialah kata-kata yang dalam bahasa aslinya (Arab) 'sahun'. Yang dimaksud dalam firman ini bukanlah mereka itu dikutuk Allah karena lupa mengerjakan sholat yang disebabkan, misalnya, terlalu sibuk bekerja. Sebab lupa dan alpa serupa itu justru dimaafkan oleh Allah, tidak dikutuk.