Sunnah Mengandung Makna yang Lebih Prinsipil Ketimbang Hadis, Begini Penjelasan Cak Nur

Selasa, 21 Februari 2023 - 19:19 WIB
loading...
Sunnah Mengandung Makna yang Lebih Prinsipil Ketimbang Hadis, Begini Penjelasan Cak Nur
Cak Nur mengatakan Sunnah lebih luas daripada hadis. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Cendekiawan muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939-2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan dalam masyarakat Islam di beberapa negara terdapat kelompok-kelompok yang meragukan otoritas hadis sebagai sumber kedua penetapan hukum Islam.

Di negara kita, Indonesia, ada suatu golongan yang menanamkan dirinya kaum 'Inkar al-Sunnah'. Karena sikap mereka menolak perlunya kaum muslim berpegang pada sunnah, maka golongan ini menjadi sasaran kritik para ulama dan tokoh Islam.

"Pada banyak kasus mungkin terjadi semacam kekacauan akibat kecenderungan masyarakat untuk menyamakan begitu saja antara sunnah dan hadis," ujar Cak Nur dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" tatkala membahas pergeseran pengertian Sunnah ke Hadis.



Menurut Cak Nur, sudah jelas, di antara keduanya terdapat jalinan yang erat, namun sesungguhnya tidaklah identik. Yang pertama (sunnah) mengandung pengertian yang lebih luas daripada yang kedua (hadis).

Bahkan dapat dikatakan bahwa sunnah mengandung makna yang lebih prinsipil daripada hadis. Sebab, menurut Cak Nur, yang disebutkan sebagai sumber kedua sesudah Kitab Suci al-Qur'an ialah sunnah, bukan hadis, sebagaimana sering dituturkan tentang adanya sabda Nabi SAW: "Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara, yang kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan sunnah RasulNya."

"Tapi sekarang ini sunnah memang tidak dapat dibedakan dari hadis, demikian pula sebaliknya," ujar Cak Nur.

Jika seseorang menyebut 'sunnah' maka dengan sendirinya akan terbayang padanya sejumlah kitab koleksi sabda Nabi. Yang paling terkenal di antaranya ialah dua kitab koleksi oleh al-Bukhari dan Muslim (disebut al-Shahihayn, "Dua Yang Sahih"), dan yang lengkapnya meliputi pula kitab-kitab koleksi oleh Ibn Majah, Abu Dawud, al-Turmudzi dan al-Nasa'i.

Tapi sebelum mereka sudah ada seorang kolektor hadis yang amat kenamaan dan berpengaruh besar yaitu sarjana dan pemikir dari Madinah, Malik Ibn Anas (pendiri madzhab Maliki, wafat 179 H.) yang menghasilkan kitab hadits al-Muwaththa'.



Berdasarkan sabda Nabi tentang Kitab dan sunnah di atas, pada prinsipnya sikap ingkar pada sunnah tidak dapat dibenarkan. Tapi ingkar kepada hadis, sekalipun jelas tidak dapat dilakukan secara umum tanpa penelitian tentang hadis tertentu mana yang dimaksud, telah terjadi dalam kurun waktu yang panjang pada golongan-golongan tertentu Islam seperti kaum Mu'tazilah.

Perjalanan sejarah perkembangan dan perubahan itu sendiri cukup panjang dan rumit. Tapi jika kita berhasil melepaskan diri dari dogmatisme yang menerima begitu saja pengertian-pengertian mapan tentang apa yang terjadi di masa lampau, maka dari celah-celah sejarah itu kita akan dapat menarik "benang merah" yang memberikan kejelasan tentang perkembangan dan perubahan itu.

Pengertian Sunnah

Cak Nur mengatakan Sunnah lebih luas daripada hadis, termasuk yang sahih. Berarti, sunnah tidak terbatas hanya pada hadis. Sekalipun pengertian ini cukup jelas, namun masih juga sering mengundang kekaburan. Memang, antara sunnah dan hadis terbentang garis kontinuitas yang tidak terputus, namun mencampuradukkan antara keduanya tidak dapat dibenarkan.

Jika disebutkan oleh Nabi bahwa sunnah merupakan pedoman kedua setelah Kitab Suci bagi kaum muslim dalam memahami agama, maka sesungguhnya Nabi hanya menyatakan sesuatu yang amat logis. Yaitu, dalam memahami agama dan melaksanakannya, orang Islam tentu pertama-tama harus melihat apa yang ada dalam Kitab Suci, kemudian, kedua, harus mencari contoh bagaimana Nabi sendiri memahami dan melaksanakannya.

Sebab, Nabi-lah sebagai utusan Tuhan, yang secara logis paling paham akan apa yang dipesankan Tuhan pada manusia melalui beliau, juga yang paling tahu bagaimana melaksanakannya. Pengertian lain yang menyalahi hal itu mustahil dapat diterima.



Pemahaman Nabi terhadap pesan atau wahyu Allah itu teladan beliau dalam melaksanakannya membentuk "tradisi" atau "sunnah" kenabian (al-sunnah al-Nabawiyyah).

Sedangkan hadis merupakan bentuk reportase atau penuturan tentang apa yang disebabkan Nabi atau yang dijalankan dalam praktek tindakan orang lain yang "didiamkan" beliau (yang dapat dapat diartikan sebagai
"pembenaran").

Itulah makna asal kata hadis, yang sekarang ini definisinya makin luas batasannya dan komprehensif. Namun demikian, tidak berarti bahwa hadis dengan sendirinya mencakup seluruh sunnah.

Jika sunnah merupakan keseluruhan perilaku Nabi, maka kita dapat mengetahui dari sumber-sumber yang selama ini tidak dimasukkan sebagai hadis, seperti kitab-kitab sirah atau biografi Nabi. Sebab, dalam lingkup sunnah sebagai keseluruhan tingkah laku Nabi, harus dimasukkan pula corak dan ragam tindakan beliau, baik sebagai pribadi maupun pemimpin. Dalam kedudukan beliau sebagai pemimpin itulah Kitab-kitab sirah banyak memberi gambaran.

Di antara kitab-kitab sirah, termasuk yang sangat dini ditulis ialah Sirah Ibn Ishaq yang kemudian disunting oleh Ibn Hisyam (berturut-turut wafat pada tahun 151 dan 219 Hijri).



Meskipun wafat di Baghdad, Ibn Ishaq lahir di Madinah (pada tahun 85 H), dan tumbuh sebagai sarjana terkemuka di kota Nabi. Dan ia telah mengumpulkan bahan untuk kitab sirah-nya beberapa lama sebelum usaha-usaha pengumpulkan hadis.

Sebelum Ishaq, telah muncul berbagai karya tulis tentang riwayat peperangan Nabi yang lazim disebut kitab-kitab al-Maghazi.

Kitab-kitab itu, bersama dengan kitab-kitab biografi Nabi yang lain amat penting, karena memuat gambaran tentang perjalanan hidup Nabi khususnya dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin. Maka, kitab-kitab itu juga merupakan sumber yang baik untuk memahami sunnah, khususnya, jika yang dimaksud selain tindakan-tindakan Nabi atau sabda beliau yang bersifat terpisah dan ad hoc seperti umumnya tema catatan hadits.

Dalam sejarah terbukti bahwa pembacaan biografi Nabi, khususnya yang berkaitan dengan riwayat peperangan beliau yang dikenal sebagai al-Maghazi tersebut, berhasil membangkitkan semangat perjuangan Islam, karena ilham teladan baik dari beliau.

Inilah "eksperimen" Sultan Shalah al-Din al-Ayyubi dalam menghadapi tentara Salib, yang ternyata berhasil gemilang. Dan dengan "eksperimen" itu pemimpin Islam dari Mesir yang kemudian terkenal dengan sebutan "Sultan Saladin" itu mewariskan pada Umat Islam seluruh dunia tradisi Maulid, yaitu upacara memperingati kelahiran Nabi dengan membaca riwayat hidup beliau.

Sunnah Nabi harus pula dipahami sebagai keseluruhan kepribadian Nabi dan akhlak beliau, yang dalam kepribadian dan akhlak beliau disebutkan dalam Kitab Suci sebagai teladan yang baik (uswah hasanah) bagi kita semua "yang benar-benar berharap pada Allah pada Hari Kemudian, serta banyak ingat kepada Allah" (QS al-Ahzab 33:32).

Dan beliau juga dilukiskan dalam Kitab Suci sebagai seorang yang berakhlak amat mulia (QS al-Qalam 68:4). Dengan demikian Nabi, dalam hal ini tingkah laku dan kepribadian beliau sebagai seorang yang berakhlak mulia, menjadi pedoman hidup kedua setelah Kitab Suci bagi seluruh kaum beriman.

Tetapi justru karena itu maka memahami sunnah Nabi tidak dapat lepas dari memahami Kitab Suci sendiri. Sebab sesungguhnya akhlak Nabi yang mulia itu tidak lain adalah semangat Kitab Suci al-Qur'an itu sendiri, sebagaimana dilukiskan A'isyah, isteri beliau.



Dari Kitab Suci kita mengetahui lebih banyak perkembangan kepribadian Nabi yang menggambarkan pengalaman Nabi, baik yang menyenangkan atau tidak, yang keseluruhannya menampilkan sosok Nabi yang berkeprlbadian mulia.

Dari pengamatan atas gambaran itu kita dapat memperoleh ilham tentang peneladanan pada beliau, dan keseluruhan sasaran peneladanan itu tidak lain ialah sunnah nabi. Sebagai contoh, dua surat yang termasuk paling banyak dibaca dalam sembahyang dapat kita renungkan maknanya di sini:

Demi pagi yang cerah dan demi malam ketika telah kelam. Tidaklah Tuhanmu meninggalkan engkau (Muhammad), dan tidak pula murka. Dan pastilah kemudian hari lebih baik bagimu daripada yang sekarang ada. Dan juga pastilah Tuhanmu akan menganugerahimu, maka kamu akan lega. Bukankah Dia mendapatimu yatim, kemudian Dia melindungimu?! Dan Dia mendapatimu bingung, kemudian Dia membimbingmu?! Dan Dia mendapatimu miskin, kemudian Dia memperkayamu?! Maka kepada anak yatim, janganlah engkau menghardik! Dan kepada peminta-minta, janganlah kamu membentak! Sedangkan berkenaan dengan nikmat karunia Tuhanmu, engkau harus nyatakan! ( QS al-Dluha 93 :1-11)

Bukankah Kamu telah lapangkan dadamu?! Dan Kami bebaskan bebanmu, yang memberati punggungmu?! Serta Kami muliakan namamu?! Sebab sesungguhnya bersama kesulitan tentu ada kemudahan! Maka jika engkau bebas, kerja keraslah! Dan kepada Tuhanmu, senantiasa berharaplah! ( QS al-Syarh 94 :1-8)



Cak Nur mengatakan para ahli hampir semuanya sepakat bahwa surat al-Duha turun kepada Nabi berkenaan dengan peristiwa terputusnya wahyu yang relatif panjang, sehingga menimbulkan ejekan dan sinisme kaum musyrik Mekkah bahwa Tuhan telah meninggalkan Nabi dan murka kepadanya.

Dari latar belakang turunnya, surat ini juga menggambarkan tentang suatu dinamika pengalaman Nabi dalam perjuangan beliau, sehingga seperti dikatakan Sayyid Quthub, Allah menghibur beliau dan memberinya dorongan moril, bahwa Allah samasekali tidak meninggalkan beliau dan tidak pula murka.

Allah juga mengingatkan Nabi bahwa masa mendatang lebih penting daripada masa sekarang. Dalam terjemah kontemporernya, Allah mengingatkan Nabi bahwa perjuangan jangka panjang, yang strategis lebih penting daripada pengalaman jangka pendek, yang taktis.

Oleh karena itu hendaknya Nabi tidak putus asa atau kecil hati oleh pengalaman kekecewaan jangka pendek. Sebab, perjuangan besar selalu memerlukan waktu untuk mencapai hasil dan semakin besar nilai suatu perjuangan maka semakin panjang pula dimensi waktu yang diperlukannya.

Dan dalam jangka panjang itulah, selama perjuangan diteruskan dengan penuh kesabaran dan harapan, Allah menjanjikan untuk memberi kemenangan yang bakal membuat beliau puas dan lega.

"Janji Tuhan ini kelak ternyata terbukti dan terlaksana, berupa kemenangan demi kemenangan yang diraih Nabi setelah hijrah ke Madinah, dan beliau pun wafat memenuhi panggilan menghadap Allah dalam keadaan menang dan sukses luar biasa," ujar Cak Nur.

Serentak dengan itu semua Allah juga mengingatkan akan masa lampau Nabi yang penuh kesusahan seperti keadaan beliau yang yatim-piatu, bingung tentang apa yang hendak dilakukan, dan miskin, dan bagaimana Allah telah menunjukkan kasih-Nya pada beliau dengan memberi kemampuan mengatasi kesusahan itu semua.

Dan berdasarkan latar belakang itu maka Allah berpesan agar Nabi janganlah sampai menghardik anak-yatim, atau membentak peminta-minta, dan selalu ingat dengan penuh syukur akan nikmat karunia Tuhan.

Berkenaan dengan surat al-Syarh, kata Cak Nur, para ahli mengatakan bahwa wahyu itu turun kepada Nabi masih dalam kaitannya dengan surat al-Duha, bahkan merupakan kelanjutannya.

Dalam surat ini Allah menegaskan bagaimana Dia telah membuat Nabi sebagai seorang yang lapang dada (munsyarih al-shadr), dan membuat semua beban terasa ringan bagi beliau.

Juga diingatkan bahwa Allah telah membuat terhormat nama Nabi dan dijunjung tinggi, berkat perjuangan beliau dan kebajikan yang ditegakkannya.

Lalu Allah menegaskan bahwa setiap kesulitan tentu akan membawa kemudahan; bahwa amal usaha tentu mengandung kesulitan, namun hasil perjuangan itu di kemudian hari tentu akan membawa kebahagiaan. Maka dari itu setiap kesempatan harus digunakan untuk kerja keras, sambil senantiasa mengarahkan diri kepada Allah, dengan penuh harapan kepadaNya.

"Jadi, dari kedua surat pendek yang banyak dibaca dalam sholat itu dapat disimpulkan gambaran dinamika kepribadian Nabi berhubung dengan pengalaman hidup perjuangan beliau," kata Cak Nur.

"Jika kita renungkan lebih mendalam gambaran itu, maka sesungguhnya dinamika pengalaman hidup Nabi tersebut adalah universal, dalam arti dapat terjadi dan dialami oleh siapa saja dari kalangan manusia yang mempunyai tekad atau komitmen pada cita-cita luhur," lanjutnya.

Oleh karena itu, kata Cak Nur lagi, sikap-sikap yang telah ditunjukkan oleh Nabi sebagaimana tersimpul dari kedua surat pendek itu akan melengkapi kaum beriman dengan contoh nyata dalam menghadapi problema kehidupan.

"Dari situ kita paham sebuah sunnah Nabi, dan dari situ pula kita mengerti suatu aspek makna firman Allah bahwa pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kaum beriman," jelasnya.



Akhlak serta kepribadian yang menjadi sunnah Nabi, yang dapat disimpulkan dari kedua surat itu adalah kurang lebih demikian:

1. Sikap senantiasa berpengharapan kepada Allah.
2. Sadar akan perjuangan jangka panjang.
3. Yakin akan kemenangan akhir.
4. Ingat akan latar belakang diri di masa lalu dan bagaimana semua kesulitan teratasi.
5. Rasa kasih sayang kepada sesama manusia yang kurang beruntung.
6. Senantiasa bersyukur pada Allah atas segala nikmat karunia-Nya
7. Bersikap lapang dada.
8. Memikul beban tanggungjawab dengan penuh kerelaan.
9. Tidak kecil hati karena kesulitan, sebab yakin akan masa datang yang lebih baik.
10. Menggunakan setiap waktu luang untuk kerja-kerja produktif.
11. Tetap berorientasi kepada Allah.

Menurut Cak Nur, Firman Allah yang memberi gambaran dinamika kepribadian Nabi sebagai uswah hasanah dalam al-Qur'an cukup banyak. Pengkajian terhadap firman-firman itu akan memberi gambaran yang utuh tentang siapa Nabi dan bagaimana garis besar sepak terjang beliau dalam hidup beliau baik sebagai pribadi maupun sebagai Utusan Ilahi.

"Kita dapat mendekteksi dinamika kepribadian Nabi itu dari firman-frman yang ditunjukkan khusus kepada Nabi, seperti diindikasikan oleh penggunaan kata pengganti nama 'engkau' dalam suatu format dialog antara Tuhan dan Utusan-Nya.

Jadi sunnah Nabi, khususnya segi-segi yang dinamik dan mendasar, dapat lebih banyak diketahui dari Kitab Suci daripada dari kumpulan kitab hadits. Meskipun banyak laporan dalam kitab-kitab hadits yang juga memberi gambaran tentang tingkah laku atau kepribadian Nabi, namun umumnya bersifat ad hoc terkait erat dengan tuntutan khusus ruang dan waktu.

Sedangkan yang ada dalam al-Qur'an, sekalipun dituturkan dalam kaitan dengan ruang dan waktu atau pengalaman khusus Nabi, namun ajaran moral di balik cerita selalu bersifat dinamik sehingga dapat dengan mudah diangkat pada tingkat generalitas yang tinggi, dengan demikian bernilai universal. "Karena itu sunnah Nabi sebenarnya tidak terbatas hanya pada hadis, meskipun hadis (yang sahih) memang termasuk sunnah," demikian Cak Nur.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2752 seconds (0.1#10.140)