Hagia Shopia dan Akhlakul Karimah Umat Islam

Kamis, 16 Juli 2020 - 11:25 WIB
loading...
Hagia Shopia dan Akhlakul Karimah Umat Islam
Keindahan interior Hagia Sophia, tempat ibadah paling bersejarah di Istanbul, Turki, Jumat (10/7/2020). Foto/dok Reuters
A A A
Imam Shamsi Ali
Direktur/Imam Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation USA

Ada satu hal mendasar yang terkadang dilupakan atau dipandang enteng (under estimated) bagi sebagian dalam perjuangan "li i'laa Kalimatillah" dan dalam upaya "li izzatil Islam". Dan hal ini ternyata menjadi penentu wajah akhir dari perjuangan itu sendiri.

Hal mendasar yang saya maksudkan adalah nilai-nilai dasar akhlakul karimah dalam proses perjuangan itu. Bagaimana pun Islam yang diperjuangkan itu pada dirinya (dzatnya) adalah akhlakul karimah. Inilah yang tersimpulkan dalam sabda baginda Rasul : "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlakul karimah ". Pesan ini seolah sebuah kesimpulan dari misi Rasulullah SAW yaitu menyempurnakan perilaku mulia manusia itu.

Dalam upaya perjuangan kita, khususnya di bidang dakwah, nilai akhlak kemudian menjadi salah satu dasarnya. Hal itu untuk menghindari terjadinya self paradoks dalam kerja dakwah. Di satu sisi menyampaikan "khaer" dan "ma’ruf" (nilai-nilai kebaikan). Tapi di sisi lain disampaikan dengan cara yang tidak ma'ruf, bahkan antitesis dari kebaikan itu. [ ]

Islam itu kejujuran. Wajarkah disampaikan dengan cara yang tidak jujur? Islam itu rendah hati. Wajarkah disampaikan dengan cara-cara keangkuhan? Islam itu ramah dan santun. Wajarkah disampaikan dengan cara yang kasar dan sangar? Islam itu kebaikan. Wajarkah disampaikan dengan cara yang buruk?

Demikian seterusnya. Antara substansi agama dan metode penyampaiannya harus tetap sejalan. Jika tidak, disitulah kemudian seringkali substansi Islam disalah pahami karena metode penyampaian yang tidak sejalan dengan nilai-nilai dan substansi Islam itu sendiri.

Urgensi Ijtihad Baru
Terlepas dari menghangatnya diskusi tentang konversi Hagia Sophia dari sebuah museum menjadi sebuah masjid, saya ingin mengajak kita untuk mencoba kembali memikirkan tentang beberapa argumentasi yang dipakai oleh sebagian untuk membenarkan konversi rumah ibadah orang lain menjadimasjid. ( )

Pembicaraan kali ini tentunya lebih spesifik pada konteks rumah ibadah dalam peperangan. Apakah rumah ibadah orang lain dapat dijadikan sebagai "ghanimah" (harta rampasan)? Sejujurnya saya masih terus mwmikirkan tentang hal itu. Dan itu kemudian membawa saya kepada sebuah pemikiran bahwa barangkali memang masanya umat ini untuk melihat kembali berbagai pendapat atau ijitihaf "fiqhiyah" yang berkaitan dengan hal ini.

Apalagi dalam konteks di mana terjadi perubahan mendasar dan substantif dalam dunia kita. Termasuk di dalamnya isu perang, harta rampasan dan kebebasan beragama, termasuk jaminan rumah ibadah orang lain.

Kembali saya ambil Hagia Sophia sebagai misal. Saya dalam beberapa hari ini banyak mendengarkan argumentasi sebagai justifikasi pengubahannya. Minimal saat ini ada dua argumentasi yang paling viral membenarkan konversi itu.

Pertama, bahwa setelah menaklukkan Konstantinopel Sultan Al-Fatih Mehmed II membeli gedung gereja itu dari masyarakat Kristiani Yunani dengan uang pribadinya, lalu beliau mewakafkannya kepada masyarakat Muslim untuk dijadikan masjid. Masjid inilah yang kemudian dikenal dengan nama Aaya Mosque. Pembelian itu mengindikasikan bahwa gereja itu tidak masuk dari bagian harta rampasan perang. Sebab kalau menjadi bagian dari harta rampasan, kenapa harus dibeli lagi?

Kedua, bahwa gedung gereja itu memang menjadi bagian dari harta rampasan perang dari kekalahan pasukan Byzantium melawan pasukan Ottoman Empire di bawah komando Al-Fatih tersebut. Artinya gedung gereja itu memang sah saja dikonversi menjadi masjid karena sudah terjatuh ke tangan warga Muslim yang menaklukkan warga Kristen Bizantium saat itu.

Adapun argumentasi mengenai penjagaan rumah-rumah ibadah pada saat penaklukkan di masa khulafa Rasyidin, bagi mereka itu hanya terjadi ketika ada perjanjian atau treaty antara penakluk dan yang ditaklukkan.

Dengan Treaty inilah umat non Muslim yang tertaklukkan itu kemudian memiliki status "dzimmi" yang dijamin hak-haknya, termasuk hak agama dan ibadah. Tentu termasuk penjagaan rumah ibadah mereka.

Isu Pembelian oleh Al-Fatih
Sekali lagi saya tidak bermaksud mempermasalahkan konversi gedung Hagia Sophia menjadi masjid. Pertama karena itu hak legal pemerintah Turki untuk mempergunakan gedung atau properti yang berada di bawah otoritasnya. Yang tentunya ada kebutuhan mendesak untuk itu.

Yang dipertanyakan kemudian adalah benarkah bahwa gedung itu pernah dibeli oleh sang penakluk Al-Fatih? Atau itu sebuah klaim yang memerlukan pembuktian? Yang pasti adalah bahwa dokumen yang diperlihatkan saat ini oleh banyak kalangan dicurigai sebagai surat wakaf dan bukan akta pembelian gedung. Sehingga klaim bahwa gedung itu memang dibeli oleh Al-Fatih adalah klaim yang belum pasti.

Di sini ada nilai akhlak yang boleh jadi kurang dihargai. Yaitu pentingnya membangun kejujuran dalam menyampaikan sebuah argumentasi tentang sebuah hal. Dan Islam adalah "as-Sidqu" (kejujuran) dan menjunjung kejujuran. ( )

Rumah Ibadah Sebagai Harta Rampasan?
Argumentasi kedua yang disampaikan adalah bahwa secara Syar'i selama tidak ada perjanjian dengan pihak yang tertaklukkan, dibenarkan mengambil rumah ibadah mereka sebagai bagian dari harta rampasan perang. Terlepas dari kasus Hagia Sophia , Saya justru melihat argumentasi ini dilemmatik pada dirinya. Hal itu karena nampak ada kontradiksi atau paradoks dengan posisi dasar Islam ketika bersentuhan dengan isu agama orang lain.

Saya ingin sekali lagi menuliskan kembali minimal dua posisi dasar Islam dalam menyikapi agama-agama lain, termasuk dalam situasi peperangan.

Pertama, posisi dasar Islam "laa ikraaha" (tiada paksaan) dalam beragama. Ayat tentang hal ini menjadi salah satu ayat termayshur ketika kita berbicara tentang jaminan "freedom of religion". Konsep ini bahkan berlaku dalam peperangan. Bahwa ketika terjadi penaklukkan, penduduk negeri yang ditaklukkan tidak dapat dipaksa untuk memeluk agama Islam.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5319 seconds (0.1#10.140)