Sunnatullah dalam Al-Qur'an Menurut KH Ali Yafie
loading...
A
A
A
"Sebab-sebab keberhasilan dan kemenangan dalam suatu perjuangan dapat dipelajari dari sejarah dan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya juga segala penyebab terjadinya suatu kegagalan atau kehancuran harus disadari dan dihindari," ujarnya.
Menurut Kiai Ali Yafie, hukum sejarah sejalan dengan hukum alam. Keduanya mempunyai titik temu dalam hukum sebab-akibat. Pesan dan petunjuk yang diberikan al-Qur'an pada manusia, demikian pula sunnah Rasulullah yang memberikan penjelasan praktis pada pesan al-Qur'an itu, membimbing kita supaya menyadari keterkaitan segala sesuatu dengan penyebabnya, sebagai syarat bagi terjadinya.
Ada sebagian pendapat yang kurang memahami sunnatullah dalam bentuk hukum alam dan hukum sejarah, melihat adanya semacam kontradiksi antara hukum sebab-musabab (hukum kausal) dengan hukum teologis yang disebut tauhid, atau hukum moral yang disebut tawakkal.
Dianggapnya hukum tauhid itu cenderung memberikan cap syirik (mempersekutukan Allah) jika seseorang menganggap ada penyebab (faktor penentu) selain Allah. Atau dianggapnya hukum tawakkal bertentangan dengan hukum sebab-musabab (kausal).
Keraguan seperti itu sejak dini telah muncul, lalu diluruskan oleh sunnah Rasulullah dalam praktik sebagaimana tercermin dengan jelas dalam cara-cara perjuangan Rasul SAW yang menempuh segala persyaratan dan mengkaitkan segala sebab dengan musababnya, disamping menjelaskan hal itu dalam petunjuk lisannya pada mereka yang segan berobat di kala ia sakit, karena khawatir kalau-kalau upaya berobat untuk menghindarkan penyakit bertentangan dengan iman tauhidnya dan tidak menjadikan ia bertawakkal kepada Allah.
Dalam hubungan itu Nabi SAW bersabda, Bertobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan menciptakan juga obat.
Dalam sabdanya yang lain, ketika Beliau ditanya tentang pengobatan, apakah itu bertentangan dengan qadar (taqdir)? Lalu Beliau menjawab, Itu (pengobatan) adalah sebahagian dari qadar Allah.
Imam Ghazali menjelaskan, sebab-musabab itu adalah sunnatullah dan penyimpangan dari sunnatullah bukanlah persyaratan dalam tawakkal bahkan ada kalanya merupakan kebodohan yang dicela agama. Demikian ulasan al-Ghazali dalam Kitab Tawhid dan Tawakkal.
Menurut Kiai Ali Yafie, hukum sejarah sejalan dengan hukum alam. Keduanya mempunyai titik temu dalam hukum sebab-akibat. Pesan dan petunjuk yang diberikan al-Qur'an pada manusia, demikian pula sunnah Rasulullah yang memberikan penjelasan praktis pada pesan al-Qur'an itu, membimbing kita supaya menyadari keterkaitan segala sesuatu dengan penyebabnya, sebagai syarat bagi terjadinya.
Ada sebagian pendapat yang kurang memahami sunnatullah dalam bentuk hukum alam dan hukum sejarah, melihat adanya semacam kontradiksi antara hukum sebab-musabab (hukum kausal) dengan hukum teologis yang disebut tauhid, atau hukum moral yang disebut tawakkal.
Dianggapnya hukum tauhid itu cenderung memberikan cap syirik (mempersekutukan Allah) jika seseorang menganggap ada penyebab (faktor penentu) selain Allah. Atau dianggapnya hukum tawakkal bertentangan dengan hukum sebab-musabab (kausal).
Keraguan seperti itu sejak dini telah muncul, lalu diluruskan oleh sunnah Rasulullah dalam praktik sebagaimana tercermin dengan jelas dalam cara-cara perjuangan Rasul SAW yang menempuh segala persyaratan dan mengkaitkan segala sebab dengan musababnya, disamping menjelaskan hal itu dalam petunjuk lisannya pada mereka yang segan berobat di kala ia sakit, karena khawatir kalau-kalau upaya berobat untuk menghindarkan penyakit bertentangan dengan iman tauhidnya dan tidak menjadikan ia bertawakkal kepada Allah.
Dalam hubungan itu Nabi SAW bersabda, Bertobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan menciptakan juga obat.
Dalam sabdanya yang lain, ketika Beliau ditanya tentang pengobatan, apakah itu bertentangan dengan qadar (taqdir)? Lalu Beliau menjawab, Itu (pengobatan) adalah sebahagian dari qadar Allah.
Imam Ghazali menjelaskan, sebab-musabab itu adalah sunnatullah dan penyimpangan dari sunnatullah bukanlah persyaratan dalam tawakkal bahkan ada kalanya merupakan kebodohan yang dicela agama. Demikian ulasan al-Ghazali dalam Kitab Tawhid dan Tawakkal.
(mhy)