Perbedaan Tradisi Ruwahan Islam dengan Hindu
loading...
A
A
A
Pada bulan Syaban atau disebut Ruwah oleh masyarakat Jawa seringkali dilakukan tradisi Nyadran atau Ruwahan. Tradisi yang berasal dari tradisi Hindu - Budha ini masih dilakukan di sejumlah daerah di Jawa, juga Sumatra. Lalu apa beda Nyadran versi Islam dengan Hindu-Jawa?
Ibnu Ismail dalam buku berjudul "Islam Tradisi Studi Komparatif Budaya Jawa Dengan Tradisi Islam" (Kediri, Tetes Publishing, 2011) menjelaskan pelaksanaan tradisi Ruwahan atau sering disebut Nyadran oleh penduduk Jawa memiliki perbedaan di setiap daerah. Hal ini terjadi karena setiap daerah memiliki alasan filosofi dan historis yang berbeda-beda di masing-masing daerah.
Selain itu, perbedaan dalam pelaksanaan tradisi ini juga dipengaruhi oleh keadaan akidah penduduk di setiap daerah tersebut. "Nyadran versi Islam jauh berbeda dengan Nyadran versi Hindu-Jawa," tulis Ibnu Ismail.
Nyadran versi Hindu lebih ke pemujaan. Umumnya dalam acara pemujaan, dukun akan menyiapkan kemenyan dan area bunga. Setelah pembakaran kemenyan, dibacakan mantra agar arwah datang bersemayan di area bunga yang mereka puja. Masyarakat menyiapkan sesaji kue, minuman, dan makanan kesukaan mayit.
Selanjutnya sesaji ditata rapi, diberi bunga setaman dan diberi penerangan berupa lampu. Juga dilakukan penyekaran dengan mengirim bunga kantil, telasih, kenanga, melur, melati kepada arwah dan diletakkan diatas nisan.
Menurut Ibnu Ismail, makanan kesukaan arwah juga diletakkan di kuburan kemudian diadakan pembakaran kemenyan dan mengucap doa-doa. Tradisi pemujaan ini masih dapat dijumpai pada masyarakat abangan. Yang pada dasarnya, upacara nyadran adalah pemujaan pada arwah danyang desa yang berasal dari kepercayaan animisme dan dipusatkan pusara punden.
Sedangkan dalam versi Islam, kata Ibnu Ismail, nyadran adalah bakti dan hormat pada tetua dengan kirim doa, gotong royong, silahtuhrahim, yakni ajang perkenalan antara keturunan moyang desa.
Bagi mereka yang pulang dan sukses di rantau, nyadran dikaitkan dengan sedekah pada fakir miskin, membangun tempat ibadah, memugar cungkup dan pagar makam, sebagai wujud balas jasa atau pengorbanan leluhur yang sudah mendidik.
Ibnu Ismail mengatakan pelaksanaan tradisi nyadran versi Islam lebih disesuaikan dengan Islam yakni pada nisfu Syaban, bulan yang dikaruniakan pada Rasulullah SAW yang identik dengan ziarah untuk meminta restu karena akan memasuki bulan Ramadan.
Selanjutnya, nyadran atau Ruwahan di tiap daerah juga berbeda-beda. Ambil contoh ruwahan di Dusun Gamping Kidul dan Dusun Geblagan Yogyakarta. Tradisi ruwahan di dua dusun ini berlangsung sejak tahun 1984. Tradisi ruwahan dilaksanakan pada bulan Syaban tiap tahunnya.
Tradisi ini bergotong royong untuk membersihkan makam, bersedekah kenduri yang dibawa dari rumah masing-masing warga, mendoakan bersama para arwah leluhur pada makam tersebut dengan cara bersalawat jawi.
Penganut agama Islam di Dusun Gamping Kidul dan Dusun Geblagan terdiri dari dua golongan, yakni agama Islam Santri dan Islam Abangan. Islam Santri yaitu pemeluk agama Islam yang secara keseluruhan mengikuti ajaran-ajaran Islam. Sedangkan Islam Abangan yaitu sebagai ajaran orang Jawa yang tidak dapat meninggalkan kepercayaan aslinya, dengan keyakinan konsep-konsep dan sistem upacara serta ritus agama Islam.
Oleh karena itu, sebagian kecil pemeluk agama Islam pada dua dusun ini masih menjalankan sesaji serta kelengkapanya termasuk membakar kemenyan, menabur bunga pada masing-masing nisan para leluhurnya. Tujuan tradisi ini untuk mendapatkan keselamatan, ketentraman dalam lingkungan para leluhurnya.
Walisongo
Sekadar mengingatkan, nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan. Dalam bahasa Jawa, nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah Syaban.
Pada awalnya, nyadran dilakukan masyarakat Hindu-Budha. Sejak abad ke-15 Walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya, agar agama Islam dapat dengan mudah diterima.
Pada awalnya para wali berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam agama Islam yang dinilai musyrik. Agar tidak berbenturan dengan tradisi Jawa saat itu, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelaraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan pembacaan ayat Al-Quran, tahlil, dan doa. Nyadran dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dengan sesama manusia dan dengan Tuhan.
Ibnu Ismail dalam buku berjudul "Islam Tradisi Studi Komparatif Budaya Jawa Dengan Tradisi Islam" (Kediri, Tetes Publishing, 2011) menjelaskan pelaksanaan tradisi Ruwahan atau sering disebut Nyadran oleh penduduk Jawa memiliki perbedaan di setiap daerah. Hal ini terjadi karena setiap daerah memiliki alasan filosofi dan historis yang berbeda-beda di masing-masing daerah.
Selain itu, perbedaan dalam pelaksanaan tradisi ini juga dipengaruhi oleh keadaan akidah penduduk di setiap daerah tersebut. "Nyadran versi Islam jauh berbeda dengan Nyadran versi Hindu-Jawa," tulis Ibnu Ismail.
Nyadran versi Hindu lebih ke pemujaan. Umumnya dalam acara pemujaan, dukun akan menyiapkan kemenyan dan area bunga. Setelah pembakaran kemenyan, dibacakan mantra agar arwah datang bersemayan di area bunga yang mereka puja. Masyarakat menyiapkan sesaji kue, minuman, dan makanan kesukaan mayit.
Selanjutnya sesaji ditata rapi, diberi bunga setaman dan diberi penerangan berupa lampu. Juga dilakukan penyekaran dengan mengirim bunga kantil, telasih, kenanga, melur, melati kepada arwah dan diletakkan diatas nisan.
Menurut Ibnu Ismail, makanan kesukaan arwah juga diletakkan di kuburan kemudian diadakan pembakaran kemenyan dan mengucap doa-doa. Tradisi pemujaan ini masih dapat dijumpai pada masyarakat abangan. Yang pada dasarnya, upacara nyadran adalah pemujaan pada arwah danyang desa yang berasal dari kepercayaan animisme dan dipusatkan pusara punden.
Sedangkan dalam versi Islam, kata Ibnu Ismail, nyadran adalah bakti dan hormat pada tetua dengan kirim doa, gotong royong, silahtuhrahim, yakni ajang perkenalan antara keturunan moyang desa.
Bagi mereka yang pulang dan sukses di rantau, nyadran dikaitkan dengan sedekah pada fakir miskin, membangun tempat ibadah, memugar cungkup dan pagar makam, sebagai wujud balas jasa atau pengorbanan leluhur yang sudah mendidik.
Ibnu Ismail mengatakan pelaksanaan tradisi nyadran versi Islam lebih disesuaikan dengan Islam yakni pada nisfu Syaban, bulan yang dikaruniakan pada Rasulullah SAW yang identik dengan ziarah untuk meminta restu karena akan memasuki bulan Ramadan.
Selanjutnya, nyadran atau Ruwahan di tiap daerah juga berbeda-beda. Ambil contoh ruwahan di Dusun Gamping Kidul dan Dusun Geblagan Yogyakarta. Tradisi ruwahan di dua dusun ini berlangsung sejak tahun 1984. Tradisi ruwahan dilaksanakan pada bulan Syaban tiap tahunnya.
Tradisi ini bergotong royong untuk membersihkan makam, bersedekah kenduri yang dibawa dari rumah masing-masing warga, mendoakan bersama para arwah leluhur pada makam tersebut dengan cara bersalawat jawi.
Penganut agama Islam di Dusun Gamping Kidul dan Dusun Geblagan terdiri dari dua golongan, yakni agama Islam Santri dan Islam Abangan. Islam Santri yaitu pemeluk agama Islam yang secara keseluruhan mengikuti ajaran-ajaran Islam. Sedangkan Islam Abangan yaitu sebagai ajaran orang Jawa yang tidak dapat meninggalkan kepercayaan aslinya, dengan keyakinan konsep-konsep dan sistem upacara serta ritus agama Islam.
Oleh karena itu, sebagian kecil pemeluk agama Islam pada dua dusun ini masih menjalankan sesaji serta kelengkapanya termasuk membakar kemenyan, menabur bunga pada masing-masing nisan para leluhurnya. Tujuan tradisi ini untuk mendapatkan keselamatan, ketentraman dalam lingkungan para leluhurnya.
Walisongo
Sekadar mengingatkan, nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan. Dalam bahasa Jawa, nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah Syaban.
Pada awalnya, nyadran dilakukan masyarakat Hindu-Budha. Sejak abad ke-15 Walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya, agar agama Islam dapat dengan mudah diterima.
Pada awalnya para wali berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam agama Islam yang dinilai musyrik. Agar tidak berbenturan dengan tradisi Jawa saat itu, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelaraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan pembacaan ayat Al-Quran, tahlil, dan doa. Nyadran dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dengan sesama manusia dan dengan Tuhan.
(mhy)