Ayat-Ayat Kauniyah dalam Al-Quran Menurut Quraish Shihab

Senin, 20 Maret 2023 - 05:15 WIB
loading...
A A A
Dalam kaitan dengan butir ketiga di atas, Quraish Shihab mengatakan, perlu digarisbawahi beberapa prinsip dasar yang dapat, atau bahkan seharusnya, diperhatikan dalam usaha memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang mengambil corak ilmiah. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah:

(1) Setiap Muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari dan memahami Kitab Suci yang dipercayainya, walaupun hal ini bukan berarti bahwa setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan pendapat-pendapatnya tanpa memenuhi seperangkat syarat-syarat tertentu.

(2) Al-Quran diturunkan bukan hanya khusus ditujukan untuk orang-orang Arab ummiyyin yang hidup pada masa Rasul saw. dan tidak pula hanya untuk masyarakat abad ke-20, tetapi untuk seluruh manusia hingga akhir zaman.

Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran serta dituntut menggunakan akalnya dalam rangka memahami petunjuk-petunjuk-Nya. Dan kalau disadari bahwa akal manusia dan hasil penalarannya dapat berbeda-beda akibat latar belakang pendidikan, kebudayaan, pengalaman, kondisi sosial, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka adalah wajar apabila pemahaman atau penafsiran seseorang dengan yang lainnya, baik dalam satu generasi atau tidak, berbeda-beda pula.

(3) Berpikir secara kontemporer sesuai dengan perkembangan zaman dan iptek dalam kaitannya dengan pemahaman Al-Quran tidak berarti menafsirkan Al-Quran secara spekulatif atau terlepas dari kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli yang memiliki otoritas dalam bidang ini.



(4) Salah satu sebab pokok kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran adalah keterbatasan pengetahuan seseorang menyangkut subjek bahasan ayat-ayat Al-Quran. Seorang mufasir mungkin sekali terjerumus kedalam kesalahan apabila ia menafsirkan ayat-ayat kawniyyah tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang astronomi, demikian pula dengan pokok-pokok bahasan ayat yang lain.

Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pokok di atas, ulama-ulama tafsir memperingatkan perlunya para mufasir --khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan penafsiran ilmiah-- untuk menyadari sepenuhnya sifat penemuan-penemuan ilmiah, serta memperhatikan secara khusus bahasa dan konteks ayat-ayat Al-Quran.

Penafsiran Ilmiah

Quraish Shihab menjelaskan bahwa disepakati oleh semua pihak bahwa penemuan-penemuan ilmiah, di samping ada yang telah menjadi hakikat-hakikat ilmiah yang dapat dinilai telah memiliki kemapanan, ada pula yang masih sangat relatif atau diperselisihkan sehingga tidak dapat dijamin kebenarannya.

Atas dasar larangan menafsirkan Al-Quran secara spekulatif, maka sementara ulama Al-Quran tidak membenarkan penafsiran ayat-ayat berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah yang sifatnya belum mapan.

Seorang ulama berpendapat bahwa "Kita tidak ingin terulang apa yang terjadi atas Perjanjian Lama ketika gereja menafsirkannya dengan penafsiran yang kemudian ternyata bertentangan dengan penemuan para ilmuwan."

Ada Pula yang berpendapat bahwa "Kita berkewajiban menjelaskan Al-Quran secara ilmiah dan biarlah generasi berikut membuka tabir kesalahan kita dan mengumumkannya."

Abbas Mahmud Al-Aqqad memberikan jalan tengah. Seseorang hendaknya jangan mengatasnamakan Al-Quran dalam pendapat-pendapatnya, apalagi dalam perincian penemuan-penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh redaksi ayat-ayat Al-Quran.

Dalam hal ini, Al-Aqqad memberikan contoh menyangkut ayat 30 Surah Al-Anbiya' yang oleh sementara ilmuwan Muslim dipahami sebagai berbicara tentang kejadian alam raya, yang pada satu ketika merupakan satu gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan.



Setiap orang bebas memahami kapan dan bagaimana terjadinya pemisahan itu, tetapi ia tidak dibenarkan mengatasnamakan Al-Quran menyangkut pendapatnya, karena Al-Quran tidak menguraikannya.

Setiap Muslim berkewajiban mempercayai segala sesuatu yang dikandung oleh Al-Quran, sehingga bila seseorang mengatasnamakan Al-Quran untuk membenarkan satu penemuan atau hakikat ilmiah yang tidak dicakup oleh kandungan redaksi ayat-ayat Al-Quran, maka hal ini dapat berarti bahwa ia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai apa yang dibenarkannya itu, sedangkan hal tersebut belum tentu demikian.

Pendapat yang disimpulkan dari uraian Al-Aqqad di atas, bukan berarti bahwa ulama dan cendekiawan Mesir terkemuka ini menghalangi pemahaman suatu ayat berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan.

Tidak! Sebab, menurut Al-Aqqad lebih lanjut, "Dahulu ada ulama yang memahami arti 'tujuh langit' sebagai tujuh planet yang mengitari tata surya --sesuai dengan perkembangan pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini merupakan ijtihad yang baik sebagai pemahamannya (selama) ia tidak mewajibkan atas dirinya untuk mempercayainya sebagai akidah dan atau mewajibkan yang demikian itu terhadap orang lain."
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1487 seconds (0.1#10.140)