Benarkah Kewajiban Puasa Ramadan Langsung Sebulan Penuh?

Selasa, 21 Maret 2023 - 05:15 WIB
loading...
Benarkah Kewajiban Puasa...
Tentang puasa Ramadan, ditemukan dalam surat Al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Foto/Ilustrasi: dok SINDOnews
A A A
Prof Dr Muhammad Quraish Shihab, MA mengatakan uraian Al-Quran tentang puasa Ramadan, ditemukan dalam surat Al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadan baru diwajibkan setelah Nabi SAW tiba di Madinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat Al-Baqarah turun di Madinah .

"Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa Ramadan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban tahun kedua Hijrah," ujar Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat".

Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran selama sebutan penuh, ataukah bertahap?

Quraish Shihab menjelaskan kalau melihat sikap Al-Quran yang seringkali melakukan penahapan dalam perintah-perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapat dikatakan demikian.



Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma'dudat (beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan turunnya ayat 185:

"Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadan), maka hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya."

Menurut Quraish Shihab, pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadan terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada ketiga ayat puasa Ramadan sebagai satu kesatuan, Quraish Shihab lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan.

"Memang, tidak mustahil bahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnah sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagi tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa sunnah tertentu," ujarnya.

Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadan, dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat Islam untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan pun.



Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. Ia dimulai dengan panggilan mesra, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa."

Di sini tidak dijelaskan siapa yang mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu, tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, "sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu."

Jika demikian, maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa sendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)."

Kemudian Al-Quran dalam surat Al-Baqarah (2): 186 menjelaskan bahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya "beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan sehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan," maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain.

"Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan bahwa "berpuasa adalah baik."

Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan bulan Ramadan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut sebelumnya.



Ayat tentang kewajiban puasa Ramadan ditutup dengan "Allah menghendaki kemudahan untuk kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbir dan bersyukur.

Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapi tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya dalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai rahasia tersendiri.

Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bulan Ramadan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena itu ayat tersebut menegaskan bahwa "Allah dekat kepada hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa."

Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukan hubungan seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang lamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

Puasa dalam Al-Quran

Menurut Quraish Shihab, Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak 8 kali, kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat. Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak bebicara:



Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun" ( QS Maryam [19] : 26).

Demikian ucapan Maryam as yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran anaknya (Isa as). "Kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadan, sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa 'berpuasa adalah baik untuk kamu', dan sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin wash-shaimat," terang Quraish Shihab.

Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kata Quraish Shihab, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidak bergerak".

Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim. Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas --apa pun aktivitas itu-- dinamai shaim (berpuasa).

Pengertian kebahasaan ini, menutut Quraish Shihab, dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari".



Quraish Shihab mengatakan kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa.

Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi manusia-- pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa.

Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan oleh banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10. "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas."

Quraish Shihab menjelaskan orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.

Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum sebagaimana disinggung di atas. 1. Puasa wajib sebutan Ramadan. 2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau semacamnya. 3. Puasa sunnah.
(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3238 seconds (0.1#10.140)