Orang Berpuasa Wajib Menjaga Lisan dari Kata-Kata yang Tidak Bermanfaat

Jum'at, 24 Maret 2023 - 14:22 WIB
loading...
Orang Berpuasa Wajib Menjaga Lisan dari Kata-Kata yang Tidak Bermanfaat
Orang berpuasa juga perlu memuasakan lisannya. Foto/Ilustrasi: dok SINDOnews
A A A
Selain memuasakan perut dari makanan dan minuman, dan kemaluannya dari perbuatan keji, orang yang berpuasa harus memuasakan juga anggota tubuhnya yang lain dari perbutan dosa. Salah satunya adalah memuasakan lisannya dari dusta, kata-kata keji, dan sumpah palsu , serta kata-kata yang tidak bermanfaat.

Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar dalam kitabnya berjudul "Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab" yang diterjemahkan Abdul Ghoffar EM menjadi "Meraih Puasa Sempurna" (Pustaka Ibnu Katsir) mengatakan lisan merupakan sumber dari banyaknya dosa.

"Orang-orang mukmin sebenarnya adalah yang selalu menghindari pembicaraan yang tidak berarti dan senantiasa menghiasi diri dengan adab-adab Islam dalam ucapan mereka," ujar Abdullah bin Muhammad.



Allah SWT berfirman:

وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ

“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.” (QS al-Mu’-minuun/23 : 3)

Selain itu, Dia juga berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS Qaaf/50 : 18)

Menurut Abdullah bin Muhammad, kalau memang dia harus berbicara, maka dia akan berbicara dengan kata-kata yang tidak akan merusak puasanya. "Jika dia berbuat maka dia akan berbuat hal-hal yang tidak akan merusak puasanya, sehingga yang keluar darinya adalah ucapan yang baik dan amal perbuatan yang saleh," tuturnya.



Nabi SAW memerintahkan kepada setiap muslim yang berpuasa untuk menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan baik serta menjauhkan diri dari kata-kata dan perbuatan keji serta hina. Setiap muslim dilarang mengerjakan semua hal yang buruk tersebut pada setiap saat, tetapi larangan itu lebih ditekankan lagi pada saat dia menjalankan ibadah puasa.

Rasulullah SAW bersabda, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra:

“…وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ.”

“Puasa itu adalah perisai. Oleh karena itu, jika datang hari puasa, maka janganlah salah seorang di antara kalian melakukan rafats (berbicara kotor atau hubungan badan/jima’) dan tidak juga membuat kegaduhan. Dan jika ada orang yang mencaci atau menyerangnya, maka hendaklah dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’ (HR Bukhari dan Muslim)



Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan, “… Secara lahiriah, telah muncul musykilah (masalah) bahwa kata mufa’alah menuntut adanya perbuatan dari dua belah pihak."

"Orang yang berpuasa tidak akan muncul darinya perbuatan yang dapat memancing reaksi, khususnya pertikaian. Sedangkan yang dimaksud dengan mufa’alah adalah kesiapan untuk menanggapinya."

"Artinya, jika seseorang siap untuk melakukan penyerangan terhadapnya atau caci-maki terhadapnya, maka hendaklah dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’

Jika dia mengatakan hal tersebut, maka dimungkinkan baginya untuk menahan diri darinya (pertikaian)… Apakah boleh dikatakan dengan ucapan: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa,’ kepada orang yang menyerangnya atau dengan mengatakannya sendiri? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Imam an-Nawawi mengatakan, ‘Menyatukan keduanya adalah lebih baik.’

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1549 seconds (0.1#10.140)