Kisah Salat Tarawih yang Dipraktikkan Rasulullah SAW
loading...
A
A
A
Rasulullah SAW lebih banyak melakukan salat malam pada bulan suci Ramadan di rumah saja. Para sahabat mencatat, beliau hanya tiga malam saja di Masjid Madinah. Kala itu, belum ada istilah salat Tarawih melainkan salat malam Ramadan .
Dalam buku " Sejarah Tarawih " karya Ustaz Ahmad Zarkasih disebutkan salat yang disebut dengan istilah salat tarawih ini adalah salah satu bentuk salat malam juga pada umumnya. "Menjadi khusus karena memang ada anjuran Nabi SAW yang khusus untuk menghidupi malam-malam Ramadan dengan banyak ibadah, salah satu adalah mendirikan salat malam Ramadan," katanya.
Hal itu, kata Zarkasih, sesuai hadis Rasulullah seperti diriwayatkan an-Nasa'i. "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian puasa Ramadan, dan mensunnahkan qiyam-nya…"
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Nabi SAW memberikan motivasi kepada kita untuk melaksanakan qiyam ramadan tanpa memerintahkan dengan kuat. (HR al-Bukhari).
Dua hadis yang disebutkan itu dan hadis-hadis lain dengan nada sejenis merupakan anjuran yang sifatnya khusus dari segi waktu pengerjaan; yakni malam-malam ramadan untuk menghidupinya dengan ibadah, salah satunya salat. Dan di sisi lain, hadis-hadis sejenis juga adalah anjuran yang sangat umum sekali.
Bahwa Nabi SAW menganjurkan untuk menghidupi malam Ramadan dengan ibadah, tapi tidak ditentukan jenis ibadah apa. Begitu juga salat yang dianjurkan untuk dilakukan di malam-malam Ramadan tersebut.
Tidak pernah ada sebutan yang eksplisit tentang jumlah rakaat dan format salat yang bagaimana harusnya. Jadi anjurannya umum untuk semua jenis ibadah dan dengan jumlah rakaat yang tidak ditentukan.
Para sahabat ketika itu menjalankan apa yang diajurkan dengan format yang tidak teratur dan tidak terkomando dengan runutan yang sama. Sebagian mereka melakukannya di rumah, sebagian lain melakukannya di masjid Nabawi.
Mereka yang di Masjid Nabawi pun mengerjakannya tidak dengan alur yang sama; ada yang mengerjakan dengan sendiri-sendiri, dan ada juga yang mengerjakannya dengan berjamaah. Yang berjamaah pun berbeda-beda jumlahnya. Ada yang berjamaah dengan 5 orang, ada juga yang berenam, atau bahkan lebih sedikit dari itu, sesuai dengan bacaan siapa yang ia suka, imam itulah yang ia ikuti.
Itulah yang diceritakan oleh Sayyidah Aisyah , Istri Nabi SAW, yang kemudian direkam oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya. "Dari Sayyidah ‘Aisyah RA, beliau berkata: orang-orang melaksanakan salat di masjid Rasulullah SAW di malam-malam Ramadan itu berpisah-pisah. Mereka mengikuti orang yang punya hafalan Qur’an untuk dijadikan imam salatnya. Ada yang berjamaah dengan 5 orang, ada juga yang berenam, atau lebih sedikit atau bahkan lebih banyak dari itu. (HR Ahmad)
Itu berarti bahwa salat di masjid Nabawi itu memang tidak dihadiri oleh Nabi SAW yang memilih salat di dalam rumahnya. Karena kalau saja Nabi SAW ada di dalam masjid, niscaya seluruh sahabat yang berada di dalamnya pun akan menjadikan beliau imam salat mereka.
Sampai akhirnya di suatu malam, sebagaimana disebut oleh Sayyidina Anas bin Malik ra bahwa Nabi SAW masuk ke dalam masjid di tengah malam untuk menunaikan salat malam Ramadan. Dan orang-orang yang ada dalam masjid itu serentak mengikuti Nabi SAW untuk menjadi makmum beliau, termasuk sayyidina Anas karena memang beliau yang memulai duluan dan diikuti oleh banyak orang.
Agak lama berdirinya Nabi SAW di salat tersebut. Namun ketika beliau sadar bahwa beliau diikuti oleh banyak orang di belakang beliau, beliau percepat salatnya dan setelah selesai salat, beliau masuk rumah lagi dan meneruskan salatnya di dalam. Dan salat yang dilakukan di rumah itulah, salat yang sangat lama berdirinya.
Rasulullah tidak meneruskan di masjid, karena khawatir memberatkan mereka-mereka yang sudah menjadi makmumnya. Ini cerita yang diriwayatkan oleh Imam Al-Marwadzi (w. 294 H) dalam kitabnya yang masyhur terkait dengan periwayatan qiyam Ramadhan 4, dan juga oleh Imam Ibn KHuzaimah dalam kitab Shahihnya.
"Dari Sayyidina Anas bin Malik ra, Rasul SAW (suatu waktu) pernah salat di bulan Ramadan, lalu aku berdiri di sampingnya (menjadi makmum), dan kemudian diikuti oleh yang lain, lalu nambah dan nambah terus menjadi makmum yang banyak. Ketika Nabi SAW menyadari kehadiranku dan orang-orang yang menjadi makmumnya, Nabi SAW mempercepat salatnya, kemudian ia kembali ke dalam rumah. Ketika di rumah, beliau melakukan salat yang berat."
"Ketika pagi datang, kami bertanya kepada Nabi SAW: “Ya Rasulullah, apakah kau khawatir memberatkan kami?”, Nabi SAW menjawab: “Ya. Itu yang membuatku melakukan itu (mempercepat dan meneruskannya di rumah)”. (HR Ibn Khuzaimah)
Terkait dengan beberapa sahabat yang melakukannya di rumah; yakni melakukan salat malam Ramadan di rumah, Nabi SAW pun membolehkan, dan tidak mengingkari itu. Terbukti ketika Nabi SAW ditanya oleh sahabat Ubai bin Ka’ab yang ternyata salat malam Ramadan di rumah menjadi imam untuk orang-orang di rumahnya.
Masih dari Kitab yang sama yakni Kitab Qiyam Ramadhan 6, yang disusun oleh Imam al-Marwadzi, disebutkan tentang sahabat Ubai bin Ka’ab: Dari jabir bin Abdullah, disebutkan bahwa Ubai bin Ka’ab datang kepada Nabi SAW kemudian bertanya: “Wahai Rasul, semalam ada sesuatu di rumah ku.”
Nabi SAW bertanya: “Apa itu?”
Beliau menjawab: “Wanita-wanita di rumahku mengaku tidak punya hafalan Qur’an, maka mereka salat menjadi makmumku di rumah, dan akupun salat menjadi imam mereka dengan 8 rakaat!”
Nabi SAW pun diam seakan memberikan isyarat ridha (kebolehan). (HR al-Marwadzi)
Begitu juga Nabi SAW yang disebutkan dalam beberapa riwayat. Beliau mengajak orang rumahnya untuk mendirikan malam Ramadan dengan salat malam. Setidaknya Nabi SAW pernah dalam 4 kali mengumpukan keluarga untuk salat malam bersamanya.
Dari Anas bin Malik ra mengatakan bahwa Nabi SAW mengajak istrinya malam 21 Ramadan untuk salat malam sampai sepertiga malam. Kemudian beliau ajak lagi di malam ke 22, dan salat bersamanya sampai pertengahan malam. Lalu di malam ke 23 mereka salat malam sampai 2/3 malam.
Kemudian Nabi SAW juga mengajaknya lagi untuk salat di malam 24, dan mereka salat sampai subuh. Dan Nabi SAW tidak lagi mengajaknya kemudian.
Hadis-hadis yang disebutkan itu sebetulnya menjadi informasi bagi kita bahwa memang syariat salat malam di malam-malam Ramadan ketika awal-awal pensyariatannya, masih berupa anjuran umum. Dan datangnya Nabi SAW kepada sahabat yang sedang beribadah di masjid Nabawi lalu mengikuti jadi makmum beliau, dan salatnya beliau sendirian di rumah lalu di malam berikutnya mengajak istri untuk berjamaah, memberikan banyak informasi dasar tentang salat malam di Ramadan.
Pertama, itu berarti salat malam di bulan Ramadan, waktunya tidak pernah ditentukan, apakah ia di awal atau di tengah atau di akhir. Kedua, salat malam yang dikerjakan di malam Ramadan itu tidak diharuskan dikerjakan sendiri atau berjamaah. Keduanya boleh dilakukan. Nabi SAW pun melakukan keduanya.
Ketiga, Nabi SAW tidak ingin memberatkan umatnya. Dalam keadaan sendiri, Nabi SAW mengerjakan salat dengan pengerjaan yang lama. Tapi ketika ia mengerjakan di masjid lalu sadar diikuti oleh sahabat di belakangannya, Nabi mempercepat itu agar tidak memberatkan.
Keempat, riwayat yang sampai kepada kita terkait awal-awal pensyariatan qiyam Ramadan, tidak pernah disebutkan ada batasan jumlah rakaat, baik itu minimal atau maksimal.
Nabi SAW tidak diriwayatkan secara eksplisit tentang jumlah rakaat tertentu. Nabi SAW hanya mengimami sebanyak 3 malam. Menurut Zarkasih itu terjadi di malam ke 23, 25, dan juga 27, dengan waktu salat yang lamanya berbeda-beda.
Dari Abu Dzar ra berkata: kami berpuasa bersama Nabi SAW di bulan Ramadan, dan beliau tidak pernah menghidupkan malam Ramadan bersama kami (di masjid) kecuali ketika pada malam ke-23. Beliau salat bersama kami sampai 1/3 malam. Di malam ke-24, beliau datang kepada kami. Dan malam ke- 25 beliau datang menjadi imam salat kami, sampai setengah malam.
Kemudian beberapa dari kami mengatakan kepada Nabi SAW: “Apa tidak kita habiskan saja satu malam untuk beribadah sunnah ini?”, kemudian Nabi menjawab: “Siapa yang salat malam bersama imam, maka seluruh malamnya dihitung sebagai ibadah”. Dan beliau tidak datang kepada kami di malam 26, dan datang lagi di malam ke-27, dan di malam itu kami salat bersama beliau dengan manusia yang banyak dan salat yang lama sampai kami khawatir melewatkan sahur. (HR al-Baihaqi)
Dalam buku " Sejarah Tarawih " karya Ustaz Ahmad Zarkasih disebutkan salat yang disebut dengan istilah salat tarawih ini adalah salah satu bentuk salat malam juga pada umumnya. "Menjadi khusus karena memang ada anjuran Nabi SAW yang khusus untuk menghidupi malam-malam Ramadan dengan banyak ibadah, salah satu adalah mendirikan salat malam Ramadan," katanya.
Hal itu, kata Zarkasih, sesuai hadis Rasulullah seperti diriwayatkan an-Nasa'i. "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian puasa Ramadan, dan mensunnahkan qiyam-nya…"
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Nabi SAW memberikan motivasi kepada kita untuk melaksanakan qiyam ramadan tanpa memerintahkan dengan kuat. (HR al-Bukhari).
Baca Juga
Dua hadis yang disebutkan itu dan hadis-hadis lain dengan nada sejenis merupakan anjuran yang sifatnya khusus dari segi waktu pengerjaan; yakni malam-malam ramadan untuk menghidupinya dengan ibadah, salah satunya salat. Dan di sisi lain, hadis-hadis sejenis juga adalah anjuran yang sangat umum sekali.
Bahwa Nabi SAW menganjurkan untuk menghidupi malam Ramadan dengan ibadah, tapi tidak ditentukan jenis ibadah apa. Begitu juga salat yang dianjurkan untuk dilakukan di malam-malam Ramadan tersebut.
Tidak pernah ada sebutan yang eksplisit tentang jumlah rakaat dan format salat yang bagaimana harusnya. Jadi anjurannya umum untuk semua jenis ibadah dan dengan jumlah rakaat yang tidak ditentukan.
Para sahabat ketika itu menjalankan apa yang diajurkan dengan format yang tidak teratur dan tidak terkomando dengan runutan yang sama. Sebagian mereka melakukannya di rumah, sebagian lain melakukannya di masjid Nabawi.
Mereka yang di Masjid Nabawi pun mengerjakannya tidak dengan alur yang sama; ada yang mengerjakan dengan sendiri-sendiri, dan ada juga yang mengerjakannya dengan berjamaah. Yang berjamaah pun berbeda-beda jumlahnya. Ada yang berjamaah dengan 5 orang, ada juga yang berenam, atau bahkan lebih sedikit dari itu, sesuai dengan bacaan siapa yang ia suka, imam itulah yang ia ikuti.
Itulah yang diceritakan oleh Sayyidah Aisyah , Istri Nabi SAW, yang kemudian direkam oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya. "Dari Sayyidah ‘Aisyah RA, beliau berkata: orang-orang melaksanakan salat di masjid Rasulullah SAW di malam-malam Ramadan itu berpisah-pisah. Mereka mengikuti orang yang punya hafalan Qur’an untuk dijadikan imam salatnya. Ada yang berjamaah dengan 5 orang, ada juga yang berenam, atau lebih sedikit atau bahkan lebih banyak dari itu. (HR Ahmad)
Itu berarti bahwa salat di masjid Nabawi itu memang tidak dihadiri oleh Nabi SAW yang memilih salat di dalam rumahnya. Karena kalau saja Nabi SAW ada di dalam masjid, niscaya seluruh sahabat yang berada di dalamnya pun akan menjadikan beliau imam salat mereka.
Sampai akhirnya di suatu malam, sebagaimana disebut oleh Sayyidina Anas bin Malik ra bahwa Nabi SAW masuk ke dalam masjid di tengah malam untuk menunaikan salat malam Ramadan. Dan orang-orang yang ada dalam masjid itu serentak mengikuti Nabi SAW untuk menjadi makmum beliau, termasuk sayyidina Anas karena memang beliau yang memulai duluan dan diikuti oleh banyak orang.
Agak lama berdirinya Nabi SAW di salat tersebut. Namun ketika beliau sadar bahwa beliau diikuti oleh banyak orang di belakang beliau, beliau percepat salatnya dan setelah selesai salat, beliau masuk rumah lagi dan meneruskan salatnya di dalam. Dan salat yang dilakukan di rumah itulah, salat yang sangat lama berdirinya.
Rasulullah tidak meneruskan di masjid, karena khawatir memberatkan mereka-mereka yang sudah menjadi makmumnya. Ini cerita yang diriwayatkan oleh Imam Al-Marwadzi (w. 294 H) dalam kitabnya yang masyhur terkait dengan periwayatan qiyam Ramadhan 4, dan juga oleh Imam Ibn KHuzaimah dalam kitab Shahihnya.
"Dari Sayyidina Anas bin Malik ra, Rasul SAW (suatu waktu) pernah salat di bulan Ramadan, lalu aku berdiri di sampingnya (menjadi makmum), dan kemudian diikuti oleh yang lain, lalu nambah dan nambah terus menjadi makmum yang banyak. Ketika Nabi SAW menyadari kehadiranku dan orang-orang yang menjadi makmumnya, Nabi SAW mempercepat salatnya, kemudian ia kembali ke dalam rumah. Ketika di rumah, beliau melakukan salat yang berat."
"Ketika pagi datang, kami bertanya kepada Nabi SAW: “Ya Rasulullah, apakah kau khawatir memberatkan kami?”, Nabi SAW menjawab: “Ya. Itu yang membuatku melakukan itu (mempercepat dan meneruskannya di rumah)”. (HR Ibn Khuzaimah)
Terkait dengan beberapa sahabat yang melakukannya di rumah; yakni melakukan salat malam Ramadan di rumah, Nabi SAW pun membolehkan, dan tidak mengingkari itu. Terbukti ketika Nabi SAW ditanya oleh sahabat Ubai bin Ka’ab yang ternyata salat malam Ramadan di rumah menjadi imam untuk orang-orang di rumahnya.
Masih dari Kitab yang sama yakni Kitab Qiyam Ramadhan 6, yang disusun oleh Imam al-Marwadzi, disebutkan tentang sahabat Ubai bin Ka’ab: Dari jabir bin Abdullah, disebutkan bahwa Ubai bin Ka’ab datang kepada Nabi SAW kemudian bertanya: “Wahai Rasul, semalam ada sesuatu di rumah ku.”
Nabi SAW bertanya: “Apa itu?”
Beliau menjawab: “Wanita-wanita di rumahku mengaku tidak punya hafalan Qur’an, maka mereka salat menjadi makmumku di rumah, dan akupun salat menjadi imam mereka dengan 8 rakaat!”
Nabi SAW pun diam seakan memberikan isyarat ridha (kebolehan). (HR al-Marwadzi)
Begitu juga Nabi SAW yang disebutkan dalam beberapa riwayat. Beliau mengajak orang rumahnya untuk mendirikan malam Ramadan dengan salat malam. Setidaknya Nabi SAW pernah dalam 4 kali mengumpukan keluarga untuk salat malam bersamanya.
Dari Anas bin Malik ra mengatakan bahwa Nabi SAW mengajak istrinya malam 21 Ramadan untuk salat malam sampai sepertiga malam. Kemudian beliau ajak lagi di malam ke 22, dan salat bersamanya sampai pertengahan malam. Lalu di malam ke 23 mereka salat malam sampai 2/3 malam.
Kemudian Nabi SAW juga mengajaknya lagi untuk salat di malam 24, dan mereka salat sampai subuh. Dan Nabi SAW tidak lagi mengajaknya kemudian.
Hadis-hadis yang disebutkan itu sebetulnya menjadi informasi bagi kita bahwa memang syariat salat malam di malam-malam Ramadan ketika awal-awal pensyariatannya, masih berupa anjuran umum. Dan datangnya Nabi SAW kepada sahabat yang sedang beribadah di masjid Nabawi lalu mengikuti jadi makmum beliau, dan salatnya beliau sendirian di rumah lalu di malam berikutnya mengajak istri untuk berjamaah, memberikan banyak informasi dasar tentang salat malam di Ramadan.
Pertama, itu berarti salat malam di bulan Ramadan, waktunya tidak pernah ditentukan, apakah ia di awal atau di tengah atau di akhir. Kedua, salat malam yang dikerjakan di malam Ramadan itu tidak diharuskan dikerjakan sendiri atau berjamaah. Keduanya boleh dilakukan. Nabi SAW pun melakukan keduanya.
Ketiga, Nabi SAW tidak ingin memberatkan umatnya. Dalam keadaan sendiri, Nabi SAW mengerjakan salat dengan pengerjaan yang lama. Tapi ketika ia mengerjakan di masjid lalu sadar diikuti oleh sahabat di belakangannya, Nabi mempercepat itu agar tidak memberatkan.
Keempat, riwayat yang sampai kepada kita terkait awal-awal pensyariatan qiyam Ramadan, tidak pernah disebutkan ada batasan jumlah rakaat, baik itu minimal atau maksimal.
Nabi SAW tidak diriwayatkan secara eksplisit tentang jumlah rakaat tertentu. Nabi SAW hanya mengimami sebanyak 3 malam. Menurut Zarkasih itu terjadi di malam ke 23, 25, dan juga 27, dengan waktu salat yang lamanya berbeda-beda.
Dari Abu Dzar ra berkata: kami berpuasa bersama Nabi SAW di bulan Ramadan, dan beliau tidak pernah menghidupkan malam Ramadan bersama kami (di masjid) kecuali ketika pada malam ke-23. Beliau salat bersama kami sampai 1/3 malam. Di malam ke-24, beliau datang kepada kami. Dan malam ke- 25 beliau datang menjadi imam salat kami, sampai setengah malam.
Kemudian beberapa dari kami mengatakan kepada Nabi SAW: “Apa tidak kita habiskan saja satu malam untuk beribadah sunnah ini?”, kemudian Nabi menjawab: “Siapa yang salat malam bersama imam, maka seluruh malamnya dihitung sebagai ibadah”. Dan beliau tidak datang kepada kami di malam 26, dan datang lagi di malam ke-27, dan di malam itu kami salat bersama beliau dengan manusia yang banyak dan salat yang lama sampai kami khawatir melewatkan sahur. (HR al-Baihaqi)
(mhy)