Perkembangan Salat Tarawih yang Dipraktikkan Khulafaur Rasyidin
loading...
A
A
A
Salat Tarawih berkembang pada zaman khalifaur rasyidin . Pada era Khalifah Abu Bakar ra masih sebagaimana dipraktikkan Rasulullah SAW . Perubahan mulai terjadi di era Khalifah Umar bin Khattab .
Dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatho’, beliau meriwayatkan anjuran Nabi SAW tentang menghidupkan malam-malam Ramadan dengan ibadah akan tetapi anjuran itu tidak mantap. Bahasa Fiqih-nya; bighairi ‘azimah.
Kemudian anjuran tersebut disambung dengan pernyataan Ibn Syihab yang menyebut bahwa apa yang terjadi di masa Nabi hidup itu berlaku juga juga tidak berubah di masa Sayyidina Abu Bakar menjabat sebagai khalifah sampai pada masa awal-awal Sayyidina Umar ra menjabat. Bahkan riwayat ini pun termaktub dalam kitab sahih-nya Imam al-Bukhari dan juga Imam Muslim dengan redaksi yang sama.
Ibn Syihab berkata: Nabi SAW wafat dan keadaan (salat malam Ramadan) begitu saja di masa Abu Bakar dan masa awal-awal menjabatnya Sayyidina Umar (HR Malik).
Hanya saja, ada riwayat yang disebutkan dalam beberapa kitab hadis, termasuk oleh Imam al-Marwadzi dalam kitabnya "Qiyam Ramadhan", tentang Sayyidah Aisyah yang memasakkan qaliyyah 14 dan juga khusykar 15; yakni sejenis roti untuk anak-anak yang menjadi Imam mereka.
Dari Sayyidah ‘Aisyah, "Kami menjadikan anak-anak dari kuttab 16 (pondok Qur’an) untuk kami jadikan imam salat kami di bulan Ramadan, lalu kami masakan untuk mereka qaliyyah dan juga khusykar."
Sheikh ‘Athiyah Salim dalam kitabnya "al-Tarawih Aktsar min Alfi ‘Aam", menyebut bahwa riwayat Sayyidah ‘Aisyah yang menjadikan anak-anak penghafal Qur’an menjadi Imam untuk salat malam mereka di Ramadan ini terjadi di zaman Abu Bakar menjabat sebagai khalifah. Bukan terjadi di zaman Nabi.
Menurut Ustaz Ahmad Zarkasih Lc , dalam bukunya yang berjudul "Sejarah Tarawih" kejadian ini mungkin berangkat dari apa yang pernah disebutkan oleh Nabi SAW untuk mengangkat imam, orang yang paling banyak hafalan Qur’annya. Dan mungkin ketika itu, anak-anak dari Kuttab itulah yang paling banyak hafalan Qur’annya dibanding yang lain. Maka jadilah mereka imam.
Di samping itu, kata Syaikh ‘Athiyah Salim, di masjid Nabawi muncul fenomena saling membagus-baguskan bacaan agar banyak diikuti oleh makmum. Karena memang tidak ada komando satu jamaah. Jamaah mengikuti siapa yang bagi mereka bagus bacaannya.
Pada akhirnya, terjadi semacam kompetisi tidak tertulis tentang imam-imam “dadakan” di masjid Nabawi guna menarik perhatian makmum. Masjid pun menjadi gaduh dan bising. Kondisi ini tidak disukai Umar. Beliau akhirnya membuat kebijakan baru untuk menyatukan seluruh jamaah dengan satu imam. Tidak lagi berpencar-pencar.
Menurut Ahmad Zarkasih, setidaknya inilah perubahan pertama yang terjadi dalam pelaksanaan ritual salat malam Ramadan yang dipromotori oleh Umar; yakni menyatukan seluruh jemaah di masjid menjadi satu jemaah yang banyak dan dipimpin oleh satu imam.
Imam yang dipilih untuk salat malam Ramadan ketika itu adalah Ubai bin Ka’ab ra. Selain Ubai, dalam Mushannaf Abdurrazaq (salah satu Kitab hadis), disebutkan bahwa Umar juga memerintahkan Tamim al-Dariy untuk jadi Imam. Artinya di dalam masjid Nabawi, ada dua imam dengan satu jemaah, yakni Ubai bin Ka’ab dan Tamim Al-Dariy.
Teknisnya, Tamim al-Dariy menggantikan Ubai bin Ka’ab di sisa setengah pelaksanaan salat malam Ramadan di masjid Nabawi. Perubahan ini semua terjadi pada Ramadan tahun ke-13 Hijrah; yakni pada Ramadan pertama Umar menjabat sebagai khalifah menggantikan Abu Bakar.
Pada masa itu, salat malam sangat lama, sampai subuh. Ini terjadi karena bacaan yang panjang. Ibn Syabah dalam kitab sejarahnya tentang kota Madinah (Tarikh al-Madinah) meriwayatkan sebuah temuan yang menceritakan bahwa surat yang dibaca oleh imam pada masa Umar itu adalah surat-surat Al-Mi’un; yakni antara surat al-Anfal sampai surat al-Sajadah.
Karenanya wajar kemudian jika beberapa jemaah membawa tongkat untuk menopang mereka berdiri dalam salat. Bahkan ada yang mengikat dirinya dengan tali yang disambungkan ke atap agar tetap berdiri di waktu mereka sudah kelelahan.
Selain itu, Umar pun membuatkan jamaah salat malam Ramadan khusus untuk perempuan. Beliau menugaskan salah seorang sahabat, Sulaiman bin Abi Hatsmah, untuk menjadi imam.
Selanjutnya, dalam perkembangannya, Umar mengubah format salat qiyam Ramadan di masjid Nabawi. Perubahan itu mengarah kepada format yang lebih memudahkan dan tidak melelahkan baik bagi imam ataupun bagi makmum.
Dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatho’, beliau meriwayatkan anjuran Nabi SAW tentang menghidupkan malam-malam Ramadan dengan ibadah akan tetapi anjuran itu tidak mantap. Bahasa Fiqih-nya; bighairi ‘azimah.
Kemudian anjuran tersebut disambung dengan pernyataan Ibn Syihab yang menyebut bahwa apa yang terjadi di masa Nabi hidup itu berlaku juga juga tidak berubah di masa Sayyidina Abu Bakar menjabat sebagai khalifah sampai pada masa awal-awal Sayyidina Umar ra menjabat. Bahkan riwayat ini pun termaktub dalam kitab sahih-nya Imam al-Bukhari dan juga Imam Muslim dengan redaksi yang sama.
Baca Juga
Ibn Syihab berkata: Nabi SAW wafat dan keadaan (salat malam Ramadan) begitu saja di masa Abu Bakar dan masa awal-awal menjabatnya Sayyidina Umar (HR Malik).
Hanya saja, ada riwayat yang disebutkan dalam beberapa kitab hadis, termasuk oleh Imam al-Marwadzi dalam kitabnya "Qiyam Ramadhan", tentang Sayyidah Aisyah yang memasakkan qaliyyah 14 dan juga khusykar 15; yakni sejenis roti untuk anak-anak yang menjadi Imam mereka.
Dari Sayyidah ‘Aisyah, "Kami menjadikan anak-anak dari kuttab 16 (pondok Qur’an) untuk kami jadikan imam salat kami di bulan Ramadan, lalu kami masakan untuk mereka qaliyyah dan juga khusykar."
Sheikh ‘Athiyah Salim dalam kitabnya "al-Tarawih Aktsar min Alfi ‘Aam", menyebut bahwa riwayat Sayyidah ‘Aisyah yang menjadikan anak-anak penghafal Qur’an menjadi Imam untuk salat malam mereka di Ramadan ini terjadi di zaman Abu Bakar menjabat sebagai khalifah. Bukan terjadi di zaman Nabi.
Menurut Ustaz Ahmad Zarkasih Lc , dalam bukunya yang berjudul "Sejarah Tarawih" kejadian ini mungkin berangkat dari apa yang pernah disebutkan oleh Nabi SAW untuk mengangkat imam, orang yang paling banyak hafalan Qur’annya. Dan mungkin ketika itu, anak-anak dari Kuttab itulah yang paling banyak hafalan Qur’annya dibanding yang lain. Maka jadilah mereka imam.
Di samping itu, kata Syaikh ‘Athiyah Salim, di masjid Nabawi muncul fenomena saling membagus-baguskan bacaan agar banyak diikuti oleh makmum. Karena memang tidak ada komando satu jamaah. Jamaah mengikuti siapa yang bagi mereka bagus bacaannya.
Era Khalifah Umar bi Khattab
Keadaan salat di malam Ramadan mulai berubah di zaman Sayyidina Umar bin Khattab ra . Pada awalnya, salat di masjid Nabawi ramai dengan bacaan masing-masing imam. Jamaah kian banyak dan berpencar-pencar. Orang berpindah dari satu imam ke imam yang lain; sesuai dengan bacaan Qur'an yang ia suka.Pada akhirnya, terjadi semacam kompetisi tidak tertulis tentang imam-imam “dadakan” di masjid Nabawi guna menarik perhatian makmum. Masjid pun menjadi gaduh dan bising. Kondisi ini tidak disukai Umar. Beliau akhirnya membuat kebijakan baru untuk menyatukan seluruh jamaah dengan satu imam. Tidak lagi berpencar-pencar.
Menurut Ahmad Zarkasih, setidaknya inilah perubahan pertama yang terjadi dalam pelaksanaan ritual salat malam Ramadan yang dipromotori oleh Umar; yakni menyatukan seluruh jemaah di masjid menjadi satu jemaah yang banyak dan dipimpin oleh satu imam.
Imam yang dipilih untuk salat malam Ramadan ketika itu adalah Ubai bin Ka’ab ra. Selain Ubai, dalam Mushannaf Abdurrazaq (salah satu Kitab hadis), disebutkan bahwa Umar juga memerintahkan Tamim al-Dariy untuk jadi Imam. Artinya di dalam masjid Nabawi, ada dua imam dengan satu jemaah, yakni Ubai bin Ka’ab dan Tamim Al-Dariy.
Teknisnya, Tamim al-Dariy menggantikan Ubai bin Ka’ab di sisa setengah pelaksanaan salat malam Ramadan di masjid Nabawi. Perubahan ini semua terjadi pada Ramadan tahun ke-13 Hijrah; yakni pada Ramadan pertama Umar menjabat sebagai khalifah menggantikan Abu Bakar.
Pada masa itu, salat malam sangat lama, sampai subuh. Ini terjadi karena bacaan yang panjang. Ibn Syabah dalam kitab sejarahnya tentang kota Madinah (Tarikh al-Madinah) meriwayatkan sebuah temuan yang menceritakan bahwa surat yang dibaca oleh imam pada masa Umar itu adalah surat-surat Al-Mi’un; yakni antara surat al-Anfal sampai surat al-Sajadah.
Karenanya wajar kemudian jika beberapa jemaah membawa tongkat untuk menopang mereka berdiri dalam salat. Bahkan ada yang mengikat dirinya dengan tali yang disambungkan ke atap agar tetap berdiri di waktu mereka sudah kelelahan.
Selain itu, Umar pun membuatkan jamaah salat malam Ramadan khusus untuk perempuan. Beliau menugaskan salah seorang sahabat, Sulaiman bin Abi Hatsmah, untuk menjadi imam.
Selanjutnya, dalam perkembangannya, Umar mengubah format salat qiyam Ramadan di masjid Nabawi. Perubahan itu mengarah kepada format yang lebih memudahkan dan tidak melelahkan baik bagi imam ataupun bagi makmum.