Mengapa Dianjurkan Berbuka Puasa dengan yang Manis? Begini Penjelasannya
loading...
A
A
A
Ketika berbuka puasa , umat muslim dianjurkan untuk menyegerakan berbuka dengan makanan yang manis. Benarkah berbuka harus dengan yang manis? Bagaimana penjelasannya?
Sebenarnya, buka puasa yang dianjurkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam adalah dengan kurma. Meski kurma itu manis, namun yang disebut Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah kurma, dan buah kurma memiliki keistimewaan dibanding buah lain, apalagi sekedar makanan manis.
Sebuah hadis menyebutkan, “Biasanya Rasulullah berbuka puasa dengan ruthab sebelum salat (Maghrib). Jika tidak ada ruthab (kurma muda), maka dengan tamr (kurma matang). Jika tidak ada tamr maka beliau meneguk beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud).
Buah kurman memang memiliki keistimewaan tersendiri. Terlihat dari hadis Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya ada sebuah pohon yang daunnya tidak berguguran, dan ia merupakan permisalan seorang muslim. Pohon apa itu?”
Ibnu Umar berkata, “Aku menyangka yang dimaksud (nabi) adalah pohon kurma. Namun aku enggan mengatakan ‘wahai Rasulullah, itu adalah pohon kurma’. Maka aku pun berpaling. Karena aku terlalu muda untuk bicara kepada mereka (saat itu di majelis Rasulullah banyak shahabat senior-pen), jadi aku diam saja. Rasulullah kemudian memberitahu jawabannya, “Pohon tersebut adalah pohon kurma.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Namun, beberapa ulama meng-qiyaskan antara kurma dan makanan manis. Karena adanya qiyas itu, kemudian muncul pendapat yang membenarkan ungkapan “berbukalah dengan yang manis.” Namun qiyas ini dianggap keliru dan tidak disepakati oleh para ulama.
Pasalnya, sebagaimana disebutkan sebelumnya, kurma memiliki keistimewaan dan keberkahan. Dengannya, ia tak bisa diqiyaskan dengan apapun termasuk makanan manis. Selain itu, kekeliruan qiyas ini pula nampak dari kebiasaan nabi.
Beliau Shallallau‘alaihi wa sallam memilih meneguk air putih jika tidak ada kurma. Jikalau yang dimaksud nabi adalah berbuka dengan makanan manis, maka beliau tidaklah memilih air putih jika tak ada kurma.
Maka jika qiyas tersebut benar, artinya ada konsekuensi jika tak ada makanan manis, minumlah air putih. Padahal yang dilakukan nabi adalah jika tak ada kurma, minumlah air putih. Kurma dan air putih menjadi sunnah nabi dari hadis di atas.
Salah seorang ulama syafi’iyyah, Zainuddin Al Malibari dalam Fathul Mu’in mengatakan, “Syaikhan (yakni An Nawawi dan Ar Rafi’i, dua ulama besar mazhab syafi’i - pen) mengatakan, ‘tidak ada yang lebih afdhal dari kurma selain air minum’. Maka pendapat Ar Rauyani (ulama yang mengqiyaskan kurma dengan makanan manis-pen) bahwa makanan manis itu lebih afdhal dari air adalah pendapat yang lemah.”
Wallahu A'lam
Sebenarnya, buka puasa yang dianjurkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam adalah dengan kurma. Meski kurma itu manis, namun yang disebut Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah kurma, dan buah kurma memiliki keistimewaan dibanding buah lain, apalagi sekedar makanan manis.
Sebuah hadis menyebutkan, “Biasanya Rasulullah berbuka puasa dengan ruthab sebelum salat (Maghrib). Jika tidak ada ruthab (kurma muda), maka dengan tamr (kurma matang). Jika tidak ada tamr maka beliau meneguk beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud).
Buah kurman memang memiliki keistimewaan tersendiri. Terlihat dari hadis Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya ada sebuah pohon yang daunnya tidak berguguran, dan ia merupakan permisalan seorang muslim. Pohon apa itu?”
Ibnu Umar berkata, “Aku menyangka yang dimaksud (nabi) adalah pohon kurma. Namun aku enggan mengatakan ‘wahai Rasulullah, itu adalah pohon kurma’. Maka aku pun berpaling. Karena aku terlalu muda untuk bicara kepada mereka (saat itu di majelis Rasulullah banyak shahabat senior-pen), jadi aku diam saja. Rasulullah kemudian memberitahu jawabannya, “Pohon tersebut adalah pohon kurma.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Namun, beberapa ulama meng-qiyaskan antara kurma dan makanan manis. Karena adanya qiyas itu, kemudian muncul pendapat yang membenarkan ungkapan “berbukalah dengan yang manis.” Namun qiyas ini dianggap keliru dan tidak disepakati oleh para ulama.
Pasalnya, sebagaimana disebutkan sebelumnya, kurma memiliki keistimewaan dan keberkahan. Dengannya, ia tak bisa diqiyaskan dengan apapun termasuk makanan manis. Selain itu, kekeliruan qiyas ini pula nampak dari kebiasaan nabi.
Beliau Shallallau‘alaihi wa sallam memilih meneguk air putih jika tidak ada kurma. Jikalau yang dimaksud nabi adalah berbuka dengan makanan manis, maka beliau tidaklah memilih air putih jika tak ada kurma.
Maka jika qiyas tersebut benar, artinya ada konsekuensi jika tak ada makanan manis, minumlah air putih. Padahal yang dilakukan nabi adalah jika tak ada kurma, minumlah air putih. Kurma dan air putih menjadi sunnah nabi dari hadis di atas.
Salah seorang ulama syafi’iyyah, Zainuddin Al Malibari dalam Fathul Mu’in mengatakan, “Syaikhan (yakni An Nawawi dan Ar Rafi’i, dua ulama besar mazhab syafi’i - pen) mengatakan, ‘tidak ada yang lebih afdhal dari kurma selain air minum’. Maka pendapat Ar Rauyani (ulama yang mengqiyaskan kurma dengan makanan manis-pen) bahwa makanan manis itu lebih afdhal dari air adalah pendapat yang lemah.”
Wallahu A'lam
(wid)