Hukum Puasa bagi Ibu Hamil dan Menyusui Menurut 4 Mazhab
loading...
A
A
A
Seseorang yang hamil dan menyusui boleh meninggalkan puasa jika ia khawatir akan kesehatan diri dan bayinya. Sama saja apakah bayi yang disusui adalah anak kandungnya atau anak susuan saja.
Prof Dr Wahbah Al Zuhaily dalam buku "The Islamic Jurisprudence and Evidences" menjelaskan kekhawatiran di sini baik berdasarkan diagnosa dokter atau pengalaman sendiri.
Ketentuan seperti ini berlandaskan pada qiyas pada orang yang sakit atau musafir , dan hadis Nabi : "Sesungguhnya Allah memberi keringanan bagi musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa, mengqashar salat, dan meringankan bagi perempuan yang hamil dan yang menyusui."
Dan jika mereka (perempuan hamil dan menyusui) mengkhawatirkan timbulnya sesuatu yang kronis –akibat puasanya– maka haram baginya berpuasa.
Jika mereka berbuka (tidak berpuasa) apakah wajib mengqadha’ dan membayar fidyah ?
Hanafiyah berpendapat mereka wajib mengqadha’ saja tanpa membayar fidyah. Sedangkan Syafi’iyah dan Hanbaliyah berpendapat wajib mengqadha’ dan membayar fidyah, jika mereka khawatir atas keselamatan bayinya saja (tidak diri mereka). Lain lagi pendapat Malikiyah. Mereka wajib mengqadha’ dan membayar fidyah bagi orang yang menyusui, dan hanya mengqadha’ saja bagi orang hamil.
Lanjut Usia
Berdasarkan ijma kaum muslimin, seseorang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu lagi untuk berpuasa, baik pada bulan Ramadan atau lainnya dibolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak diwajibkan untuk mengqadha’nya melainkan ia harus membayar fidyah yang diberikan pada orang-orang miskin.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqarah 184. Menurut Ibnu Abbas, ayat ini menerangkan tentang orang yang sudah lanjut usia yang sudah tidak mampu lagi berpuasa, maka ia wajib membayar fidyah kepada satu orang miskin tiap satu hari.
Ketentuan ini juga berlaku bagi orang sakit yang tidak diharap lagi kesembuhannya, berdasar firman Allah "..dan sekali-kali Dia (Allah) tidak menjadikan bagi kamu dalam agama suatu kesempitan." [QS Al-Hajj 78] Dan bagi mereka yang kira-kira masih bisa sembuh maka wajib mengqadha’ tanpa membayar fidyah.
Prof Dr Wahbah Al Zuhaily dalam buku "The Islamic Jurisprudence and Evidences" menjelaskan kekhawatiran di sini baik berdasarkan diagnosa dokter atau pengalaman sendiri.
Ketentuan seperti ini berlandaskan pada qiyas pada orang yang sakit atau musafir , dan hadis Nabi : "Sesungguhnya Allah memberi keringanan bagi musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa, mengqashar salat, dan meringankan bagi perempuan yang hamil dan yang menyusui."
Baca Juga
Dan jika mereka (perempuan hamil dan menyusui) mengkhawatirkan timbulnya sesuatu yang kronis –akibat puasanya– maka haram baginya berpuasa.
Jika mereka berbuka (tidak berpuasa) apakah wajib mengqadha’ dan membayar fidyah ?
Hanafiyah berpendapat mereka wajib mengqadha’ saja tanpa membayar fidyah. Sedangkan Syafi’iyah dan Hanbaliyah berpendapat wajib mengqadha’ dan membayar fidyah, jika mereka khawatir atas keselamatan bayinya saja (tidak diri mereka). Lain lagi pendapat Malikiyah. Mereka wajib mengqadha’ dan membayar fidyah bagi orang yang menyusui, dan hanya mengqadha’ saja bagi orang hamil.
Lanjut Usia
Berdasarkan ijma kaum muslimin, seseorang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu lagi untuk berpuasa, baik pada bulan Ramadan atau lainnya dibolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak diwajibkan untuk mengqadha’nya melainkan ia harus membayar fidyah yang diberikan pada orang-orang miskin.
Baca Juga
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqarah 184. Menurut Ibnu Abbas, ayat ini menerangkan tentang orang yang sudah lanjut usia yang sudah tidak mampu lagi berpuasa, maka ia wajib membayar fidyah kepada satu orang miskin tiap satu hari.
Ketentuan ini juga berlaku bagi orang sakit yang tidak diharap lagi kesembuhannya, berdasar firman Allah "..dan sekali-kali Dia (Allah) tidak menjadikan bagi kamu dalam agama suatu kesempitan." [QS Al-Hajj 78] Dan bagi mereka yang kira-kira masih bisa sembuh maka wajib mengqadha’ tanpa membayar fidyah.
(mhy)