Soal Kapan Lebaran, NU Akan Selalu Ikuti Keputusan Pemerintah
loading...
A
A
A
Kapan lebaran ? Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sudah mengumumkan Hari Raya Idul Fitri 2023/1 Syawal 1444 H melalui hasil hisab Ramadan , Syawal, dan Zulhijjah 1444 H pada Februari lalu. Hasilnya, Muhammadiyah menetapkan Lebaran Idul Fitri atau 1 Syawal 1444 H jatuh pada 21 April 2023.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) RI hingga saat ini belum mengumumkan kapan Lebaran 2023 atau Hari Raya Idul Fitri 1444 H. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, penentuan kapan Lebaran berdasarkan pada hasil sidang isbat yang biasa digelar menjelang Syawal atau tepatnya pada 29 Ramadhan.
Lalu, kapan lebaran versi Nahdlatul Ulama atau NU? Sejarah mencatat, NU senantiasa mengikuti keputusan pemerintah untuk memutuskan hari nan fitri tersebut.
Suatu ketika kiai yang ahli falak, KH Ma'sum Ali Jombang menabuh bedug bertalu-talu di masjid sebagai tanda bahwa Idul Fitri telah datang. Mendengar itu, KH Hasyim Asy’ari kaget bukan kepalang. “Hei, bagaimana kau ini, belum saatnya lebaran kok bedugan duluan?” tegur KH Hasyim Asy’ari kepada menantunya itu.
KH Ma'sum Ali ahli yang juga menulis kitab tentang falak. Sudah menjadi kelaziman bagi ahli falak untuk melakukan puasa dan lebaran sesuai hasil hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (observasi/melihat hilal)-nya sendiri.
Nah, sesuai dengan hasil perhitungannya, Kiai Ma'sum Ali memutuskan untuk ber-Idul Fitri sendiri yang ditandai dengan menabuh bedug bertalu-talu. Hanya saja, apa yang dilakukan Kiai Ma'sum ini tidak disetujui Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU.
Mendapat teguran dari mertuanya itu, Kiai Ma'sum segera menjawab dengan tawadhu (hormat). “Inggih (iya) Romo Kiai, saya melaksanakan Idul Fitri sesuai dengan hasil hisab yang saya yakini ketepatannya.”
“Soal keyakinan ya keyakinan, itu boleh dilaksanakan. Tetapi jangan woro-woro (diumumkan dalam bentuk tabuh bedug) mengajak tetangga segala,” jelas Kiai Hasyim Asy’ari.
“Tetapi bukankah pengetahuan ini harus di-ikhbar-kan (dikabarkan), Romo?” tanya Kiai Ma'sum.
“Soal keyakinan itu hanya bisa dipakai untuk diri sendiri, dan tabuh bedug itu artinya sudah mengajak dan mengumumkan kepada masyarakat, itu bukan hakmu. Untuk mengumumkan kepastian Idul Fitri itu haknya pemerintah yang sah,” tutur Kiai Hasyim.
“Inggih Romo,” jawab Kiai Maksum setelah menyadari kekhilafannya.
Kisah "lebaran mertua dan menantu" ini disampaikan salah seorang ulama ahli falak, KH Ahmad Ghazalie Masroeri, sebagaimana dilansir laman Nahdlatul Ulama.
Abdul Mun’im (2017) mencatat, pendirian Kiai Hasyim Asy’ari itu kemudian ditetapkan secara formal dalam Munas Alim Ulama NU di Cipanas, Bogor tahun 1954, bahwa hak itsbat diserahkan kepada pemerintah sebagai waliyul amri.
Sedangkan para ulama NU hanya membantu melakukan ikhbar, baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat setelah diumumkan oleh pemerintah. Ini sebagai konsekuensi bagi NU dalam bernegara, yakni menyerahkan sebagian kewenangannya pada pemerintah yang sah.
Di situlah para ulama pesantren berupaya mempraktikkan ajaran dan hukum agama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena walau bagaimana pun, ulama sebagai warga negara punya kewajiban menaati ulil amri. Namun demikian, ulama juga mempunyai peran penting dalam mengingatkan dan mengkritik kebijakan penguasa yang mengabaikan kepentingan rakyat.
Kitab Kuning
Sejatinya, pondok pesantren telah banyak melahirkan ulama ahli falak yang dapat menghitung masa setiap tahunnya melalui hisab maupun rukyat. Beberapa literatur kitab kuning yang membahas detail tentang ilmu falak juga dipelajari di pesantren. Bahkan di perguruan tinggi.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) RI hingga saat ini belum mengumumkan kapan Lebaran 2023 atau Hari Raya Idul Fitri 1444 H. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, penentuan kapan Lebaran berdasarkan pada hasil sidang isbat yang biasa digelar menjelang Syawal atau tepatnya pada 29 Ramadhan.
Lalu, kapan lebaran versi Nahdlatul Ulama atau NU? Sejarah mencatat, NU senantiasa mengikuti keputusan pemerintah untuk memutuskan hari nan fitri tersebut.
Suatu ketika kiai yang ahli falak, KH Ma'sum Ali Jombang menabuh bedug bertalu-talu di masjid sebagai tanda bahwa Idul Fitri telah datang. Mendengar itu, KH Hasyim Asy’ari kaget bukan kepalang. “Hei, bagaimana kau ini, belum saatnya lebaran kok bedugan duluan?” tegur KH Hasyim Asy’ari kepada menantunya itu.
KH Ma'sum Ali ahli yang juga menulis kitab tentang falak. Sudah menjadi kelaziman bagi ahli falak untuk melakukan puasa dan lebaran sesuai hasil hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (observasi/melihat hilal)-nya sendiri.
Nah, sesuai dengan hasil perhitungannya, Kiai Ma'sum Ali memutuskan untuk ber-Idul Fitri sendiri yang ditandai dengan menabuh bedug bertalu-talu. Hanya saja, apa yang dilakukan Kiai Ma'sum ini tidak disetujui Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU.
Mendapat teguran dari mertuanya itu, Kiai Ma'sum segera menjawab dengan tawadhu (hormat). “Inggih (iya) Romo Kiai, saya melaksanakan Idul Fitri sesuai dengan hasil hisab yang saya yakini ketepatannya.”
“Soal keyakinan ya keyakinan, itu boleh dilaksanakan. Tetapi jangan woro-woro (diumumkan dalam bentuk tabuh bedug) mengajak tetangga segala,” jelas Kiai Hasyim Asy’ari.
“Tetapi bukankah pengetahuan ini harus di-ikhbar-kan (dikabarkan), Romo?” tanya Kiai Ma'sum.
“Soal keyakinan itu hanya bisa dipakai untuk diri sendiri, dan tabuh bedug itu artinya sudah mengajak dan mengumumkan kepada masyarakat, itu bukan hakmu. Untuk mengumumkan kepastian Idul Fitri itu haknya pemerintah yang sah,” tutur Kiai Hasyim.
“Inggih Romo,” jawab Kiai Maksum setelah menyadari kekhilafannya.
Kisah "lebaran mertua dan menantu" ini disampaikan salah seorang ulama ahli falak, KH Ahmad Ghazalie Masroeri, sebagaimana dilansir laman Nahdlatul Ulama.
Abdul Mun’im (2017) mencatat, pendirian Kiai Hasyim Asy’ari itu kemudian ditetapkan secara formal dalam Munas Alim Ulama NU di Cipanas, Bogor tahun 1954, bahwa hak itsbat diserahkan kepada pemerintah sebagai waliyul amri.
Sedangkan para ulama NU hanya membantu melakukan ikhbar, baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat setelah diumumkan oleh pemerintah. Ini sebagai konsekuensi bagi NU dalam bernegara, yakni menyerahkan sebagian kewenangannya pada pemerintah yang sah.
Di situlah para ulama pesantren berupaya mempraktikkan ajaran dan hukum agama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena walau bagaimana pun, ulama sebagai warga negara punya kewajiban menaati ulil amri. Namun demikian, ulama juga mempunyai peran penting dalam mengingatkan dan mengkritik kebijakan penguasa yang mengabaikan kepentingan rakyat.
Kitab Kuning
Sejatinya, pondok pesantren telah banyak melahirkan ulama ahli falak yang dapat menghitung masa setiap tahunnya melalui hisab maupun rukyat. Beberapa literatur kitab kuning yang membahas detail tentang ilmu falak juga dipelajari di pesantren. Bahkan di perguruan tinggi.