Meninggal Dunia saat Masih Utang Puasa, Bagaimana Hukumnya?
loading...
A
A
A
Qadha puasa berarti mengganti puasa . Bagi orang-orang tertentu puasa Ramadan ada rukhshah atau dispensasi untuk mengganti di hari yang lain. Yaitu bagi orang yang sakit dan juga bagi musafir. Juga untuk ibu-ibu yang sedang haid atau nifas setelah melahirkan. Termasuk pula pekerja berat yang sangat memberatkan jika ia berpuasa.
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” ( QS al-Baqarah ; 185)
Bagaimana jika sebelum mengqadha ia meninggal dunia?
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا فَقَالَ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى.(رواه مسلم)
“Dari Ibnu Abbas ra , ia berkata: Seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW dan berkata, ‘Sesungguhnya ibuku telah meninggal, padahal ia memiliki utang puasa selama satu bulan. Apakah saya harus membayarkan untuknya?”
Beliau menjawab: ‘Sekiranya ibumu memiliki utang uang, apakah kamu harus membayarnya?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Ya, tentu.’ Beliau bersabda: ‘Kalau begitu, maka utang kepada Allah adalah lebih berhak untuk dilunasi.'”
Hanya saja, para ulama bersepakat jika seseorang memiliki uzur sehingga ia mendapatkan rukhsah atau keringanan untuk tidak berpuasa, dan pada saat itu ia meninggal dunia, maka tidak ada keharusan untuk mengqadha puasanya atau memberikan fidyah atas namanya.
Misalnya, seseorang yang sedang sakit pada bulan suci Ramadan dan karena sakitnya itu ia meninggal dunia, maka tidak ada hukum apa-apa baginya tentang puasanya itu.
Demikian pula ketika seseorang sedang melakukan suatu perjalanan, dan ternyata di tengah perjalanan ia meninggal dunia, maka hukum mengganti puasa di hari lain baginya sudah tidak ada. Demikian pula bagi orang-orang yang mendapat rukhshah untuk mengganti di hari lainnya tersebut.
كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ. رواه مسلم
“ Abu Hurairah bercerita bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Apa yang telah aku larang untukmu maka jauhilah. Dan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka kerjakanlah dengan sekuat tenaga kalian. Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena mereka banyak tanya, dan sering berselisih dengan para Nabi mereka.” (HR Muslim)
Akan tetapi jika selepas Ramadhn bagi orang yang sakit atau melakukan perjalanan itu, sebenarnya ada kesempatan untuk mengqadha puasanya, tetapi ia belum mengqadhanya yang mungkin di antaranya faktor masih malas.
Dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama, menurut mazhab Malikiyyah, Hanafiyyah, dan Syafiiyyah berdasar qaul jadid (pendapat baru) dan juga Hanabilah bahwa tidak ada penganti puasa baginya, karena puasa bukanlah ibadah yang kemudian dapat diwakilklan sebagaimana salat, tetapi sebagai gantinya hendaknya ia memberi makan dari hartanya setiap hari kepada orang miskin.
Kedua, menurut pendapat ulama salaf termasuk qaul qadim (pendapat terdahulu) Syafiiyyah berpendapat bahwa walinya yakni kerabatnya dibolehkan untuk membantu mengqadlakan puasanya yang ditinggalkannya itu atau menggantinya dengan memberikan makan kepada fakir miskin, tergantung pilihannya.
Dalam hal mengganti puasanya itu boleh juga dilakukan oleh orang lain dengan seizin walinya. Hal ini berdasar hadis Nabi di atas sebagimana yang kita bahas dalam masalah ini, dan juga hadis di bawah ini.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ. رواه البخارى و مسلم
“Dari Aisyah radliallahu ‘anha; Bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Siapa yang meninggal, sedangkan ia masih memiliki utang puasa, maka yang membayarnya adalah walinya.” (HR Bukhari, Muslim)
Tetapi menurut Imam Ahmad dan beberapa yang lain hadis tersebut hanya berkenaan dengan puasa karena nazar, bukan berkaitan dengan puasa Ramadan. Hal ini disandarkan pada hadis nabi.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً رَكِبَتْ الْبَحْرَ فَنَذَرَتْ إِنْ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْجَاهَا أَنْ تَصُومَ شَهْرًا فَأَنْجَاهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَلَمْ تَصُمْ حَتَّى مَاتَتْ فَجَاءَتْ قَرَابَةٌ لَهَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ صُومِي. رواه أحمد
Dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita pergi berlayar, dan ia bernazar, jika Allah Ta’ala menyelamatkannya (hingga mencapai daratan) maka ia akan berpuasa selama satu bulan penuh. Kemudian Allah SWT menyelamatkannya, tetapi ia tidak berpuasa hingga ia meninggal dunia. Maka salah seorang kerabatnya menemui Nabi SAW dan menceritakan hal itu. Beliau berkata; ‘Berpuasalah engkau untuknya!'” (HR Ahmad)
Menurut Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), pendapat ini banyak ditentang oleh para ulama lainnya, karena beberapa redaksi hadis tersebut bersifat umum, bukan hanya berkenaan dengan puasa nadzar saja. Sehingga puasa Ramadan pun termasuk dalam kategori hadits tersebut. Wallahu a’lam.
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” ( QS al-Baqarah ; 185)
Bagaimana jika sebelum mengqadha ia meninggal dunia?
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا فَقَالَ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى.(رواه مسلم)
“Dari Ibnu Abbas ra , ia berkata: Seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW dan berkata, ‘Sesungguhnya ibuku telah meninggal, padahal ia memiliki utang puasa selama satu bulan. Apakah saya harus membayarkan untuknya?”
Beliau menjawab: ‘Sekiranya ibumu memiliki utang uang, apakah kamu harus membayarnya?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Ya, tentu.’ Beliau bersabda: ‘Kalau begitu, maka utang kepada Allah adalah lebih berhak untuk dilunasi.'”
Baca Juga
Hanya saja, para ulama bersepakat jika seseorang memiliki uzur sehingga ia mendapatkan rukhsah atau keringanan untuk tidak berpuasa, dan pada saat itu ia meninggal dunia, maka tidak ada keharusan untuk mengqadha puasanya atau memberikan fidyah atas namanya.
Misalnya, seseorang yang sedang sakit pada bulan suci Ramadan dan karena sakitnya itu ia meninggal dunia, maka tidak ada hukum apa-apa baginya tentang puasanya itu.
Demikian pula ketika seseorang sedang melakukan suatu perjalanan, dan ternyata di tengah perjalanan ia meninggal dunia, maka hukum mengganti puasa di hari lain baginya sudah tidak ada. Demikian pula bagi orang-orang yang mendapat rukhshah untuk mengganti di hari lainnya tersebut.
كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ. رواه مسلم
“ Abu Hurairah bercerita bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Apa yang telah aku larang untukmu maka jauhilah. Dan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka kerjakanlah dengan sekuat tenaga kalian. Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena mereka banyak tanya, dan sering berselisih dengan para Nabi mereka.” (HR Muslim)
Akan tetapi jika selepas Ramadhn bagi orang yang sakit atau melakukan perjalanan itu, sebenarnya ada kesempatan untuk mengqadha puasanya, tetapi ia belum mengqadhanya yang mungkin di antaranya faktor masih malas.
Dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama, menurut mazhab Malikiyyah, Hanafiyyah, dan Syafiiyyah berdasar qaul jadid (pendapat baru) dan juga Hanabilah bahwa tidak ada penganti puasa baginya, karena puasa bukanlah ibadah yang kemudian dapat diwakilklan sebagaimana salat, tetapi sebagai gantinya hendaknya ia memberi makan dari hartanya setiap hari kepada orang miskin.
Kedua, menurut pendapat ulama salaf termasuk qaul qadim (pendapat terdahulu) Syafiiyyah berpendapat bahwa walinya yakni kerabatnya dibolehkan untuk membantu mengqadlakan puasanya yang ditinggalkannya itu atau menggantinya dengan memberikan makan kepada fakir miskin, tergantung pilihannya.
Dalam hal mengganti puasanya itu boleh juga dilakukan oleh orang lain dengan seizin walinya. Hal ini berdasar hadis Nabi di atas sebagimana yang kita bahas dalam masalah ini, dan juga hadis di bawah ini.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ. رواه البخارى و مسلم
“Dari Aisyah radliallahu ‘anha; Bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Siapa yang meninggal, sedangkan ia masih memiliki utang puasa, maka yang membayarnya adalah walinya.” (HR Bukhari, Muslim)
Tetapi menurut Imam Ahmad dan beberapa yang lain hadis tersebut hanya berkenaan dengan puasa karena nazar, bukan berkaitan dengan puasa Ramadan. Hal ini disandarkan pada hadis nabi.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً رَكِبَتْ الْبَحْرَ فَنَذَرَتْ إِنْ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْجَاهَا أَنْ تَصُومَ شَهْرًا فَأَنْجَاهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَلَمْ تَصُمْ حَتَّى مَاتَتْ فَجَاءَتْ قَرَابَةٌ لَهَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ صُومِي. رواه أحمد
Dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita pergi berlayar, dan ia bernazar, jika Allah Ta’ala menyelamatkannya (hingga mencapai daratan) maka ia akan berpuasa selama satu bulan penuh. Kemudian Allah SWT menyelamatkannya, tetapi ia tidak berpuasa hingga ia meninggal dunia. Maka salah seorang kerabatnya menemui Nabi SAW dan menceritakan hal itu. Beliau berkata; ‘Berpuasalah engkau untuknya!'” (HR Ahmad)
Menurut Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), pendapat ini banyak ditentang oleh para ulama lainnya, karena beberapa redaksi hadis tersebut bersifat umum, bukan hanya berkenaan dengan puasa nadzar saja. Sehingga puasa Ramadan pun termasuk dalam kategori hadits tersebut. Wallahu a’lam.
(mhy)