Penafsiran Al-Qur'an yang Paling Ideal Menurut Quraish Shihab

Rabu, 10 Mei 2023 - 16:19 WIB
loading...
Penafsiran Al-Quran yang Paling Ideal Menurut Quraish Shihab
Penafsiran al-Quran yang paling ideal adalah tafsir bi almatsur. Foto/Ilustrasi: SINDOnews
A A A
Prof Dr M Quraish Shihab MA mengatakan penafsiran al-Qur'an yang paling ideal adalah tafsir bi alma'tsur, yakni yang berlandaskan ayat, hadis, dan pendapat sahabat dalam menafsirkan Al-Quran. Oleh karena itu, seorang mufasir tidak dapat mengabaikan hadis-hadis Rasulullah dan pendapat sahabat.

"Hanya saja, ini bukan berarti bahwa penafsiran mereka tidak dapat dikembangkan maknanya," ujar Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Membumikan Al-Quran ".

Penafsiran Nabi SAW, demikian pula sahabat, kata Quraish Shihab, dapat dibagi dalam dua kategori: (1) la majala li al-'aql fihi (masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah, dan sebagainya; dan (2) fi majal al-aql (dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah kemasyarakatan.

"Yang pertama, apabila nilai riwayatnya sahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada di luar jangkauan akal," kata Quraish Shihab.



Adapun yang kedua, walaupun harus diakui bahwa penafsiran Nabi SAW adalah benar adanya, namun penafsiran tersebut harus didudukkan pada proporsinya yang tepat. "Ini karena sifat penafsiran beliau sangat bervariasi, baik dari segi motif penafsiran, yang dapat berbentuk ta'rif atau irsyad atau tashhih, dan sebagainya, maupun hubungan antara ayat yang ditafsirkan dengan penafsiran yang juga beraneka ragam," katanya.

Menurut Quraish Shihab, hubungan itu terkadang berbentuk:

(a) Hubungan padanan (tathabuq), seperti penafsiran al-shalat al-wustha dengan "salat Ashar".
(b) Hubungan kelaziman (talazum) seperti penafsiran ud'uni (dalam QS 40:60) dengan "beribadat";
(c) Hubungan cakupan (tadhamun), seperti penafsiran al-akhirat (dalam QS 14:27) dengan "kubur";

(d) Hubungan percontohan (tamtsil), seperti penafsiran al-maghdhub 'alayhim (dalam surah Al-Fatihah) dengan "orang-orang Yahudi", dalam arti bahwa beliau menafsirkannya dengan orang Yahudi sebagai contoh yang beliau angkat dari masyarakat ketika itu, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk diberikan penafsiran lain dalam bentuk contoh-contoh yang mungkin ditemukan dalam masyarakat-masyarakat lain.



Di samping keragaman penafsiran seperti yang dikemukakan di atas, kata Quraish Shihab, hadis-hadis Nabi pun dapat ditinjau dari berbagai segi, sejalan dengan kedudukan beliau ketika mengucapkan atau memperagakannya.

Al-Qarafi membagi sikap atau ucapan Nabi SAW dalam empat kategori, yaitu dalam kedudukan beliau sebagai: (1) Rasul; (2) Mufti; (3) Qadhi; dan (4) Imam (pemimpin negara atau masyarakat). Pembagian di atas dapat ditambah dengan (5) sebagai pribadi.

"Hadis-hadis yang berkaitan dengan kedudukan beliau sebagai pemimpin masyarakat tentunya berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat beliau, sehingga pemahamannya harus dikaitkan dengan kondisi sosial ketika itu," kata Quraish Shihab.

Adapun pendapat-pendapat sahabat, maka apabila permasalahan yang dikemukakannya termasuk fi ma la majal li al-'aql fih (bukan kalam wilayah nalar), maka ia fi hukm al-murfu' (bersumber dari Nabi SAW) sehingga ia diterima sebagaimana adanya. Sedangkan bila sifatnya tidak demikian, maka ia hanya dipertimbangkan, dipilah, dan dipilih mana yang sesuai dan mana yang tidak.

Qath'iy dan yang Zhanniy

Menurut Al-Syathibi, tidak ada atau sedikit sekali yang bersifat qath'iy dalam dalil-dalil Syari'at bila yang dimaksud dengannya adalah tidak adanya kemungkinan arti lain bagi satu lafal pada saat ia berdiri sendiri.



Betapapun terdapat perbedaan pendapat tentang batas pengertian dan bilangan ayat-ayat yang bersifat qath'iy al-dalalah, namun yang jelas apabila satu ayat telah dinilai demikian, maka tidak ada lagi tempat bagi suatu interpretasi baru baginya. Adapun yang sifatnya zhanniy, maka ia merupakan lahan garapan para ulama dan pemikir hingga akhir zaman dan dari sinilah kemudian timbul ide pembedaan antara Syari'at dan fiqih.

Ahmad Abu Al-Majd menulis, "Kita harus menekankan keharusan pembedaan antara Syari'at dan fiqih: Syari'at adalah sesuatu yang langgeng dan ditetapkan berdasarkan nash-nash qath'iy baik dari segi wurud-nya (keaslian sumbernya) maupun dari segi dilalah-nya (pengertiannya); sedangkan fiqih adalah penafsiran terhadap nash-nash."

Selanjutnya ia menekankan: "Kelirulah mereka yang berkata bahwa generasi lampau tidak lagi menyisihkan bagi generasi berikutnya sesuatu apa pun ... Sesungguhnya mereka telah menyisihkan bagi generasi sesudahnya suatu alam/dunia yang berbeda dengan alam/dunia mereka ... Pengalaman-pengalaman baru tidak dapat diabaikan dengan alasan bahwa pengalaman lama dapat mencukupi dan menempati tempatnya."
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2873 seconds (0.1#10.140)